Saya duduk dan menyesap kopi hangat yang dihidangkan dalam gelas kecil bermotif bunga-bunga oleh tuan rumah. Agak berjarak di sebelah saya, Haris (45), mulai menyulut rokok kreteknya. Saya bertemu Haris beberapa kali di sekitar Masjid Raya Baiturrahman, Kota Banyuwangi—dia adalah tukang ojek pangkalan yang kerap mengandalkan penumpangnya dari para pengunjung Taman Sritanjung yang letaknya bersebelahan dengan masjid tersebut. Hari itu dia menemani saya ke Desa Olehsari, Kabupaten Banyuwangi.
Desa Olehsari identik dengan ritual seblang, semacam tarian mistis yang digelar setahun sekali setelah Hari Raya Idul Fitri. Penarinya adalah gadis belia, yang telah dipilih leluhur melalui mediasi roh halus. Gadis yang “terpilih” ini akan menari-nari dengan mata tertutup dalam keadaan trance (kerasukan) selama tujuh hari berturut-turut.
Cerita ringkas tentang seblang tersebut mengalir dari tuan rumah, yakni Supinah (53) yang merupakan salah satu penari gandrung terop yang pernah menjadi primadona pada zamannya. Hari itu, kami mengobrol lebih panjang dari pertemuan sebelumnya. Di depan sanggar tari yang dikelolanya, Supinah berkenan menceritakan kembali kisah hidupnya selama menjadi penari gandrung terop.
Supinah mulai menjadi penari gandrung terop sejak usianya 14 tahun, yakni tahun 1979. Pahit-manis perjalanan yang telah dilaluinya, mengantarnya pada sejumlah perisitiwa yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Misalnya saja, pada tahun 1999 ia diundang untuk mementaskan tarian di Amerika Serikat; tahun 2003 di Korea Utara, dan pada tahun 2013, ia pun unjuk kebolehan di negeri kangguru, Australia.
“Saya bersyukur, meski awalnya menjadi penari gandrung karena saya tidak mau nikah muda,” ujarnya mengenang masa lalunya ”Makanya, saya pilih kabur dari rumah dan belajar nari pada seorang penari gandrung, Atijah namanya.”
Meski tidak mudah, Supinah belia tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk menyerap ilmu dari gurunya. Hanya dalam waktu seminggu dia sudah mulai menerima tawaran manggung. Sebuah keluarga dari kalangan berada di Dusun Komis, Srono, menggelar sebuah hajatan dan memilih gandrung terop sebagai hiburannya. Tentu saja, hiburan semalam suntuk itu membutuhkan tenaga sekaligus pesona seorang penari gandrung. Boleh dikatakan bahwa Supinah berhasil mengawali kiprahnya sebagai penari gandrung dengan mulus dan menggembirakan.
Transformasi Gandrung Terop
Menurut Supinah, gandrung terop sudah mengalami pergeseran. Dulu, tarian ini dibawakan semalam suntuk, sedangkan saat ini, penari gandrung akan meninggalkan arena pertunjukan dan berkemas pulang, jika sudah tidak ada tamu yang menyimak tariannya. Dulu, jelas Supinah, dalam setiap pertunjukan hanya membutuhkan satu orang penari gandrung. Namun belakangan, gandrung terop dibawakan sampai 10 orang, bahkan 20 orang sekali tampil.
“Dulu tenaga benar-benar terkuras, tapi sawerannya lumayan, tidak terbagi. Sekarang tenaga bisa dibagi-bagi, otomatis saweran dari pengunjung juga terbagi-bagi,” ujar Supinah.
Di masa lalu, tak mudah untuk menjadi penari gandrung terop. Hal itu terkait dengan persyaratan serta kemampuan. “Dulu, penari gandrung wajib bisa menyanyikan tembang Podo Nonton dan Sekar Jenang—tembang pengiring tari gandrung yang memiliki tingkat kesulitan cukup tinggi. Sekarang, yang penting bisa nyanyi dan nari, sudah bisa jadi gandrung,” jelas Supinah.
