Singgahlah di Distrik Sentani untuk pemandangan alam yang memukau. Jika ditempuh dari pusat Kota Jayapura, Distrik Sentani terletak 43 KM ke arah barat. Bentang alamnya seolah memiliki daya magis yang membuatnya layak disebut kepingan surga jatuh ke bumi.

Tak sulit mencerap keindahan Sentani. Sekitar 15 menit berkendara dari Bandar Udara Internasional Dortheys Hiyo Eluay, topografi perbukitan, daratan, dan perairan Sentani sudah tampak di kiri dan kanan jalan. Sentani menjelma suaka bagi mereka yang mendambakan atmosfer kontemplatif. Begitu juga dengan restoran di tepi danau yang kerap menjadi tujuan rekreasi, sekaligus tempat yang digemari wisatawan untuk sekedar bersantai atau bersantap papeda.

Berbagai kisah ikut mengiringi perjalanan saya di bumi cendrawasih. Satu di antaranya, kisah tentang ikatan persaudaraan yang direkatkan melalui sajian khas bernama papeda, sejenis bubur sagu yang berasal dari tanaman monokotil dari famili palmae. Teksturnya yang kental tak hanya menjadi makanan pokok yang mengenyangkan, tetapi juga menjadi simbol diplomasi sosial-budaya masyarakat Papua.

Bentang Alam Sentani

Lansekap perbukitan dan wilayah mintakat Sentani/Nadya Gadzali

Papeda hanya ada di dataran rendah Papua. Sebagian orang mengenal Papeda sebagai penganan khas dari Manokwari. Tak salah jika menyebutnya demikian, sebab pohon sagu hanya tumbuh di sekitar rawa dan lahan tergenang air di daerah tropis. Struktur dan vegetasi hutan pantai di daerah Manokwari, memungkinkan pohon sagu tumbuh dengan subur.

Danau Sentani yang berada di bawah lereng Cagar Alam Pegunungan Cyclops merupakan wilayah mintakat riparian, yakni wilayah peralihan ekosistem perairan (sungai, danau, atau rawa) dan ekosistem darat yang terdiri dari vegetasi nipah (mangrove) dan komposisi pohon-pohon sagu yang cukup lebat. Zona riparian Danau Sentani memiliki peran yang signifikan bagi keseimbangan ekologis dan penyedia makanan bagi biodiversitas di sekitarnya.

Proses Pembuatan Papeda

Sentani dalam semburat langit sore/Nadya Gadzali

Saat kabut mulai mengesiap dari Pegunungan Cyclops, saya dan seorang kawan berkendara dari pusat keramaian Sentani ke sebuah restoran apung di tepi danau, Tomarokai namanya. Petang adalah waktu terbaik untuk menyambangi tepi danau Sentani. Semburat lembayung dan selimut kabut selalu membuat perjalanan ke tepi Danau Sentani terasa lebih menyenangkan. Kami memesan papeda, ikan kuah kuning, dan tumis kangkung bunga pepaya sesampainya di tujuan.

Ikan kuah kuning, makanan pendamping papeda/Nadya Gadzali

Kelezatan papeda membuatnya mudah dihabiskan dalam waktu sebentar saja, namun ternyata proses pembuatannya cukup panjang. Pertama-tama, batang sagu ditebang dan dikupas untuk membuang kulit bagian luar. Batang sagu yang telah dikupas kulitnya kemudian dihancurkan dan dipangkur (diparut) sampai menjadi serbuk-serbuk halus.

Masyarakat Sentani umumnya mengolah sagu di tepi danau. Pada proses pembuatan tepung sagu, serbuk-serbuk sagu dilarutkan bersama Natrium bisulfit. Namun dalam skala rumahan, serbuk-serbuk sagu hanya ditambahkan air dan diremas-remas dengan tangan di atas saringan.

