Etnis.id - Bagaimana cara mencintai lalu menikahi orang Bugis-Makassar Bagaimana orang Bugis-Makassar berbicara tentang perasaan? Seringkali, saya ingin menjawabnya dengan jawaban: Jadi PNS atau pengusaha dan meminang orang Bugis-Makassar.

Anggap saja ini kegelisahan orang-orang yang tidak mampu. Mencintai dan berkorban besar, tak bisa dipisah. Mencinta harus berkorban, berkorban pun rasanya mustahil tanpa mencinta objeknya.

Apakah panai selalu buruk? Atawa panai yang dicitrakan sosial media dan pemberitaan sengaja dibingkai secara bulat utuh dan memapas sudut pandang untuk dilihat dari arah mana saja?

Panai dan mahar tidaklah sama. Panai adalah uang belanja untuk semua kebutuhan resepsi pernikahan, sedangkan mahar adalah uang atau barang yang dipegang oleh istri dan menjadi hak mutlak bagi dirinya.

Sejarah uang panai masih samar-samar. Uang panai, konon diciptakan untuk melindungi perempuan Bugis dari orang Belanda yang gemar menikahi perempuan Bugis dengan mudah, pada zaman penjajahan. Panai mengangkat martabat dan perempuan Bugis-Makassar.

Waktu bergulir cepat. Uang panai bukan lagi semata untuk perlindungan orangtua kepada anaknya dari lelaki yang datang meminangnya, melainkan saling adu gengsi antartetangga dan lingkungan keluarga.

Misal, jika orangtua si perempuan memutuskan kalau uang panai anaknya sekira Rp20 juta, maka keluarga dekat calon mempelai perempuan, bisa datang untuk menambah angkanya menjadi hingga ratusan juta.

Dalih yang banyak adalah, "ih, kemarin anak tetangga itu, panai-nya seperti ini; ih, sudahmi sarjana anakmu, kasih naik-naik tong itu uang panai-nya; deh, harus ditambah, karena tamu undangan banyak, baru bukan orang sembarang diundang."

Begitu ucapan-ucapan yang banyak saya dengar dari pengalaman empiris saya sendiri. Tentunya masih banyak hal lain yang bisa melatari bertambahnya digit dalam uang panai.

Jarang orang tahu kalau dewan keluarga lelaki dan perempuan berunding, saling tawar-menawar uang panai. Jadi, bukan berarti harga yang ditetapkan keluarga perempuan, sudah utuh dan tak bisa diganggu gugat. Tawaran masuk dalam bagian prosesi madduta (mempersiapkan rencana pernikah lebih matang), sesuai adat Bugis.

Banyak yang mengeluhkan uang panai, itu sah-sah saja. Ia dianggap praktik perdagangan manusia model baru. Kita boleh sepakat dan boleh tidak, jika hal itu menyangkut agama dan sejarah ketidaksukaan, ketidaksetujuan pada hal yang melatarinya.

Dalam satu kesempatan, saya pernah duduk-duduk bersama seorang kawan di rumahnya. Di sana, ada istrinya, juga mertuanya. Dalam satu siang, di bawah pohon mangga kawan saya, berujarlah mertua lelakinya.

"Tidak bagus juga kalau tidak menyebut angka orang dalam pernikahan. Jadi mempelai lelaki itu, diajar untuk tawar-menawar. Ka adaji toh ruangnya untuk diskusi."

"Enak juga dilihat usahanya laki-laki sebelum menikah. Di situ bisa diukur, bagaimana lelaki ini nanti hidup dengan istrinya kalau menyangkut persoalan materi."

"Lagipula tidak salahji juga. Anakku saya kasih besar, saya didik, saya biayai sekolahnya, kan itu butuh uang. Masa saya bisa biayai anakku, laki-laki yang mau sama dia tidak? Hitung-hitung untuk menghargai keluarga perempuan toh."

Saya terkesiap dan menelan ludah. Bagaimana nanti jika saya yang akan menikah? Berapa dana yang harus saya gelontorkan untuk menikah kawan sekampung? Tak perlu berpanjang-panjang lagi saya kira. Cukuplah saya, secara pribadi, menambah perspektif baik dan buruknya uang panai.

Plus uang panai

Pertama, perempuan Bugis-Makassar disimbolkan sebagai sesuatu yang berharga dan sulit dimiliki. Meski ini didebat kalangan agamawan, tapi butuh waktu yang panjang untuk menyimpulkan. Tahap itu, saya belum berani.

Kedua, lelaki bisa menjadi lebih siap mental jika prahara soal materi menghantam rumah tangganya. Dengan catatan, lelaki yang dimaksud, berusaha sendiri mencari dana untuk memenuhi permintaan calon mertuanya.

Ketiga, kedua mempelai bisa lebih mempersiapkan masa depannya bersama. Misal, dalam madduta, diputus kalau mempelai lelaki harus menyiapkan sunrang yakni sebidang tanah atau sepetak rumah untuk istri, agar posisi perempuan terlindungi dalam keluarganya. Itu juga menjadi lambang harga diri menurut orang Bugis-Makassar.

Minus uang panai

Pertama, mental lelaki untuk menikah jadi gampang redup dikarenakan mahar dan uang panai. Bayangkan saja, jika Anda lelaki, belum menikah, dan isi atm Anda tidak mendukung dan orangtua Anda kere. Meski Anda mau berusaha dan bekerja, tapi dihambat uang panai, bagaimana perasaan Anda?

