Kampung adat Kasepuhan Ciptagelar menonjolkan nilai kebudayaan Sunda. Hal ini terlihat dari arsitektur bangunan dan tata letak bangunan di Kasepuhan Ciptagelar yang memiliki pola penataan kampung radial. Kampung Radial menyatukan kelompok pola kampung linear dan terpusat. Tata letaknya disesuaikan dengan fungsi, kebutuhan, dan kondisi kawasan kasepuhan.

Kasepuhan Ciptagelar termasuk ke dalam karasteritik kampung Sunda galudra ngupruk. Galudra ngupruk merupakan kampung yang terletak di antara dua buah bukit atau gunung. Rumah-rumah penduduk berpusat pada bumi ageung. Bumi ageung merupakan imah gede yaitu rumah yang berukuran besar dan dijadikan sebagai pusat adat.

Arsitektur rumah tinggal masyarakat Kasepuhan Ciptagelar merupakan warisan leluhur yang memuat nilai struktur sosial pada bentuk bangunannya. Desain bangunannya memiliki keunikan tersendiri, sehingga identitas leluhur masa lampau dapat diaplikasikan ke dalam desain arsitektur masa kini.

Masyarakat menggunakan batas fisik berupa sungai, hutan, huma, talun, balong, sawah, bukit dan pagar bambu yang letaknya mengelilingi kawasan kasepuhan, sehingga dapat memberikan keamanan dan kenyamanan dalam beraktivitas, sekaligus menjaga privasi masing-masing penghuni kampung, baik yang berbatasan secara langsung maupun tidak. Batas non fisik tidak dapat dibuktikan dengan jelas sebab berkaitan dengan hal yang tak kasat mata dan tidak nyata.

Arsitektur Bangunan Kasepuhan Ciptagelar

Arsitektur rumah Sunda pada dasarnya seperti bentuk rumah pangung. Masyarakat Ciptagelar meyakini bahwa lantai rumah yang menyatu dengan tanah adalah sebuah pamali yang identik dengan kematian. Oleh karena itu, lantai rumah dengan tanah dipisahkan dengan tiang-tiang rumah, serta diberi alas dari batu cadas.

Kepercaayan lainnya yaitu menurut masyarakat kasepuhan, rumah merupakan jelmaan manusia, kepala, tubuh, dan kaki. Atap disimbolkan dengan kepala. Dinding rumah dan lantai merupakan bagian tubuh, dan pondasi serta tiang-tiang panggung merupakan kaki.

Rumah panggung memiliki pondasi umpak dan kolong rumah. Secara struktur bangunan, rumah panggung memiliki kelebihan yaitu tidak mengganggu daerah resapan air, kolong rumah dipakai untuk penyimpanan persediaan kayu bakar dan benda lainnya, serta adanya kolong rumah memungkinkan sirkulasi udara terjadi dengan proses menyilang. Kolong rumah memiliki tinggi sekitar 40-70 cm. Masyarakat menyebut kolong rumah dengan istilah lolongkrang.

Bentuk rumah terdiri atas atap, tiang dan dinding sebagai bahan bangunan rangka rumah, dan pondasi rumah yang merupakan komponen utama terletak di bagian bawah. Fungsi pondasi untuk membuat bangunan menjadi kokoh dan kuat. Pondasi rumah menggunakan material batu yang juga digunakan untuk membuat tangga atau tiang–tiang kolong menuju teras atau tepas.

Rangka rumah menggunakan kayu dan bambu untuk dinding rumah. Lantai rumah terbuat dari anyaman bambu dan atap rumah terbuat dari material ijuk dan alang–alang. Material ijuk mampu menyerap hawa panas dari radiasi matahari, sehingga suhu di dalam rumah tetap hangat dan sejuk.

Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar pantang menggunakan genteng karena merupakan larangan adat leluhur. Masyarakat yang melanggar pantangan ini akan kabendon atau menerima kualat dari leluhur. Selain itu, atap yang terbuat dari genteng akan melanggar kodrat, sebab hanya orang wafat yang harus dikubur dalam tanah. Bentuk atap rumah disesuaikan dengan adat istiadat, fungsi, dan kebiasaan masyarakat.

Dalam proses pemasangan pintu, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar percaya bahwa pintu merupakan tempat rejeki dan keberuntungan datang. Pintu bagian depan rumah dilarang berhadapan langsung dengan pintu belakang rumah. Peletakkan pintu didasarkan weton penghuninya yang sudah didiskusikan terlebih dahulu dengan sesepuh girang atau baris kolot. Weton sendiri merupakan tanggal lahir yang apabila dilanggar maka akan berakibat buruk pada keadaan ekonomi penghuni rumah tersebut.

