Secara umum, masyarakat Suku Baduy terbagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu Baduy Dalam, Baduy Luar, dan Baduy Dangka. Baduy Dalam adalah masyarakat yang paling patuh terhadap peraturan adat yang diberlakukan sejak zaman leluhur. Ciri khasnya adalah mengenakan pakaian berwarna putih alami dan biru tua, serta memakai ikat kepala putih.

Sedangkan Baduy Luar adalah mereka yang tinggal di berbagai kampung yang mengelilingi wilayah Baduy Dalam. Mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Sedangkan tingkatan yang terakhir adalah Baduy Dangka yang hidup berdampingan dengan Baduy Luar. Dari tata cara berpakaian, tak terlihat perbedaan yang menonjol antara Baduy Luar dan Baduy Dangka, kecuali kehidupan Suku Baduy Dangka yang cenderung lebih longgar dibandingkan Baduy Luar.

Kehidupan Suku Baduy Luar

Pemberhentian terakhir kendaraan menuju pemukiman Baduy Luar berada di Tugu Ciboleger. Dari titik ini, Wisatawan diminta untuk berjalan kaki mengunjungi kampung–kampung yang ada di Baduy Luar. Jika kita mulai berjalan, hal pertama yang akan kita lihat adalah kerajinan tangan yang dijual oleh penduduk setempat, berupa gelang, kain tenun, tas terbuat dari kulit kayu teureup, dan lain sebagainya.

Tugu Selamat Datang di Ciboleger/ Dian Islamiah

Suku Baduy Dalam menjaga ketat adat istiadat yang diwariskan oleh leluhur. Adat melarang penggunaan alas kaki, deterjen, alat makan, listrik dan perangkat teknologi modern. Anak–anak Suku Baduy Dalam dilarang bersekolah agar pengetahuan yang diterima tetap berupa pengetahuan lisan (tidak tertulis), sebab hal-hal tersebut dianggap pamali (tabu).

Berbeda halnya dengan kehidupan Suku Baduy Luar dan Baduy Dangka. Mereka sudah mengenal teknologi berupa telepon pintar, meskipun masih dilakukan secara sembunyi–sembunyi agar tidak diketahui oleh masyarakat Suku Baduy Dalam. Sudah mengenakan alas kaki dan rias wajah, peralatan rumah tangga seperti piring, sendok, garpu, gelas kaca dan plastik. Di sepanjang jalan yang berada di Kampung Baduy Luar, sudah dijual aneka makanan ringan dan minuman.

Baduy Luar ialah Suku Baduy yang tidak ingin terikat dengan adat istiadat. Namun masih memberlakukan beberapa aturan adat, di antaranya, rumah penduduk Suku Baduy Luar yang berbentuk panggung, terbuat dari bilik bambu yang atapnya berasal dari daun naw yang ditutup dan disatukan dengan ijuk, kemudian diletakkan berdekatan di antara rumah satu dengan rumah lainnya.

Tidak ada perbedaan pada gaya arsitektur rumah masyarakat Baduy secara keseluruhan. Menurut seorang Dosen Agroekologi, bahan untuk membangun rumah seluruhnya berasal dari alam, sedangkan pembangunan rumah dilakukan secara gotong- royong oleh masyarakat setempat.

Rumah Suku Baduy Terbuat dari Bahan-bahan yang Didapat dari Alam/ Dian Islamiah

Jika berhasil mengunjungi kampung terakhir Baduy Luar, wisatawan akan menemui sebuah Jembatan Gantung. Jembatan ini terletak di Kampung Gajebo. Jembatan ini pula yang menghubungkan kawasan Baduy Dalam dan Baduy Luar. Tentu saja, untuk mencapai kawasan Baduy Dalam, wisatawan harus berjalan kaki kembali dengan durasi waktu sekitar 4 jam dengan melewati medan yang berbukit–bukit.

Jembatan ini terbuat dari dua pohon sebagai tiang, bambu sebagai pengikatnya dan ijuk sebagai alas jembatan. Seluruhnya memanfaatkan hasil alam. Di kampung terakhir juga terdapat sebuah rumah yang memiliki tanda khusus berupa lingkaran yang terletak di atap rumah. Menurut informasi yang didapat, rumah tersebut merupakan rumah kepala suku.

