Kematian bagi Suku Dayak Punan Hovongan merupakan proses yang alamiah. Sebuah alur kehidupan manusia menuju kesejatian yang tak mesti dibingkai dalam suasana dukacita.

Di Desa Bungan Jaya, desa terhulu di kawasan Sungai Kapuas, Provinsi Kalimantan Barat, kematian tak ubahnya sebuah perayaan yang diringkus dalam senda gurau dan gelak tawa. Pasalnya, dalam tradisi Punan Hovongan, kematian merupakan wilayah paradoks yang tak dapat dimaknai secara harfiah, melainkan sebuah metafora konseptual tentang perjalanan hidup manusia menuju kesempurnaan.

Peristiwa yang tergolong tak lazim itu dikisahkan oleh Bane, salah seorang pemangku adat yang bersedia dihubungi terkait pelaksanaan ritual kematian Suku Dayak Punan Hovongan. Saat dihubungi via sambungan telepon, ia memaparkan sedikitnya empat tradisi dalam peristiwa kematian yang digelar guna memberikan penghiburan bagi keluarga mendiang.

Jauh dari suasana dukacita yang diwarnai isak tangis, ritual kematian sub-suku Dayak yang memiliki kecenderungan untuk menghindari peperangan ini—menyimpan khidmatnya sendiri. Salah satunya, tata cara menyampaikan ungkapan belasungkawa ketika ada salah seorang anggota komunitas adat meninggal dunia.

Ragam Tradisi Unik Pada Ritual Kematian Dayak Punan Hovongan

Diawali dengan membunyikan gong sebagai pertanda datangnya rombongan pelayat. Pada peristiwa kematian, gong dibunyikan dengan pola ketukan tertentu agar gemanya mencerminkan suasana berkabung. Bagi etnis Dayak, gong serupa alat komunikasi yang digunakan di berbagai kesempatan dan gelaran adat, baik ditampilkan sebagai unsur penyusun bunyi, maupun sebagai penanda terjadinya suatu peristiwa.

Sementara instrumen gong ditabuh, rumah duka berangsur dipadati pelayat yang hendak menyampaikan penghormatan terakhir kepada almarhum. Kalimat perpisahan pun digumam, sebab pada dukacita yang mendalam, ada saja hal-hal bajik yang layak dikenang. Suku Dayak Punan Hovongan menggunakan kesempatan itu untuk menyampaikan obituari terkait kenangan indah bersama almarhum. Dibawakan dengan gaya bersenandung, tradisi ini mengingatkan saya pada prosesi adat dalam ritual kematian masyarakat Batak Angkola, Tapanuli Selatan.

Kalimat perpisahan pada kultur Dayak Punan Hovongan, memiliki makna yang berbeda dengan mendoakan. Para pelayat tak merapal doa bagi almarhum, melainkan untuk orang-orang yang masih hidup. Sebab, ajaran Kristiani yang sudah berasimilasi di lingkungan adat, mengajarkan bahwa konsep surga dan neraka merupakan prerogasi Tuhan yang tak dapat diintervensi oleh orang-orang yang masih hidup.

Meski sudah tak berkalang nyawa, salah satu elemen ritus pada ritual kematian Suku Dayak Punan Hovongan terwakili dalam sepiring sajian yang dihidangkan di atas selange atau dipan kayu beralaskan tikar yang digunakan untuk membaringkan jenazah. Menu yang disajikan di atas piring umumnya terdiri dari tepolong atau pulut yang terbuat dari beras ketan, sayur umbut pisang, umbut sawit, umbut sagu atau umbut kelapa yang disajikan tepat di samping jenazah bersama nasi, kopi dan rokok.

Selange dibuat oleh kaum laki-laki, sedangkan perempuan, bertanggung jawab untuk urusan memasak dan menyediakan konsumsi untuk seluruh pelayat selama berlangsungnya ritual kematian, berupa camilan dan makanan berat. Dalam bahasa lokal, pembagian tugas ini disebut juga dengan ngaat.

Didirikan sekitar satu meter dari atas permukaan tanah dengan jenazah terbaring di atasnya, selange merupakan sarana dialektis, lantaran mampu memantik perenungan tentang siklus hidup dan mati secara bersamaan. Posisi mayat yang ditempatkan lebih tinggi dari permukaan tanah memudahkan para pelayat mengenang jasa-jasa dan kebaikan almarhum semasa hidup.

Sedangkan dalam kajian hermeneutika, peletakkan jenazah yang demikian dapat dimaknai sebagai perjalanan hidup manusia di muka bumi—yang baru dapat dikatakan tuntas dan menyeluruh, jika nyawa telah terpisah dari raga. Penghormatan lainnya ialah dengan mengenakan pakaian terbaik bagi almarhum, berupa pakaian adat yang menjadi kebanggaan sekaligus identitas kultural Suku Dayak Punan Hovongan.

