Etnis.id - Bagi perantau seperti saya, setidaknya perantau yang taat, berada jauh dari rumah, bermil-mil jaraknya sudah jadi hal biasa. Saking terbiasanya, saya merasa kampung orang dengan segala macam perbedaan latar belakang dan budaya-nya, seperti kampung sendiri. Benar-benar harus diapresiasi sebagai nominasi kandidat perantau yang taat.

Nah, perantau seperti saya menjadi masyarakat urban di tengah himpitan kota metropolitan, dalam segi kuantitas tidaklah sedikit juga sebaliknya tidak terlalu banyak. Tapi cukup menambah jumlah kontribusi pendapatan daerah, meskipun skalanya kecil. Tapi mereka ada, hidup bersama dengan warga masyarakat lainnya.

Khusus perantau dari kampung saya Bima, lebih spesifiknya lagi di Parado yang letaknya berada di dataran tinggi pegunungan bagian selatan. Ada semacam tradisi yang tidak tertulis. Tapi menjadi kesepakatan yang berlaku secara umum, tanpa disadari sudah menjadi tradisi yang hampir wajib untuk dilakukan.

Bagi saya, atau sebagian yang lainnya, terutama yang merantau di Jakarta, Surabaya, Makassar, Kalimantan hingga ke Papua. Selalu bahkan merasa wajib membawa sambal asli buatan orang di kampung. Sambal yang terbuat dari bahan dasar jeruk purut (orang Bima menyebutnya sebagai dungga mbudi), lalu dicampur dengan butiran garam dan cabe.

Jeruk purut kemudian dikupas kulitnya, serta bagian bijinya dibuang. Jeruk yang sudah bersih dikupas, nantinya akan dicampur dengan garam, lalu dimasukkan kedalam ember besar untuk proses fermentasi dan ditutup rapat-rapat.

Butuh berhari-hari agar jeruk bisa terfermentasi dengan baik sehingga menghasilkan kualitas sambal yang tinggi dan rasa yang sangat menggugah lidah. Kami menyebutnya 'Mbohi dungga' namun di Desa Kuta Parado menyebutnya sebagai Mbumbu dungga atau sambal jeruk.

Mbohi dungga bagi perantau dan anak kosan dari Parado, merupakan barang yang dianggap wajib ada di dapur. Ia semacam rukun ke 7, suatu barang yang mau tidak mau harus ada. Jika ada orang yang akan pergi merantau kemana saja, Mbohi dungga akan disiapkan jauh hari sebelum keberangkatan.

Inilah salah satu yang membuat kami mudah mengenal antara satu sama lain, meskipun sebelumnya belum pernah bertatap muka. Jika Anda bertamu di rumah atau dikosannya dan tanpa sengaja melihat ada botol berwarna merah yang diisi dengan sambal (orang Parado pasti tahu jika itu Mbohi dungga). Maka tidak salah lagi, bahwa yang ada dalam botol mineral itu adalah Mbohi dungga, jika benar maka tak salah lagi kalau dia adalah orang Parado.

Sambal asli yang hanya ada di wilayah Parado, orang tua kami, sejak kecil sudah giat membuat sambal ini sehingga sangat mahir dan telaten membuatnya. Kalau urusan cita rasa, kita boleh berbeda pendapat, tapi bagi kami sambal mbohi dungga adalah santapan yang sangat enak. Apalagi saat makan ikan bakar, lalu di campur mbohi dungga.

Keunggulan mbohi dungga yang membedakan dengan sambal pada umumnya, jika sambal lainnya hanya bertahan beberapa jam atau ada juga beberapa hari dan sangat kecil kemungkinan bisa bertahan hingga sebulan. Mbohi dungga yang diracik menggunakan cara tradisional, bisa bertahan lama hingga bertahun-tahun lamanya.

Ini salah satu alasan, mengapa perantau dari Parado merasa wajib membawa mbohi dungga. Selain tahan lama dan muda dibawa, mbohi dungga kerap menggantikan posisi ikan dan sayur di akhir-akhir bulan. Di mana saat kami mulai kehabisan bekal dan dompet mulai menipis. Oleh karena itu, makan nasi plus mbohi dungga jadi alternatif terbaik, ketimbang merogok kocek membeli ikan.

Mbohi dungga hasil buatan asli dari Parado, belum diketahui secara pasti, sejak kapan awal mulanya masyarakat setempat membuat mbohi dungga pertama kali. Tidak ada catatan sejarah yang menulisnya, sehingga saya sendiripun belum mengetahuinya hingga sekarang. Tapi yang pasti, mbohi dungga adalah sambal asli masyarakat Parado, karena hanya ada di desa tersebut.

Dulu berawal untuk memenuhi kebutuhan dapur rumah tangga sendiri, tapi setelah lama-kelamaan banyak masyarakat luar yang suka, akhirnya mbohi dungga mulai dikomersilkan. Mbohi dungga sendiri, tidak saja dikenal oleh masyarakat Bima pada umumnya, tapi sudah merambah ke luar daerah dan semakin populer. Bahkan nama Parado sendiri kalah saing dengan popularitas mbohi dungga, sebagian orang lebih mengenal mbohi dungga daripada Parado.