Sanggar "Sayu Sarinah"
Puluhan tahun menjadi penari gandrung, membuat Supinah bercita-cita membangun sebuah sanggar tari gandrung. Melalui kerja kerasnya, cita-cita itu pun akhirnya terwujud. Di depan rumahnya, kini telah berdiri sebuah sanggar tari dengan lanskap asri pesawahan tepat di sampingnya. Sanggar tari itu diberi nama Sayu Sarinah. Menurut ceritanya, Sayu Sarinah adalah nama roh halus pertama yang merasuki seorang penari seblang di Desa Olehsari.
Dengan adanya sanggar tari tersebut, Gandrung Supinah berharap bisa menemukan bibit-bibit penari gandrung yang berkualitas. Namun untuk mendukung semua itu, Gandrung Supinah memiliki tiga orang asisten untuk membantunya menghidupkan sanggar tari yang membuka kelas rutin setiap hari Minggu itu. Sesi latihan dimulai pukul 10.00 WIB hingga selesai. Siswanya terdiri dari remaja dan anak-anak dari desa-desa lain yang berdatangan untuk belajar tari gandrung di sanggarnya.
Namun, hingga saya datang ke tempatnya siang itu—akhir Oktober, 2018 silam—Gandrung Supinah merasa belum mendapatkan penerus yang benar-benar sesuai kriterianya. Hal itu kadang-kadang membuatnya merasa prihatin. Pernah beberapa kali, Supinah merasa sudah menemukan murid yang benar-benar berbakat, tapi setelah dilepas beberapa bulan, bakat itu kembali terkontaminasi oleh “peradaban” masa kini.
“Padahal saya sudah sangat senang. Anak itu masih muda dan cengkok-vokalnya khas cengkok gandrung,” kenang Supinah. “Setelah lepas dari sini, ada yang mengajaknya bermain elekton. Ya sudah, suaranya hancur lagi.”
Betapapun begitu, Gandrung Supinah belum menyerah. Dia masih berharap akan menemukan seseorang yang bisa menjadi penerus gandrung terop yang sesungguhnya. Supinah sendiri saat ini sudah tidak menerima tawaran menari. Namun, ia masih menggeluti profesinya sebagai sinden, sehingga ia kerap diundang untuk melipur tamu dalam acara-acara tertentu.
Pada bulan Oktober itu, Supinah juga dilibatkan dalam festival tahunan Gandrung Sewu yang digelar di Pantai Boom, Banyuwangi. Festival Gandrung Sewu melibatkan sekitar 1000 lebih penari, puluhan pemain fragmen dan pemusik. Penari-penari gandrung ini adalah perwakilan dari sekolah-sekolah (SD-SLTA), perguruan tinggi, juga komunitas seni di seluruh wilayah Kabupaten Banyuwangi.
Supinah juga mempertontonkan langsung suara khasnya yang merdu-melengking di Kafe Kemarang setiap malam Minggu. Kafe Kemarang di Desa Kemiren adalah sebuah kedai yang menyajikan pertunjukan tari gandrung bagi para pengunjungnya.
“Nah, kalau ingin menonton gandrung, silakan saja mampir ke sana,” ujar Gandrung Supinah sungguh-sungguh. “Sudah lama tidak menonton gandrung, kan?”
Sayang sekali, saya tidak bisa mengiyakan tawarannya. Hari itu Rabu, tiga hari kemudian—hari Sabtu—saya harus beranjak ke Jember untuk menjenguk anak-istri. Keduanya tinggal sementara di rumah adik saya selama saya melakukan residensi di Banyuwangi. Namun saya berharap, kelak dapat kembali dan menyaksikan gandrungnya yang terus bertahan di Banyuwangi.