Kedua, dianggap bertentangan dengan agama. Sebab mahar yang ringan dan Islam yang melarang seseorang dengan bertindak secara berlebih-lebihan. Walau begitu, hal ini masih berpolemik dan diperdebatkan.

Ketiga, stereotip negatif kepada perempuan Bugis bisa terus-menerus terjadi. Muncul anggapan bahwa orang-orang Bugis kalau dinikahi hanya akan memberatkan, sebab standar soal tradisi adatnya yang tinggi.

Keempat, sentimen negatif bisa menerpa keluarga perempuan dan calon mempelai. Sementara lelaki, dengan modal cinta, kerja keras, dan uang panai yang kurang, bisa menjadi sosok pahlawan yang gugur karena terhalang restu orangtua perempuan (cuma karena uang panai).

Khusus dalam subpoin keempat, sepengamatan saya, orangtua mempelai perempuan memang ingin tercipta diskusi dan tawar menawar yang baik. Ini yang luput dibicarakan media.

Saya ingat kata mertua lelaki kawan saya itu, ia mendaku tipikal orangtua yang tak senang dengan keputusan yang bulat hari itu juga. "Ada baiknya, lelaki itu datang ke kami, berulang-ulang, bicara soal kesanggupannya. Semua masih bisa didiskusikan."

Yang terjadi sekarang adalah, kita tidak pernah tahu lelaki yang dibabat harapannya karena uang panai, apakah pernah datang ke keluarga perempuan untuk negosiasi atau tidak sama sekali?

Selain itu, bisa juga ada indikasi bahwa orangtua perempuan tidak menyukai lelaki yang ingin meminang anaknya. Makanya, trik mereka adalah memasang harga tinggi untuk menolak, sebab penolakan langsung seperti bahasa tidak direstui, terbilang kasar dan menyakitkan.

Masa depan uang panai

Secara garis besar, gengsi tentang pernikahan di hotel, membayar katering yang mahal demi perut tamu, serta bridesmaid untuk pajangan di media sosial, bisa saja ambruk diserang zaman. Apa pasal?

Hari ini, tampaknya, gelombang ekonomi serba tidak pasti. Bisa naik, bisa turun. Harga barang-barang bisa meroket tiba-tiba. Meski ramah investor, kebijakan pemerintah di banyak sektor, belumlah ramah pada kalangan kelas menengah dan ke bawah. Kampanye nikah muda juga marak digencarkan. Belum lagi maraknya nikah massal. Itu bukti bahwa, pernikahan masih banyak menyisakan soal dalam hal materi.

Hal itu ditunjang dengan gaya hidup milenial yang menyukai pekerjaan yang praktis dan tidak merepotkan dirinya seperti pekerja keras pada umumnya. Bahkan ada sematan, bahwa sekarang eranya kaum rebahan.

Selain itu, gaji tiap daerah juga belum bisa memuaskan amat mayoritas pekerja. Buktinya, buruh-buruh banyak berdemonstrasi menuntut kenaikan gaji dan aturan-aturan yang memasung leher para pekerja.

Data terbaru dikutip dari The Conversation, untuk membeli rumah juga semakin sulit. Memang mau tinggal di mana kalau sudah menikah? Mau di rumah mertua melulu? Itu belum ditambah dengan daya tekanan calon mertua yang meminta ini dan itu dalam resepsi pernikahan.

Meski memiliki tempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak setiap warga negara yang wajib dipenuhi oleh pemerintah, kita tak bisa percaya penuh pada pemangku kebijakan.

Intinya, kita harus atau terpaksa untuk bekerja keras, agar memiliki kemampuan ekonomi untuk membeli rumah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah generasi milenial mencapai 64 juta orang dan hampir setengahnya bekerja di sektor informal.

Laporan lain menyebutkan, 43 persen hanya lulusan sekolah menengah atas (SMA) dengan gaji rata-rata Rp2,1 juta per bulan. Sementara jika mengambil patokan harga rumah sekira Rp300 juta, pendapatan yang harus dimiliki untuk bisa mencicil rumah adalah Rp8,7 juta per bulan. Itu belum subsidi.

Lantas menyadari hal ini, apa yang harus kita lakukan? Apakah bekerja lebih giat lagi? Jika sudah giat namun uang untuk panai belum terkumpul, atau ambil permisalan sudah terkumpul, dan langsung habis dalam sehari, bagaimana dengan persoalan rumah?

Apakah menikah dikhususkan untuk orang-orang kaya saja? Apakah uang panai mesti dihilangkan serta gengsi diri dan keluarga dan kelururan budaya harus ditekan, demi terciptanya pernikahan hingga bisa membayar DP rumah?

Dari kenyataan di atas, saya kira sulit bagi tradisi uang panai untuk bertahan di tengah zaman yang menggila ini. Ajaran Islam sebelumnya mengarahkan untuk sederhana, tapi belum bisa didengar mayoritas muslim suku Bugis-Makassar.

Mungkin sekarang, zaman yang harus kita perdengarkan pada orangtua. Mungkin lebih masuk akal untuk mereka. Hanya ada dua kata, berdamai atau tetap kukuh dengan tradisi meski akan berkorban banyak atas nama gengsi.

Mari memperhitungkan semuanya!