Tata letak bangunan rumah dengan cara nyengked atau terasering (sengkedan). Hal ini disebabkan kondisi geografis kawasan kesepuhan yang terletak di lereng Gunung Halimun. Pembagian tata letak bangunan terdiri dari tiga cara, antara lain leuir (paling tinggi), siger tengah (di tengah-tengah), dan are (paling bawah). Pembagian tata letak diatur dalam adat dan wajib dipatuhi oleh masyarakat Kasepuhan Ciptagelar.

Ritual Adat dalam Proses Pembangunan Rumah

Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar memiliki istilah ngadegkeun imah, yaitu proses membangun rumah disertai upacara adat. Ada beberapa tahapan dalam mendirikan rumah, mulai dari proses pembangunan sampai rumah siap untuk ditempati.

Tahap pertama yaitu calon penghuni rumah harus ngamimitian, yaitu memiliki niat yang matang. Selanjutnya, memohon izin dengan dibekali mantra-mantra kepada sesepuh girang sebelum mengambil kayu di hutan garapan. Kegiatan ini dikenal dengan nyuhunkeun tumbal ngala bahan.

Ritual adat yang mengiringi proses penebangan pohon yakni upacara nyuhunkeun tumbal, dipimpin oleh sesepuh girang atau baris kolot. Lokasi upacara di hutan tempat penebangan pohon disuguhi perlengkapan upacara seperti kemenyan, dupa, kembang, dan lain sebagainya.

Proses selanjutnya adalah nyekar atau ziarah ke makan leluhur atau orang tua yang sudah meninggal. Apabila orang tua masih hidup, cukup meminta doa restu saja. Proses penebangan pohon atau natahan di hutan menggunakan gergaji dan golok, didampingi baris kolot, sebab ada pohon tertentu yang dilarang untuk ditebang.

Calon penghuni wajib membawa sesajen untuk upacara natahan dan dilakukan di dekat lokasi pohon yang akan ditebang. Selama proses penebangan, baris kolot bertugas untuk jangjawokan atau membaca mantra agar kayu dan orang yang menebang kayu terhindar dari gangguan roh jahat.

Saat menunggu kayu terkumpul, ritual selanjutnya yaitu ngalelemah yaitu membersihkan lahan atau tanah yang menjadi lokasi pembangunan rumah. Jika kondisi tanah terlalu miring, upacara adat ngalelemah dilakukan di salah satu sudut tanah yang akan dijadikan alas rumah, dipimpin baris kolot sambil tetap melakukan jangjawokan.

Perempuan sibuk bertugas di dapur untuk mempersiapkan konsumsi bagi para pekerja. Jika tanah sudah dibersihkan, selanjutnya tukang kayu mulai nanjeurkeun, yaitu memasang umpak dan mendirikan tiang–tiang kayu di atas umpak sesuai kebutuhan yang sudah dihitung. Istilah lain dari nanjeurkeun yaitu ngarangka atau ngarancak. Artinya, proses pembuatan kerangka rumah dimulai dari lelemahan, pangadeg, hingga suhunan.

Tukang kayu turut andil dalam proses pembangunan rumah karena segala sesuatu yang berhubungan dengan struktur dan konstruksi kayu menjadi tanggung jawabnya. Peran baris kolot juga terlihat saat melaksanakan upacara nanjeurkeun dengan perlengkapan yang digunakan. Upacara ini melibatkan banyak orang, sehingga dalam proses pembangunan rumah terlihat ramai.

Proses selanjutnya adalah ngadegkeun atau memasang penutup lantai, dinding, atap, dan plafon. Upacara adat yang mengiringinya yaitu parawanten dengan membawa sesajen seperti padi, gula merah, kelapa, tebu, pisang mas yang digantung di bawah enok.

Masyarakat berpendapat bahwa ngadegkeun merupakan tahap terakhir dari proses pembangunan rumah. Tampak belum selesai, namun kerangka rumah sesungguhnya sudah terlihat. Calon penghuni boleh menempati rumah mereka.

Selanjutnya, upacara adat dilaksanakan yaitu selametan dan ngaruwat imah. Selametan dilakukan ketika calon penghuni mengisi rumah sedangkan ngaruwat termasuk upacara besar yang menghadirkan berbagai kesenian tradisional Sunda. Masyarakat kasepuhan maupun luar kasepuhan hadir pada upacara ini. Ngaruwat juga opsional dan tidak dipaksakan sesuai dengan kemampuan penghuni rumah.

Bangunan tradisional masyarakat Kasepuhan Ciptagelar diharapkan akan berdiri kokoh, tidak mudah rusak oleh bencana alam, kayu yang digunakan tidak lapuk karena bertambahnya usia bangunan, dan tidak mudah tertinggal oleh kemajuan zaman.  

Proses pembangunan rumah menjadi cerminan kehidupan manusia dan alam semesta. Penggunaan bahan untuk pembangunan rumah menyatukan keberlangsungan hidup yang tetap selaras dengan alam. Sehingga, kehidupan generasi selanjutnya diharapkan dapat berlangsung dengan baik.

Penyunting: Nadya Gadzali