Mencari dan Menemukan Penari Gandrung
Sejumlah anak perempuan usia sekolah dasar, membentuk sebuah formasi, melenggak-lenggok mengikuti musik pengiring tari gandrung yang mengalun dari sebuah pemutar VCD. Mereka tampak bersemangat dan benar-benar menggemaskan. Didampingi seorang asisten, Temu Misti (65) yang melatih Jejer Gandrung—sebuah babak dalam tari gandrung— yang belum sempurna.
“Anak-anak ini selalu datang setiap hari Minggu,” ujar Temu Misti sembari mengawasi anak muridnya. “Tidak pernah ada yang mbolos.”
Temu Misti atau yang lebih sohor dengan Gandrung Temu adalah legenda hidup gandrung terop Banyuwangi. Dia mulai menari gandrung sejak usianya 15 tahun—tahun 1968. Dalam usia senjanya ia masih terlihat energik. Lenggak-lenggok tubuhnya dan tatapan matanya ketika meralat gerakan-gerakan yang salah dari sejumlah muridnya, masih membekaskan jejak kejayaan gandrung terop pada masa silam. Di teras rumahnya yang berada di Dusun Kedaleman, Desa Kemiren itu, terpasang sebuah neon box mini—plang nama sanggar tari yang dikelolanya. Sanggar Tari Sopo Ngiro, demikianlah dia memberinya nama. Di tempat inilah dia menggembleng murid-muridnya, yang diharapkan bisa menjadi penerus jagad gandrung.
“Selain anak-anak yang memang ingin belajar nari, banyak juga remaja yang belajar ke sini. Beberapa malah sudah jadi. Bahkan ada juga yang sudah punya kelompok sendiri,” jelas Gandrung Temu.
Temu Misti memang seorang maestro. Pada tahun 2016 silam, dia menjadi salah satu maestro yang terpilih dalam program Belajar Bersama Maestro—sebuah program yang diampu oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Terhitung 15 pelajar yang terpilih dari seluruh Indonesia untuk berguru tari gandrung padanya. Bukan hanya itu, pada tahun 2015, Gandrung Temu berkesempatan untuk tampil di Jerman.
Kesetiaannya pada dunia gandrung tidak lantas surut oleh usianya yang kian susut. Kini, meski sudah tidak seramai dulu, masih ada saja orang yang menggelar hajatan dan mengundang gandrung terop sebagai hiburan. Gandrung Temu masih diundang untuk tampil—terutama jika sedang ada tamu. Namun, menurut pengakuannya, lebih banyak sebagai sinden saja.
Salah satu tempat yang masih sering mengundangnya ialah Sanggar Genjah Arum. Sanggar Genjah Arum adalah sebuah kafe bernuansa etnik dengan menu kopi lokal dan makanan-jajanan tradisional khas Suku Osing, Banyuwangi. Kafe yang berada di area dataran tinggi di Desa Kemiren itu, kerap menjamu tamu-tamunya dengan suguhan tari gandrung. Biasanya, pengunjungnya berasal dari luar daerah yang datang bersama rombongan. Pada suatu malam di bulan September itu, saya menyempatkan untuk berkunjung ke sana dan mendengarkan suara emasnya berpadu-padan dengan liuk gemulai sejumlah penari gandrung. Penari-penari gandrung itu berasal dari sanggar tari di Desa Kemiren dan sekitarnya. Di samping penampilannya di Sanggar Genjah Arum, para penari gandrung itu juga kerap tampil di Kafe Pesantogan Kemangi yang juga terletak di Desa Kemiren. Biasanya para penari muda itu didampingi oleh salah satu gandrung kawakan yang didapuk sebagai sinden.
“Kalau yang pintar menari, banyak. Tapi memang sulit mencari penerus gandrung terop, karena memang harus semalam suntuk dan harus bisa nyanyi,” jelas Gandrung Temu.
