Etnis.id - Bagi masyarakat Jawa, kelahiran manusia di bumi harus mendapatkan perlakuan yang patut. Tidak hanya kepada setiap bayi yang lahir, melainkan ari-ari atau plasenta dari si jabang bayi juga.

Beberapa orang beranggapan, ari-ari merupakan ‘saudara’ dari setiap pribadi. Seperti dalam kalimat yang cukup populer kakang kawah, adi ari-ari, getih lan puser dan sedulur papat limo pancer yang berarti ari-ari menjadi bagian dari sedulur papat yang selalu ada bersamaan menjadi satu paket, satu kesatuan dengan si jabang bayi. Sehingga ketika menguburkan ari-ari dengan baik, itu sama saja
memperlakukan ‘saudara kembar’ si jabang bayi dengan baik.

Jika menilik dunia medis modern, ari-ari atau plasenta mempunyai empat fungsi saat berada di dalam rahim. Pertama, mengirimkan gizi dan oksigen dari darah ibu kepada janin. Kemudian membawa karbondioksida dan sisa pembuangan dari janin kembali ke darah ibu. Juga membentuk satu sistem kekebalan atau pertahanan untuk infeksi dan obat-obatan tertentu, serta mengeluarkan hormon terutama human chorionic gonadotrophin (HCG), progesteron dan oestrogen.

Hormon-hormon ini penting untuk kelangsungan hidup dinding rahim, pertumbuhan rahim dan payudara. Atau dengan kata lain, ari-ari menjadi jalur hidup bagi ibu dan bayinya.

Mengingat begitu pentingnya fungsi ari-ari, maka tidaklah mengherankan jika orang Jawa memperlakukan ari-ari dengan ritual penuh penghormatan seperti setelah proses kelahiran selesai, ari-ari dibersihkan lalu diberi alas daun--biasanya daun tumbuhan senthe--dan dimasukkan ke dalam periuk yang terbuat dari tanah liat kemudian ditutup. Di atas tutup tersebut, diberi uba rampe (biasanya kembang dan sedikit wewangian alami) dibungkus dengan kain mori.

Ari-ari yang sudah sudah terbungkus mori itu, lantas dikubur ke dalam lubang sepanjang satu lengan orang dewasa. Yang berhak menguburkan adalah ayah kandung, kakek si bayi, atau siapa saja laki-laki yang punya hubungan paling dekat dengan bayi.

Sebelum mengubur, disarankan untuk menyucikan diri terlebih dahulu. Jika beragama Islam, wudu dan memakai wewangian misalnya. Membawanya pun dengan cara diemban (digendong menyambing dipinggang).

Di atas kuburan, ari-ari kemudian diberi pagar dari bambu atau dengan tumpukan genteng atau keranjang. Lalu diberi penerangan selama 35 hari. Jika si jabang bayi berjenis kelamin perempuan, maka letak kuburan itu ada di sebelah kiri pintu utama rumah. Jika si jabang bayi berjenis kelamin laki-laki, kuburan ari-ari berada di sebelah kanan pintu utama rumah.

Lantas jika ada pertanyaan, kenapa harus seperti itu? Kenapa harus diberi penerangan? Bukankah sudah cukup dengan dikubur saja? Secara maknawi, memang ada maksud tertentu yang ingin disampaikan. Penerangan menjadi pralambang agar si jabang bayi beserta ari-arinya selalu diberi pepadhang (penerang) dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Cara Pandang Dan Keberadaannya

Namun ada sedikit logika menarik sebagai alternatif cara pandang terhadap keberadaan penerang atau lampu di koordinat tempat ari-ari dikubur. Yaitu lampu atau penerang tersebut, menjadi media komunikasi simbol bahwa di rumah tersebut ada penduduk (bayi) baru. Sehingga siapa pun yang berada di radius dekat kubur ari-ari, ada baiknya menjaga sikap dan menahan diri untuk tidak terlalu berbicara dengan volume suara yang keras supaya tidak mengganggu si jabang bayi.

Ojo rame-rame, ono bayi lagi turu.” Artinya “Jangan ramai, ada bayi sedang tidur.” Ini memberikan pelajaran bahwa bayi harus berada di lingkungan yang baik. Lingkungan yang kondusif untuk tumbuh kembang bayi nantinya. Karena tentu saja lingkungan punya andil yang cukup besar dalam proses pertumbuhan setiap manusia. Dimulai sejak bayi lahir hingga bayi berusia tiga puluh lima hari.

Dalam perhitungan kalender Jawa itu disebut Selapanan, selapan dino. Yang diambil dari siklus hari Pasaran (Pahing, Pon, Wage, Kliwon Legi). Dalam kurun tiga puluh lima hari awal itulah, si jabang bayi dan lingkungannya harus terjaga dengan baik. Steril dari hal-hal negatif. Termasuk suara-suara dengan volume yang mungkin belum diterima oleh si jabang bayi yang sedang beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Sehingga hanya suara dengan volume dan frekuensi tertentu saja yang dapat ia serap.

Maka tak mengherankan pula jika secara reflek dan spontan ketika bertemu si jabang bayi, orang dewasa akan mengubah sikapnya menjadi ramah, penuh senyum, berkata dengan susunan nada yang indah, seperti bersenandung. Orang Jawa menyebutnya ngudang.

Lampu penerangan yang ada di tempat penguburan ari-ari memiliki fungsi hampir sama dengan tulisan yang sering kita jumpai, “Hati-hati banyak anak kecil.”. Ia tidak hanya sebagai simbol kebahagiaan, melainkan peringatan untuk orang dewasa agar menjaga sikap dan adab. Karena penyerapan informasi yang dimiliki si jabang bayi masih belum terfilter dengan baik.

Maka sudah sepatutnya orang dewasa lah yang memberikan pengaruh positif kepada bayi. Tak perlu heran dengan lampu di tempat ari-ari dikuburkan. Cukup menjaga tata krama dan kesopanan di lingkungan.

Editor: Almaliki