Etnis.id - Di Makassar dulu, saya gemar makan nasi kuning saat pagi. Malam juga sering, tapi nasi kuning yang murah. Maklum, jika lapar tengah malam saya yang miskin ini, cuma bisa beli yang murah dan mengenyangkan selain mi. Murah, rasanya hambar, tapi mengenyangkan.
Entah dari mana asal nasi kuning. Dulu, kukira nasi kuning berasal dari Manado. Sebab, seorang teman beberapa kali meyakinkan saya kalau nasi kuning dari sana. Ada juga yang bilang dari Jawa. Ini membingungkan dan bisa menimbulkan perdebatan.
Di Jakarta, saya tidak banyak mencoba nasi kuning. Hanya beberapa kali. Jika pagi, di Jawa Barat, di Indramayu, ada pesepeda yang lewat berdagang nasi kuning, saya membelinya. Hanya sekali saja. Rasanya standar. Paling tidak, jika soal rasa ia kalah, nasi kuning itu harus mengenyangkan.
Satu nasi kuning di Jakarta menurutku aneh. Bukan tidak baik ya. Lauk untuk nasi kuningnya, diberi gorengan seperti bakwan. Malah disuruh memilih, tahu goreng dengan terigu goreng yang banyak atawa tempe. Kenyataan seperti ini tak pernah kudapat di Makassar. Saya belum terbiasa.
Saya curiga, nasi kuning mengikuti budaya makanan dari timur tengah, seperti nasi briyani yang di dalamnya terdapat beberapa rempah penting seperti lada, kunyit dan cengkeh. Beberapa kali saya makan, nasi briyani tetap kaya akan rasa. Meski mirip nasi kuning, rasa nasi briyani berbeda. Briyani lebih bersantan dari nasi kuning.
Selama makan nasi briyani, tak ada yang mengecewakan. Apalagi, jika dalam hajatan orang Arab, nasi briyani biasanya punya teman seperti kari kambing hangat atau kari ayam yang tingkat pedasnya standar. Jika tak percaya, cobalah.
Soal nasi kuning, dalam pelbagai sumber, disebut berasal dari Jawa. Warna kuning, menurut orang Jawa, punya banyak arti dalam kehidupan. Mereka meyakini, warna kuning melambangkan emas yang berarti kekayaan. Sementara di Bali, kuning dianggap warna keramat. Buktinya, nasi kuning sering digunakan pada saat hari Kuningan.
Sejauh ini, belum juga ada riset dengan data yang kuat dan meyakinkan, kalau nasi kuning itu berasal dari Jawa atau dari Manado? Okelah. Tak perlu terlalu berbelit-belit untuk mencari dari mana nasi kuning itu pertama kali dijajakan dan dibuat. Apakah itu makanan ritus tertentu atau tidak.
Di Makassar, banyak ragam nasi kuning, ada yang mahal dan rasanya enak dan ada juga yang rasanya biasa saja dan berharga murah. Yang murah, biasanya hanya ditaburi lauk seperti potongan kecil tempe kecap, sepotong telur rebus, sesendok atau dua sendok bihun dan kerupuk.
Yang mahal, biasanya lebih banyak lauknya dan juga sangat enak. Paling mahal, bisa menyentuh harga Rp30 ribu. Nasinya juga lebih banyak dan santannya pas, tidak bikin eneg di mulut. Di Makassar, saya mencatat ada dua warung yang bisa saya rekomendasikan.
Sebelum itu, ada baiknya saya bubuhi dua hal penting yang membuat nasi kuning terasa enak meski lauknya biasa-biasa saja. Setidaknya bagi saya, ya. Entah jika teman-teman yang lain sepakat dan punya tambahan.
Pandan
Dari kecil sampai dewasa, nasi kuning di dekat rumah saya, di Makassar, selalu cepat habis. Namanya Nasi Kuning Mambo. Letak warung ini berada di Kompleks Haji Kalla, Athirah 1 nomor 8. Nasi Kuning Mambo sudah berdiri sejak puluhan tahun silam. Semoga pemiliknya masih sehat dan warungnya masih buka.