Diantara kerumunan pelayat, sekumpulan anak-anak kecil menggelar sebuah permainan tradisional menggunakan cincin yang dimasukan ke dalam benang dan dipindahkan dari satu tangan ke tangan lainnya. Seorang anak diharuskan menebak posisi cincin yang disembunyikan di dalam genggaman tangan kawannya. “Kesalahan menebak akan berujung pada hukuman. Biasanya, anak itu diminta untuk merangkai sebuah pantun. Jika tidak, wajahnya akan dilumuri jelaga hitam yang berasal dari panci”, ujar Bane. “Permainan ini tergolong sakral, karena hanya dimainkan pada saat upacara kematian untuk mencairkan suasana, serta menghibur keluarga yang sedang berkabung”, lanjutnya.

Pemandangan yang tak lazim pada ritual kematian pun kembali terlihat, ketika secangkir kopi ditaruh dengan sedikit dihempas ke hadapan salah seorang pelayat. Gelak tawa pun tak terelakkan, saat wajah salah satu pelayat terciprat air kopi dari dalam cangkir. Tradisi ini tak terlepas dari itikad untuk mengalihkan suasana duka, ke dalam atmosfir riuh dan sukacita.

Tibalah pada ritual pamungkas atau prosesi pemakaman menurut agama yang dianut. Dahulu, ketika Suku Dayak Punan Hovongan masih menganut ajaran agama leluhur ake orat, jenazah disemayamkan di dalam goa-goa, kemudian diberi penanda sejenis tempayan. Namun saat ini, mayoritas Suku Dayak Punan Hovongan sudah beralih kepercayaan, terlihat dari banyaknya tanda salib yang didirikan di atas pusara yang menunjukkan bahwa mayoritas sub-etnik Dayak yang satu ini, sudah memeluk agama Kristiani.

Tidak ada istilah khusus dalam bahasa Punan Hovongan yang menyebutkan nama ritual kematian. Sebab, peleburan budaya Dayak serta tradisi Kristiani yang berkelindan di Kapuas Hulu, telah menciptakan model sinkretisme yang selaras, antara norma agama dengan adat istiadat setempat.

Tradisi Punan Hovongan tak membenarkan adanya perilaku berlebih-lebihan pada pelaksanaan ritual kematian. Hal ini tercermin dalam sejumlah aturan yang tak boleh diabaikan. Dua di antaranya, larangan untuk mendokumentasikan ritual, serta larangan untuk mengenakan perhiasan selama prosesi berlangsung. Pasalnya, kultur setempat meyakini bahwa memperlihatkan kekayaan pada keluarga yang sedang berkabung, tak akan meringankan kepedihan maupun duka yang tengah dialami.

Filosofi dan Karakteristik Suku Dayak Punan Hovongan

Di rimba Kalimantan, keahlian bertahan hidup diperoleh dari pembacaan terhadap tanda-tanda alam, termasuk insting berburu yang dimiliki etnis Dayak Punan Hovongan. Dalam bahasa lokal, pengetahuan ini disebut dengan siriq, yakni sikap tabah dalam memperoleh rezeki berdasarkan pembagian peran.

Sub-etnik pengamal tradisi siriq ditempa oleh berbagai tantangan yang dihadapi di dalam hutan. Keahlian navigasi serta adaptasi Suku Dayak Punan Hovongan tempo dulu, terbentuk begitu alami. Sebab pada situasi peperangan, mereka terpaksa melarikan diri ke hutan. Sedangkan untuk bertahan hidup, Suku Dayak Punan Hovongan mengasah keahlian berburu dengan cara mengendap-endap agar dapat menyergap hewan buruan dengan cermat.

Itu sebabnya, hutan berperan layaknya seorang Ibu bagi masyarakat Suku Dayak Hovongan. Sedangkan sungai yang mengurat di sepanjang kawasan Kapuas hulu, laksana air susu yang menghidupkan peradaban. Sebuah relasi mutual yang tak hanya dibangun di atas kepentingan untuk mengambil manfaat, melainkan kesadaran untuk terus menumbuhkan tabiat selaras dengan alam.

Begitu pula kearifan lokal yang tercermin dalam praksis kehidupan sosial Dayak Punan Hovongan. Simbol-simbol kultural yang digunakan dalam pelaksanaan ritual kematian, tak hanya dapat dimaknai melalui perspektif visualnya saja, melainkan pada tatanan magis-spiritual yang membuat ritual kematian tetap sarat akan nilai kontemplatif— meski di dalamnya terdapat sederet aktivitas bernuansa hiburan.