Jembatan Gantung di Kampung Gajebo/ Dian Islamiah

Kepercayaan Masyarakat Suku Baduy

Masyarakat Suku Baduy menganut agama Sunda Wiwitan. Memuja arwah nenek moyang (animisme) yang dipengaruhi oleh agama hindu kuno. Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Baduy adalah arca Domas yang dianggap sebagai leluhur mereka. Arca sakral tersebut dipuja setahun sekali di tempat yang misterius dan dirahasiakan lokasinya. Orang Baduy berziarah ke Arca Domas di bulan kelima. Namun, hanya puun (kedua adat) dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang termasuk ke dalam rombongan pemujaan tersebut.

Masyarakat Baduy percaya bahwa jika arwah nenek moyang dihormati, dapat memberikan kekuatan lahir dan batin kepada keturunannya. Oleh sebab itu, pemujaan terhadap nenek moyang atau Arca Domas adalah peristiwa yang sakral.

Inti dari kepercayaan itu ialah pikukuh (ketentuan adat) yang mutlak dianut dalam kehidupan sehari–hari. Konsepnya adalah “Lojor heunteu menang dipotong, pèndèk heunteu menang disambung, kurang henteu menang ditambah, leuwih henteu menang dikurang”. Artinya, “yang panjang tidak boleh dipotong, yang pendek tidak boleh disambung, yang kurang tak boleh ditambah, yang lebih tak boleh dikurangi”.            

Ketika salah satu masyarakat Baduy meninggal dunia, maka akan digelar perayaan bernama kapa paitan atau kapa pancenan. Perempuan Suku Baduy akan berkumpul di satu tempat untuk saling bergotong royong membantu keluarga yang ditinggalkan.

Pemakaman dilaksanakan di ladang, sebab ladang merupakan bagian dari alam yang memenuhi konsep biogekimia aliran energi lama yang kelamaan menjadi penyubur tanaman. Konsep ini telah diterapkan oleh masayarakat Suku Baduy sejak dahulu.

Mata Pencaharian Suku Baduy Luar

Aktivitas sehari–hari masyarakat Suku Baduy adalah bertani. Menjual buah–buahan hasil panen. Di sepanjang perjalanan dari kampung pertama ke kampung selanjutnya di wilayah masyarakat Baduy Luar, saya menemukan beberapa ladang kosong di area perbukitan. Konsep pertanian yang diterapkan oleh masyarakat Suku Baduy adalah agroforestry. Perpaduan antara tanaman pertanian dan tanaman kehutanan.

Selanjutnya, masyarakat Baduy tidak menanam tanaman pangan dan hortikultura jika waktu tanam tidak tepat atau pada musim tanam yang salah. Ada suatu kepercayaan dari masyarakat Suku Baduy. Jika sumber mata air yang berada di sekitar Arca Domas terlihat jernih, maka saat itu adalah musim yang baik untuk menanam. Namun jika air tampak keruh, masyarakat percaya bahwa ada hal buruk yang akan terjadi.

Buah durian dan kayu Sengon menjadi komoditas unggulan masyarakat Suku Baduy. Di suatu kawasan yang terpisah dengan rumah penduduk, tempat khusus untuk menyimpan padi didirikan, atau yang dikenal dengan lumbung padi. Masyarakat Suku Baduy menyebutnya dengan leuit. Terbuat dari bambu dan daun kelapa yang diikatkan dengan ijuk.

Leuit: Lumbung untuk Menyimpan Padi/ Dian Islamiah

Leuit berbentuk panggung seperti bentuk rumah penduduk, hanya saja, terdapat piringan di bagian alasnya untuk mencegah hama seperti tikus, sehingga gabah dapat tersimpan dengan baik. Gabah dimasukkan melalui pintu yang terletak di bagian atas. Untuk mencapai bagian atas, masyarakat Suku Baduy menggunakan alat bantu berupa tangga. Masyarakat pun akan mengambil gabah bagian atas untuk diolah menjadi beras, sehingga dapat dipastikan bahwa gabah yang terletak di bagian bawah sudah bertahun-tahun tersimpan di sana.

Aktivitas lain yang dilakukan oleh para perempuan selain mengurus rumah adalah menenun. Kami melihat alat tenun tergeletak di teras depan rumah, serta beberapa perempuan yang sedang menenun. Menenun adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan pakaiannya sendiri, keluarganya, dan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Proses menenun dimulai dengan menanam biji kapas, memanen, memintal, menenun menggunakan alat tradisional, kemudian mewarnai pakaian dengan celup menurut motif khasnya. Hal menarik lainnya, para perempuan mengenakan kain yang dililitkan di pinggang, berwarna biru kehitaman–hitaman untuk pakaian sehari-hari.

Penyunting: Nadya Gadzali