Desa Peliatan telah lama dikenal sebagai desa para seniman Legong. Seiring berlabuhnya kapal-kapal pesiar Belanda di pesisir Bali, kesenian Legong yang dipopulerkan oleh I Wayan Lotering tak hanya masyhur di dalam negeri, melainkan di benua Eropa lewat pementasan tari Legong di Kota Paris, Perancis, pada tahun 1931.

Presiden Soekarno kembali menerima tawaran misi kesenian pada tahun 1952. Untuk kepentingan lawatan itu, Gusti Made Sengog didapuk oleh Sekaa setempat untuk melatih tiga orang penari belia asal Desa Peliatan, Anak Agung Oka, Anak Agung Anom, dan Gusti Ayu Raka hingga mahir mambawakan Legong Lasem— menggantikan I Wayan Lotering.

Jelang lawatan kedua ke Kota Paris, struktur dan perbendaharaan gerak tari Legong mengalami perubahan. Jika semula mengikuti teknik Lotering, tari Legong perlahan-lahan menjurus pada teknik yang diperbaharui oleh Sengog. Perbedaannya terletak pada aksentuasi getar yang lebih kuat, postur tubuh yang lebih condong ke depan (cengked), serta posisi dagu yang sedikit terangkat. Tarian yang diperbaharui itu kemudian dikenal dengan Legong Lasem dengan ciri khas Peliatan, atau disebut juga Legong Lasem Peliatan.

Berkembangnya Legong gaya Peliatan, tak terlepas dari peranan Anak Agung I Gde Mandera yang jeli mengamati teknik pengajaran Sengog. Mandera adalah pimpinan Sekaa Gong dan misi kesenian yang mewakili Indonesia di Eropa pada tahun 1931. Untuk selanjutnya, teknik Peliatan diajarkan oleh Sang Ayu Muklen dan Ni Ketut Reneng lewat jenis Legong klasik lainnya, seperti Legong Kuntir, Legong Semaradahana, dan Legong Jobog. Teknik Peliatan masih lestari hingga saat ini, diajarkan di sanggar-sanggar tari yang menitikberatkan fokusnya pada Legong klasik.

Seiring berkembangnya pariwisata di Pulau Bali, tari Legong menjadi kesenian yang digemari oleh wisatawan mancanegara. Dikagumi lantaran perbendaharaan geraknya yang kompleks, tabuhan gamelannya yang indah, serta kepiawaian para penarinya saat memerankan berbagai tokoh dalam repertoar.

Legong adalah Sebuah “Panggilan”

Pada sebuah kesempatan, Nyoman Trianawati berbagi kisah kepada saya tentang kesenian Legong yang ia tekuni sejak tahun 1994. Pelatih sekaligus koreografer yang akrab disapa Nana itu meyakini bahwa sesuatu telah menuntunnya menjadi pegiat seni Legong. Diawali pertemuannya dengan Bengkel Tari Ayu Bulan sekira 27 tahun lalu di Kota Bandung.

Maestro Legong Ayu Bulantrisna Djelantik memberinya pemahaman bahwa tarian yang sarat akan nilai-nilai keagamaan seperti tari Legong, membutuhkan keteguhan dan kemantapan hati. Baginya, Legong adalah hal yang benar-benar ia yakini akan dilakukan dengan sepenuh hati.

“Meski tak ada ritual khusus, namun pengaruh tari Sanghyang yang sarat akan nilai-nilai spiritual, mendorong setiap penari untuk melakukan ritual menurut keyakinan masing-masing, seperti memohon kelancaran dan perlindungan kepada Tuhan agar dapat menari dengan baik”, terang Nana saat ditanyai soal persiapan membawakan tari Legong.

Ia juga menjelaskan bahwa Peliatan adalah nama sebuah Desa di Pulau Bali, berjarak sekitar 10 KM dari Gianyar dan termasuk ke dalam wilayah Ubud. Legong yang dilahirkan di Desa Peliatan dikenal lantaran memiliki kekhasan gerak yang lebih dinamis jika dibandingkan Legong dari desa lainnya.

Aturan Baku Kesenian Legong

"Leg" bermakna luwes, sedangkan "gong" adalah suara yang dihasilkan dari tabuhan gamelan. Di kawasan Ubud, repertoar tari Legong menjadi pertunjukan yang rutin dipentaskan di Balerung Mandera Srinertya Waditra. Sesuai penamaannya, Legong merupakan serumpun tarian klasik Bali yang dikenal dengan perbendaharaan geraknya yang kompleks, serta terikat dengan tabuhan gamelan yang terdiri dari seperangkat barungan gamelan Bali, yaitu gangsa, jublag, jegogan, kempur, kemong, cenceng, kajar, rehab, suling, dan sepasang gender rambat, dan gender barangan.