Betapapun sulitnya, Gandrung Temu tidak pernah putus asa. Ia tetap yakin, bahwa bibit-bibit penari gandrung—terutama gandrung terop—akan tetap ada di Banyuwangi. Oleh karenanya dia selalu merasa bahagia jika dapat menemukan calon penari yang berbakat. Apa yang diharapkannya pun kini sudah ada di depan mata. Dalam waktu yang tidak terlalu lama dari kunjungan saya pagi itu, di Sanggar Tari Sopo Ngiro akan diselenggarakan meras gandrung. Meras gandrung adalah ritual penobatan bagi calon penari gandrung yang dianggap sudah memenuhi syarat untuk dilepas sebagai penari gandrung yang sesungguhnya—dengan kata lain, meras gandrung adalah wisuda kelulusan para penari gandrung.
“Ada satu lagi yang sebentar lagi lulus dari sini,” ujar Gandrung Temu seraya menunjuk ke seorang gadis remaja yang tengah membenahi letak sampur seorang penari cilik. “Tanggal enam belas nanti akan diwisuda. Ada ritualnya, sampean harus datang.”
Jaran Goyang
Gadis belasan tahun itu adalah Yeyen. Setelah cukup piawai menari gandrung sekaligus nyinden—Gandrung Temu mengangkatnya menjadi asisten. Hari itu, selepas para penari cilik dibebaskan dari kelasnya, Yeyen bersiap untuk membawakan tari Jaran Goyang. Jaran Goyang harus dibawakan secara berpasangan, laki-laki dan perempuan. Menurut Gandrung Temu—yang kelak juga dibenarkan oleh Gandrung Supinah—tari Jaran Goyang terbukti kerap menjadi saksi pertalian asmara yang berujung ke pelaminan. Biasanya, sepasang yang pernah membawakan Jaran Goyang, benar-benar berjodoh dalam dunia nyata. “Beberapa memang menjadi suami-istri. Tapi itu dulu,” jelas Gandrung Temu.
Waktu saya bertanya apakah hal semacam itu masih relevan di zaman sekarang, Gandrung Temu tertawa kecil. “Sekarang jaman lebih maju. Sudah banyak yang berubah,” jawabnya kemudian.
Saya tidak terlalu memikirkan jawaban terakhirnya itu. Banyak informasi di sekitar kehidupan para penari gandrung yang berjubal dalam kepala saya—beberapa di antaranya, tetap menjadi misteri. Mungkin benar apa yang dikatakan Gandrung Temu, bahwa banyak hal telah berubah dan ingatan saya yang samar tentang penari gandrung—tidak sepenuhnya dapat menjangkau ke masa lalu ketika saya pernah bertahan semalam suntuk di antara barisan penonton yang terdiri dari orang-orang dewasa. Namun, selama dua bulan berada di Banyuwangi, satu demi satu ingatan itu menyeruak—bahwa benar masih ada gandrung terop di tempat ini. Dan hari itu, sekali lagi, saya menyaksikannya langsung.
“Kalau yang ini jaran goyang namanya,” ujar Gandrung Temu. “Sudah pernah nonton, belum?”
Saya mengangguk kecil. Lalu mata saya terpaku pada sepasang penari yang sedang berpadu dalam sebuah formasi. Seorang anak laki-laki (13), mencoba menangkap sampur yang dilepaskan dari tangan lentur seorang penari perempuan—gadis remaja yang sebentar lagi akan menyudahi masa magangnya di Sanggar Tari Sopo Ngiro. Saya mengikuti adegan demi adegan dalam jaran goyang itu hingga selesai.
Sekitar pukul 12.00 WIB, saat sesi latihan hari itu berakhir, Supri (30) datang menjemput saya. Supri adalah salah seorang staf di kantor Desa Kemiren. Pada beberapa kesempatan, dia menemani saya ke sejumlah tempat di wilayah Desa Kemiren. Tidak lama berselang, saya pun pamit, seraya mengatakan kepada Gandrung Temu, bahwa sepertinya saya akan datang lagi ke Banyuwangi.
Penyunting: Nadya Gadzali