Dari SD, saat terima rapor dan pengumuman naik kelas, mendiang Kakek sering mengajak saya ke sana dengan berjalan kaki. Beliau yang pertama kali mengenalkan saya dengan Nasi Kuning Mambo. Kakek membawa tempat bekal kecil untuk anak-anak dari rumah.
Saat tahu saya terima rapor pada hari tertentu, maka tepat pada hari h, pukul 06.00 pagi, Kakek sudah membangunkanku untuk menemaninya membeli nasi kuning. Alasannya, nasi kuning itu biasanya lekas habis. Nasi Kuning Mambo biasanya sudah tutup pada pukul 08.00, apalagi ada acara penamatan sekolah.
Di sanalah saya pertama kali melihat bakul nasinya disimpan dua daun pandan yang sudah diikat. Kala itu, nasinya masih panas, warnanya kuning muda. Asapnya masih mengepul di meja tempat etalase lauk disimpan. Dari depan pagar warung, sudah tercium harum pandan.
Ini hal yang penting, sebab saat dimakan, apalagi dalam keadaan lapar, kepuasan jiwa bisa terpenuhi. Nasi kuningnya sudah lezat bukan main, ditambah dengan aroma pandan, bisa benar menambah selera makan dan memancing kawan untuk meminta sesendok atau lebih sarapan milik kita.
Untuk mengingatnya, pemilik Nasi Kuning Mambo, Bude, selalu tersenyum dan menuruti permintaan lauk lebih dari kita, apalagi jika sudah langganan. Semisal, kita minta tambah sesendok nasi lagi atau tahu rebusnya. Bude sungguh baik pada saya.
Sayur dan kuah
Selain Nasi Kuning Mambo, ada satu lagi yang kurekomendasikan yakni Nasi Kuning Sulawesi di Jalan Boulevard, Makassar. Nasi kuning ini juga sedap sekali menurutku. Satu porsi, bisa untuk makan tiga orang. Tapi tergantung, kalau porsi kenyangmu memang harus banyak nasi, ya. Lauknya, juga nikmat. Tidak mengecewakan.
Di Nasi Kuning Sulawesi, yang paling kusuka adalah paru goreng dan kelapa gorengnya. Selain nasinya yang gurih, kelezatannya bertambah dengan dua lauk ini. Tapi jangan lupa, kuah dari semur daging juga menjadi penunjang rasa nasi kuning.
Saya beberapa kali mendengar orang mengaku, kalau ia tak suka makan nasi kuning jika tak disiram kuah. Ada benarnya. Di lain kesempatan, saya berbeda darinya. Tapi untuk nasi kuning, memang lebih nikmat jika nasinya disiram kuah, sedikit atau banyak.
Saya yang masuk dalam golongannya itu, menganggap kuah semur bagian penting. Jika boleh bertanya dengan serius, memang bagaimana enaknya makan nasi kuning kering tanpa kuah? Jika pagi, mulut begitu kering. Masa iya, makan nasi yang kering-kering juga?
Mayoritas nasi kuning di Makassar, memakai acar. Sebagai tukang makan, saya sering ditegur, mengapa saya tidak suka makan sayur? Saya jawab, saya tidak suka isian acar. Terasa lain di lidah.
Untungnya, di Nasi Kuning Mambo, ada sayur santan. Isinya adalah labu siam yang diiris kecil. Kuahnya pas lidah saya. Kuah semur tahu dan tempenya juga sama. Sedikit garam dan santan yang kuat, dari kuah serta nasi, membuat saya jadi suka makan sayur.
"Bude, tambahkanka nah tahu sama sayur, banyaki juga kuahnya Bude. Nah, nah?"
Artinya, saya meminta pemilik Nasi Kuning Mambo untuk menambah sayur dan lauk dengan merengek seperti anak kecil. Bude lalu tersenyum ke saya sambil menjawab, "tenang, gampang itu."
Pada intinya, lauk boleh berbeda-beda, tapi tanpa kuah dan pandan saat menanak nasi kuning, selalu ada yang kurang bagi pemuja makan pagi. Itu kalau saya. Kalau kamu, bagaimana?