Pakar kuliner Indonesia, mendiang Bondan Winarno menyebut Dangke sebagai salah satu makanan kegemarannya. Seorang pakar kuliner pastinya tak sembarangan memasukkan nama makanan dalam daftar favoritnya. Dangke pastilah sangat istimewa dan berbeda dengan keju impor lainnya.
Etnis.id - Sebagian orang Indonesia mungkin belum banyak yang mengetahui soal Dangke. Namun, khusus di Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), Dangke bukanlah hal yang baru. Hingga kini, Dangke bisa dibilang makanan yang cukup eksklusif.
Karena selain proses pembuatannya masih murni secara tradisional, jangkauan pemasarannya masih terbatas di Wilayah Enrekang dan Kabupaten tetangganya--seperti Toraja dan Toraja Utara. Penduduk Ibu Kota Sulsel, di Makassar masih kerap kesulitan mendapatkan Dangke jika tak mencarinya langsung ke pasar ataupun pusat penjualan kuliner di Enrekang.
Keju khas masyarakat Enrekang ini lebih banyak dikenal oleh para pecinta kuliner di Nusantara. Dangke merupakan keju asli Indonesia yang mulai terkenal luas saat pakar kuliner Indonesia, mendiang Bondan Winarno menyebut Dangke sebagai salah satu makanan kegemarannya. Seorang pakar kuliner pastinya tak sembarangan memasukkan nama makanan dalam daftar favoritnya.
Dangke pastilah sangat istimewa dan berbeda dengan keju impor lainnya. Bentuknya yang sekilas menyerupai tahu dan berwarna putih, membuatnya cukup kenyal jika disentuh. Dangke terbuat dari hasil fermentasi susu sapi atau kerbau. Jika Dangke berasal dari susu kerbau, harganya akan lebih tinggi. Proses membuatnya pun harus hati-hati. Karena sapi ataupun kerbau yang akan diperah susunya haruslah dimandikan terlebih dahulu hingga bersih. Setelah sapi dimandikan, barulah proses pemerasan susu dilakukan.
Air susu sapi yang diperoleh kemudian disaring guna memisahkan kotoran dengan susu murni untuk selanjutnya dilakukan fermentasi. Dalam pembuatannya akan dibutuhkan getah pepaya muda. Air susu selanjutnya dimasak dengan suhu minimal 70 derajat celcius. Fungsi getah pepaya muda di sini sangat dibutuhkan untuk memisahkan lemak, protein, dan air. Sehingga bahan susu yang dihasilkan akan menjadi padat sebelum dicetak. Alat cetak Dangke juga masih menggunakan cara tradisional dengan tempurung kelapa.
Saat dalam tempurung, Dangke akan dibiarkan hingga dingin dan padat hingga terbentuklah keju khas Enrekang. Proses pembuatannya yang rumit juga membuat rasa Dangke tidak selamanya sama dari setiap penjual. Butuh proses higienis serta campuran getah pepaya yang pas agar rasanya gurih dan tidak kecut.
Untuk kandungan gizinya jangan ditanya. Satu buah Dangke sama dengan 1-1.5 liter susu sapi. Sehingga cocok untuk makanan anak-anak hingga orang dewasa. Harga Dangke per buahnya masih berkisar antara Rp15000 sampai Rp20000. Dangke dapat dinikmati dengan digoreng ataupun dipanggang.
Hak Paten dan Sejarah Dangke
Meski merupakan keju, Dangke berbeda dengan keju orang Eropa. Dangke akan lebih nikmat jika menjadi lauk untuk nasi. Rasanya yang beda membuat Dangke banyak diminati oleh warga Makassar, Kalimantan hingga luar negeri seperti Malaysia dan Jepang.
Direktorat paten Indonesia melalui hak cipta Depkumham ternyata telah mematenkan Dangke sebagai keju asli buatan peternak Enrekang. Usai dipatenkan, hak cipta Dangke hanya boleh diproduksi dan digunakan oleh para peternak Enrekang. Artinya, jika ada pihak luar yang mengadopsi tata cara pembuatan dan menggunakan nama Dangke, maka risikonya adalah wajib memberikan royalty kepada para peternak dan pembuat Dangke di Enrekang.
Hanya saja, belum ada rumusan yang jelas soal produk dan royalty yang akan diperoleh para peternak jika nantinya ada pihak di luar Enrekang yang hendak meniru. Soal sejarah Dangke, ada beragam versi cerita dari masyarakat. Seorang kawan saya yang asli Enrekang menceritakan jika konon saat tahun 1900-an, seorang turis asal Jerman dijamu oleh peternak Enrekang dengan Dangke.
Saat itu Dangke belum mempunyai nama. Sehingga saat sang tamu hendak pulang, peternak tersebut lalu memberikannya Dangke dan diucapkanlah kata 'Dangke' dalam bahasa Jerman.
Yang dalam bahasa Indonesia artinya terima kasih. Sang peternak yang mendengarnya mengira keju yang ia berikan bernama Dangke, sehingga nama tersebut melekat hingga kini.
Ada juga versi yang sedikit lebih rasional soal orang-orang Belanda yang berkunjung ke Enrekang. Mengingat Belanda pernah menjajah Indonesia termasuk wilayah Sulsel. Alur ceritanya pun hampir sama. Di mana orang Belanda yang bertamu ke warga Enrekang disuguhi Dangke.
Saat itu Dangke juga belum memiliki nama. Sehingga suguhan tersebut disambut dengan ucapan bahasa Belanda Dankjewel, yang berarti terima kasih. Telinga warga saat itu mendengarnya dengan sebutan Dangke, sehingga dikenallah keju khas Enrekang itu dengan nama Dangke hingga kini.