Wadah disiapkan di bagian bawah saringan untuk menampung air yang dihasilkan dari perasan serbuk-serbuk sagu, untuk kemudian dikembalikan lagi ke permukaan saringan. Proses ini dilakukan berulang-ulang untuk mendapatkan pati sagu yang diinginkan. Diakhiri dengan tahap pembuatan tepung sagu yang dikenal istilah tumang, yakni proses pengendapan pati sagu di dalam karung.

Tepung sagu yang dihasilkan dari proses itu dilanjutkan di dapur-dapur restoran atau rumah tangga. Tepung sagu cukup ditambahkan air panas sambil diaduk. Tak butuh waktu lama untuk membuat tepung sagu menjadi sajian papeda yang lezat.

Cara Menikmati Semangkuk Papeda

Ikan kuah kuning dituangkan di atas papeda/Nadya Gadzali

Papeda mengingatkan pada pentingnya perasaan saling terikat dan kedekatan yang kuat, baik dengan sesama orang Papua maupun antar suku-suka bangsa, sebagaimana Kenambai Umbai, slogan Kota Jayapura yang memiliki arti “Satu Utuh Setia Berkarya Meraih Kejayaan”.

Menikmati papeda sama halnya dengan menyantap sepiring nasi beserta lauk-pauknya. Makanan pokok dituangkan ke atas piring bersama menu pendamping yang diinginkan. Namun, idiom tradisi yang otentik Papua adalah papeda yang disantap langsung dari mangkuk saji, untuk kemudian dinikmati oleh lebih dari satu orang dalam semangat helai mbai hote mbai.

Mbai berarti satu, sedangkan hote adalah mangkuk terbuat dari kayu berukuran besar untuk menyajikan papeda. Begitulah cara masyarakat Papua menikmati semangkuk papeda dalam sukacita dan kebersamaan.

Garpu Kayu Bercabang Tiga

Garpu bercabang tiga untuk menggulung papeda/Nadya Gadzali

Menyantap papeda adalah seni menikmati sajian berbahan dasar sagu dengan cara yang unik. Selain bertekstur kental, keunikan papeda juga terletak pada garpu bercabang tiga yang berfungsi untuk menggulung dan menyiduk papeda dari mangkuk saji ke atas piring.

Di Sentani Barat, garpu papeda umumnya terbuat dari kayu yangkaru, orang-orang menyebutnya siroy. Meskipun masih di daerah Sentani, namun penduduk Sentani Tengah menyebutnya hiloy atau helai, lazim terbuat dari kayu yanggalu. Berbeda menurut Tessa, salah seorang warga Sarmi, garpu kayu papeda di daerahnya disebut dengan fatar.

Garpu kayu di setiap daerah memiliki sebutan yang berbeda-beda, namun seluruh penamaan itu merujuk pada sebilah garpu kayu bercabang tiga, alat yang selalu ada di saat masyarakat Papua menikmati semangkuk papeda.

Gastrodiplomasi

Makanan disebut-sebut sebagai diplomasi tertua di dunia. Dalam tataran yang paling sederhana, pengenalan budaya suatu bangsa dapat dilakukan melalui perjamuan-perjamuan makan dengan pihak yang ingin diajak berdiplomasi. Melalui perjamuan makan, dimensi sejarah dan latar budaya suatu bangsa dapat sekaligus ditampilkan.

Kemungkinan kerja sama pun dapat digali dengan membangun citra bangsa di hadapan bangsa lain. Instrumen kuliner mampu membuka ruang untuk mengamati reputasi bangsa lainnya. Dengan demikian, gastronomi dalam konteks diplomasi kebudayaan dikategorikan sebagai gastrodiplomasi.

Falsafah helai mbai hote mbai menjadi spirit yang layak dimunculkan dalam gastrodiplomasi masyarakat Papua. Helai mbai hote mbai membuat papeda tak hanya dimaknai sebatas urusan perut, melainkan dialog sosial-budaya dan momentum untuk menanamkan nilai-nilai kebersamaan.