Sebuah sumber menyebutkan bahwa teks yang terdapat di dalam lontar Dewa Agung Karna, relevan dengan penciptaan tari Legong, yakni diadaptasi dari mimpi seorang pangeran dari Kerajaan Sukawati. Dalam keadaan sakit keras, sang Pangeran bermimpi menyaksikan dua orang gadis tengah menari di halaman keraton, bermandikan cahaya bulan seraya diiringi tabuhan gamelan yang indah. Isyarat kemurnian di dalam mimpi sang Pangeran itu kemudian dituangkan ke dalam repertoar tari Legong.

Dalam perkembangannya, kesenian Legong mengalami sedikit perubahan struktur dan gerak, menyesuaikan dengan tuntutan durasi pertunjukan yang lebih pendek. Kendati demikian, tak ada perubahan urutan pada pementasan tari Legong. Sejak dulu hingga saat ini, tari Legong dibawakan dalam skema yang berurutan, yakni pembuka (pengawit dan pepeson), tubuh atau isi (pengawak), pengecet, batel maya, pengrangrang, pengipuk, angkat-angkatan, serta bagian penutup (pekaad).

Sedangkan Legong klasik yang berhasil diinventarisir dan telah melewati proses rekonstruksi ialah Legong Lasem, Legong Jobog, Legong Kuntir, Legong Kuntul, Legong Prabangsa, Legong Legodbawa, Legong Semaradahana, Legong Sudarsana, Legong Raja Cina, Legong Kupu-kupu Tarum, Legong Bramara, Legong Guak Macok, Legong Pelayon, Legong Bapang, Legong Candrakanta, dan Legong Gadung Melati.

Sebagian besar masih dikenal secara luas di Pulau Bali, terutama oleh pecinta seni Palegongan. Sementara enam di antaranya—Prabangsa, Pelayon, Legodbawa, Kupu-kupu Tarum, Guak Macok, Bramara dan Gadung Melati—termasuk ke dalam jenis Legong yang dipentaskan hanya di waktu-waktu tertentu.

Dari 16 jenis Legong klasik yang disebutkan, tokoh yang diperankan oleh setiap penari bergantung pada repertoar yang dibawakan. Uniknya, setiap penari dapat berubah peran sesuai dengan alur cerita tanpa perlu berganti kostum untuk menunjukkan perubahan gender maupun karakter. Hal ini menjelaskan sisi abstrak tari Legong yang cenderung menampilkan karakter suatu tokoh lewat ekspresi wajah. Sementara itu, guna memperkuat suatu karakter atau gender, umumnya digunakan tambahan properti berupa sayap, panah, kipas, selendang atau keris.

Repertoar Legong

Legong Peliatan begitu sarat akan makna dan telah memperkaya khazanah kesenian Legong di Pulau Bali. Diyakini telah berumur ribuan tahun dan masih terus diminati hingga saat ini, terutama Legong Lasem yang kerap dipentaskan guna menarik perhatian kalangan internasional.

Sastra klasik Malat (perjanjian Panji) disebut-sebut sebagai cikal bakal repertoar Legong Lasem. Dikisahkan bahwa Prabu Lasem memaksakan cintanya pada Diah Rangkesari, seorang putri dari Kerajaan Daha. Namun, usaha sang Prabu harus kandas lantaran perempuan yang dicintainya telah bertunangan. Saat hendak berjuang merebut sang Putri, seekor gagak menyambar Prabu Lasem, sehingga ia harus tewas secara tragis di medan pertempuran.

Tak heran, jika tarian ini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat terdedah di jagat seni pertunjukan tanah air, sebab awalnya hanya ditujukan sebagai hiburan bagi para triwangsa: kaum bangsawan Bali yang tinggal di lingkungan keraton.

Di akhir sesi wawancara, Nana memastikan bahwa Bengkel Tari Ayu Bulan tetap giat melakukan sosialisasi sesuai dengan visi dan misi komunitas, yaitu pelestarian Legong, baik gaya Peliatan maupun Legong lainnya.

Legong gaya Peliatan telah menggenapkan kesan tentang Ubud yang selaras antara spiritualitas Hindu dan budaya Bali. Namun suatu hari, kita praktis terlupa akan repertoar Legong, arkaisme budaya Bali dan harum kemboja– jika kita luput merenungkan makna di balik penciptaan tari Legong, atau orang-orang yang telah berjuang untuk melestarikannya.