Etnis.id - Batik adalah karya seni dengan filosofi yang mengakar kuat dalam masyarakat hingga kini. Batik telah melewati lintasan sejarah yang panjang, termasuk dalam ritus-ritus peralihan kehidupan manusia.

Bandung Mawardi (2011) mengutip Rens Heringa menjelaskan, bahwa mitos batik paling awal muncul di Jawa pada sekitar tahun 700. Alkisah, ada seorang pangeran dari Jenggala bernama Lembu Amiluhur, menikahi perempuan ningrat dari Coromandel (India). Perempuan itu bersama para dayang, mengajarkan cara menenun, membatik, dan mewarnai kain pada orang-orang Jawa.

Catatan tertulis tentang sejarah batik muncul pada 1518 di wilayah Galuh (Jawa). Raja Mataram Sultan Agung (1613-1645) disebut mengenakan batik dengan motif burung huk. Motif ini dalam mitologi China, berarti membawa berkah keberuntungan.

Pengaruh India dan China pada batik dapat dilihat dari teknik, bentuk dan filosofi. Batik sanggup melewati batas teritorial, sosial dan etnik. Belum ada negara mana pun yang memiliki kekayaan desain motif batik seperti dimiliki Indonesia.

Tiap-tiap daerah memiliki banyak desain dan motif, seperti motif batik Pintu Aceh dan Cakra Doenya dari Aceh; Itik Pulang Petang, Kuntum Bersanding, Awan Larat, dan Tabir dari Riau; motif Jlamprang (Pekalongan), Sida Mukti, Sida Luhur (Solo), Patran Keris, Paksinaga Liman, Sawat Penganten (Cirebon) dari Jawa dan lainnya. Eksistensi batik tersebut tentu tidak bisa lepas dari dinamika bermacam aspek.

Riza Multazam Luthfy (2017) menyebut, pada awalnya batik merupakan karya seni high-class yang khusus digunakan oleh golongan bangsawan dan bukan oleh masyarakat umum. Batik mulai diperkenalkan kepada awam ketika para petinggi raja tinggal di luar tembok istana. Terlebih ketika produksi batik meningkat.

Jika dulu batik menjadi industri rumah tangga yang dilakukan oleh para wanita pada kala luang, kini batik menjadi salah satu komoditi ekspor-impor tekstil. Batik menjadi bagian industri. Pada saat yang sama, kekhasan batik secara estetika dan etika kehidupan yang melatarinya, mampu menjadikannya sebuah aset budaya bangsa.

Antitesis Dan Kultural

Dulu, ketika kaum priyayi bergaya ala kolonial dengan jas dan dasi yang menghegemoni, batik mampu menjadi antitesis dengan menawarkan gaya berpakaian yang terkesan non formal namun tetap elegan. Kini, batik menjadi bagian dari politik kultural.

Desain batik juga berkembang makin modis dan mampu berpadu-padan dengan jins, sesuatu yang senantiasa diidentikkan dengan modernitas atau Barat. Ini untuk menangkis anggapan, bahwa batik jadul banget.

Potensialitas batik juga membuat dunia, melalui UNESCO, diakui sebagai karya bangsa yang termasuk daftar representasi warisan budaya manusia tak berwujud (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, pada tahun 2009.

Pengakuan ini ditunjukkan pula pada suatu Sidang Dewan Keamanan PBB (DK PBB) pada tahun 2019 yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi. Saat itu, beragam motif batik maupun tenun dikenakan para delegasi peserta pertemuan dari berbagai negara, termasuk Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, yang mengenakan motif tenun troso berwarna cerah.

Dipilihnya batik sebagai dress code sidang DK PBB, merupakan bentuk penghormatan para anggota kepada Indonesia yang memegang tampuk Presiden DK PBB untuk bulan Mei 2019. Selain Sekjen PBB, delegasi lain yang menggunakan batik yakni delegasi dari Amerika Serikat, Jerman, Pantai Gading, Perancis, Peru, Republik Dominika dan Tiongkok.

Bisa disimpulkan, Indonesia telah berhasil menjalankan diplomasi soft power melalui busana. Dalam hal ini, pihak klien tanpa disadari ikut terpengaruh karena memang tidak ada unsur paksaan.

Bung Karno disebutkan pernah menelorkan sebuah gagasan besar mengenai “batik Indonesia”. Bahwa batik-batik tradisional dengan ciri etnis, mesti terus dikembangkan hingga memunculkan suatu ciri kebangsaan dan nasionalisme.

Pada saat yang sama, batik bisa menjadi bagian dari agenda kebudayaan yang juga mampu membawa kita menelusuri jejak-jejak sejarah, dinamika ekonomi, hingga praktik-praktik identifikasi komunalitas.

Sejak awal tahun 2008, perkembangan batik terutama dari desain, penampilan, dan coraknya, sangat signifikan. Tertulis data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), ekspor dari industri batik sepanjang 2019 mencapai US$ 17,99 juta atau sekitar Rp 253 miliar. Ekspor itu telah menembus sejumlah negara tujuan utama seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa.

Dengan potensialitasnya, batik perlu dibingkai baik-baik. Jangan sampai, batik sebagai kearifan tradisional, dicerabut dari konteks kebudayaan daerah dengan segala unsur tradisinya, sehingga kita menjadi terlena, tertipu dan memahami batik hanya sebagai sebuah motif dan benda mati sahaja. Batik sebagai kearifan lokal bisa memiliki fungsi terhadap cara pikir dan cara bertingkah untuk membangun manusia Indonesia yang berbudaya.

Meminjam metafora Ignas Kleden, kearifan lokal semacam ini diharapkan, “tidak hanya sebagai bagian dari politik representasi, decor theatrical atau setting yang diperlukan hanya untuk menciptakan suasana, tetapi berfungsi sebagai sebuah skenario desain budaya yang mengemuka.”

Editor: Almaliki