Etnis.id - Dari berbagai jenis sajian khas Jawa, Dawet menjadi salah satu sajian yang sampai sekarang masih bisa ditemukan dengan mudah. Sajian dalam bentuk minuman ini mudah sekali dikenali. Hadir dengan cita rasa yang manis, lengkap dengan isian berupa cendol, menjadikan dawet memiliki tempat tersendiri bagi penikmatnya.
Dawet bisa dengan mudah ditemukan di Jawa. Penjual dawet biasanya menjajakan dagangannya di sepanjang jalan dengan menggunakan gerobak. Di balik gerobak tersebut, kalian akan menemukan hidangan dengan rasa yang sangat khas. Sangat pas manakala diteguk saat cuaca sedang terik. Bagi orang Jawa, dawet bukan hanya menjadi pelepas dahaga saja. Lebih dari itu, dawet juga menjadi bagian penting dalam ritual pernikahan Jawa.
Dodol dawet. Orang Jawa menyebutnya. Bisa diartikan dengan berjualan dawet. Ritual ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Di tempat tinggal saya, dodol dawet masih menjadi salah satu bagian terpenting yang tidak boleh terlewatkan dalam prosesi pernikahan. Unik memang.
Beberapa masyarakat kerap menantikan prosesi ini. Khususnya anak-anak. Saya termasuk salah satu orang yang menunggu-nunggu ritual ini. Bukan karena gratis, melainkan kesan uniknya yang membuat orang tertarik untuk ikut serta.
Sebelum ritual digelar, pemilik rumah dibantu para tetangga akan menyiapkan dawet lengkap dengan cendol sebagai isiannya. Proses pembuatan dawetnya juga sama seperti membuat dawet pada umumnya.
Yang membedakan hanya jumlah porsinya saja. Lebih banyak. Mengingat minuman ini akan dibagikan kepada para tetangga dan juga tamu yang hadir. Setelah semuanya siap, pemilik hajat segera menjajakan dawetnya di hadapan para tetangga dan juga tamu undangan.
Halaman depan rumah menjadi tempat dilakukannya dodolan dawet. Tempatnya yang luas menjadikan semua tamu bisa dengan mudah antre untuk bisa meneguk segarnya dawet yang dijajakan oleh calon pengantin.
Ritual ini akan dilakukan sehari sebelum pernikahan digelar. Tepatnya seusai prosesi siraman pengantin. Karena menjadi bagian yang penting, dodol dawet tentu memiliki aturan main tersendiri.
Dalam dodol dawet, calon mempelai perempuan bertugas melayani pembeli, sedangkan mempelai laki-laki yang akan menerima bayarannya. Layaknya orang berjualan, tentu pembeli akan membayar menggunakan alat pembayaran.
Jika kita terbiasa menggunakan uang sebagai alat pembayaran, dalam dodol dawet kita akan menjumpai alat pembayaran lain. Bukan uang, melainkan kereweng, yaitu sebuah pecahan benda yang terbuat dari tanah liat yang digunakan sebagai alat pembayaran. Biasanya pecahan genteng. Inilah uniknya.
Selain untuk melestarikan ajaran leluhur, secara khusus, ritual ini ditunjukkan sebagai bentuk simbolisasi dari harapan atau doa-doa. Bentuk bulat cendol dalam minuman dawet tersebut melambangkan kebulatan hati serta kesiapan orang tua untuk melepaskan masa lajang anaknya.
Dengan niat yang bulat, orang tua akan berusaha semaksimal mungkin supaya bisa memberikan yang terbaik bagi anaknya. Kemudian kereweng yang diguanakan untuk membeli dawet melambangkan bahwa kehidupan manusia dimulai dari bumi serta mendapatkan penghidupan dari bumi pula.
Secara tidak langsung, kita diingatkan asal-usul kita serta dari mana sumber penghidupan kita dengan maksud supaya kita memiliki kesadaran untuk menyayangi bumi serta menjaga kelestariannya. Melalui dodol dawet, calon pengantin juga diajarkan untuk bisa bekerja sama satu sama lain dalam membina kehidupan rumah tangga. Persis saat mereka berdua menjajakan dawet kepada para tetangga dan tamu undangan.
Yang satu melayani pembeli, sedangkan yang satunya menerima pembayaran. Tanpa keterpaksaan di antara keduaanya. Ketiga pesan tersebut jika dimaknai dengan benar kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya berdampak pada kehidupan suami-istri saja, melainkan juga akan memberikan dampak yang positif dalam kehidupan.
Saat pasangan sadar untuk bisa bekerja sama satu sama lain dan sadar akan asal usulnya, tentu keduanya akan berusaha untuk merawat kehidupan dengan baik. Alhasil terciptalah harmonisasi dalam hidup.
Editor: Almaliki