Etnis.id - Petilasan bagi masyarakat Indonesia sudah dianggap sebagai salah satu tempat yang sakral. Sehingga memiliki daya tarik dengan latar cerita sejarah. Bahkan banyak yang meyakini bahwa tempat tersebut mampu membawa berkah terhadap kehidupan masyarakatnya.

Sehingga, pada tataran tertentu, masyarakat memiliki persepsi tersendiri terhadap tempat-tempat yang dianggap sakral. Tidak heran jika pada praktiknya terdapat interaksi masyarakat yang begitu kuat terhadap petilasan.

Istilah petilasan sendiri berasal dari bahasa Jawa, yakni ‘tilas’ yang artinya bekas peninggalan berwujud benda-benda atau tempat. Dalam bahasa Arab istilah petilasan diartikan dengan ‘maqam’ (kedudukan atau tempat).

Kata maqam ini tentu berbeda dengan istilah makam atau kuburan. Kata makam biasanya digunakan untuk tokoh-tokoh pada masa lalu yang dianggap terkenal dan menjadi populer berdasarkan cerita-cerita yang diutarakan oleh masyarakat. Makamnya orang yang dimaksud lalu menjadi salah satu daya tarik peziarah, sedangkan tempat atau peninggalan-peninggalannya berupa artefak menjadi petilasan tersendiri.

Nama-nama lain yang merujuk pada tempat keramat secara fisik itu adalah pasarean/sarean. Sebuah nama yang masuk ke dalam kategori petilasan. Adapun petilasan itu dianggap sebagai sebuah tempat keramat oleh sebagian masyarakat, secara tidak langsung dapat diukur melalui sebuah nilai-nilai.

Hal iitu bisa dilihat dari cerita tutur tinular (dari mulut ke mulut) tentang tokoh-tokoh yang semasa hidupnya memiliki tingkat keilmuan yang tinggi seperti para kiyai dan para wali, sehingga nilai keramat itu dijunjung.

Dalam praktiknya, petilasan banyak dikunjungi oleh masyarakat. Semakin banyak orang berkumpul dan mendatanginya, maka petilasan akan dikelola secara baik dengan segala fasilitasnya. Seperti petilasan Kembang Lampir atau Bang Lanpir di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Mungkin bagi sebagian masyarakat, khususnya yang berada di luar daerah Gunung Kidul, sangatlah asing mendengar tempat ini. Namun, dalam sejarahnya, dari tempat inilah kerajaan Mataram Islam itu berdiri. Diawali dari Ki Ageng Pemanahan.

Dulunya, atas petunjuk Sunan Kalijaga yang merupakan tokoh Walisongo, ia disuruh bertirakat di Kembang Semampir (Bang Lanpir) agar mendapatkan ‘wahyu kepemimpinan’, mengenai siapa sosok yang tepat untuk memimpin kerajaan Mataram Islam pasca Majapahit. Saat hendak bertapa, di sana sudah ada kembang atau bunga semampir yang bertengger di pohon besar.

Atas perintah Sunan Kalijaga yang mengatakan, “jebeg, galo wahyune ning wetan kae (lihatlah, wahyu ‘kepemimpinan’ ada di sisi Timur)". Ki Ageng Pemanahan pun kemudian mengambil kembang semampir itu. Dari sinilah tempat itu dinamakan Sekar Semampir.

Penamaan lain dari tempat itu dalam perkembangannya juga diberikan oleh anak dari Ki Ageng Pemanahan, yakni Panembahan Senopati. Sebelum Panembahan Senopati memimpin sebagai raja pertama Mataram Islam (1587-1601 M), Panembahan Senopati bersemadi di sebuah tempat yang disebut dengan Mbang Lanpir yang memiliki arti mbangun landheping pikir yang berarti membangun ketajaman pikiran. Dan pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, tempat ini pun dinamakan dengan Bang Lanpir Gunung Mahenaka.

Meski dahulu sempat tidak diketahui persis tempat pertapaannya dan hanya mengetahui desanya saja. Pihak Kraton Yogyakarta, atas perintah Sri Sultan Hamengkubuwono, setelah mendapat petunjuk dari Tuhan, menyuruh melakukan kembali pembangunan Kembang Semampir pada tahun 1975.

Adapun dinamakan dengan Gunung Mahenaka, karena memang letaknya berada di atas perbukitan layaknya gunung. Selain karena ada nilai-nilai filosofis yang melambangkan ketinggian dan keluhuran, mahe dimaknai sebagai tinggi dan naka berarti jabatan tinggi.

Dan secara keseluruhan, Bang Lanpir Gunung Mahenaka ini pun diartikan dengan membangun ketajaman pikiran dengan selalu menyatu hanya kepada kekuasaan Tuhan yang memiliki kekuasaan yang tinggi dari apapun (manunggaling kawulo gusti).

Kini tempat itu menjadi petilasan yang bersejarah untuk Kraton Yogyakarta. Sebagaimana makna petilasan yang telah dijelaskan di atas. Tempat ini pun kemudian dimonumenkan dengan dibuatkan patung dua tokoh yang berperan besar dalam Kembang Semampir dan kerajaan Mataram Islam, yakni Ki Ageng Pemanahan dan Panembahan Senopati.

Dan pada bagian atas dari bangunan induk, tempat itu digunakan sebagai tempat penyimpanan pusaka Wuwung Gubug Mataram dan Songsong Ageng Tunggul Naga serta dua buah bangsal atau pendapa kecil bernama Prabayeksa di kanan dan kirinya. Seperti fungsinya sebagai petilasan dan tempat-tempat keramat lainnya.

Tempat Kembang Semampir ini pun pada kemudian hari hingga hari ini, banyak dikunjungi orang dari bermacam daerah untuk memanjatkan berbagai doa atau melakukan tirakat.

Petilasan Kembang Semimpir tentu dapat dijadikan salah satu media pembelajaran sejarah tersendiri dalam rangka menambah wawasan. Selain sebagai kajian menarik untuk melihat persepsi masyarakat terhadap lingkungannya.

Sebab, petilasan sebagai warisan sejarah dalam perkembangannya sangat dekat dengan kehidupan manusia, apalagi petilasan itu berkaitan dengan eksistensi spiritual jiwa manusia yang menurut naluriahnya sebagai homo religious, yakni manusia yang selalu menjalin hubungan dengan kekuataan di luar dirinya.

Karena tempat yang dianggap sakral secara tidak langsung, pada praktiknya telah menunjukkan sebuah ikatan spiritual manusia di dalam melakukan perenungan. Selain karena persepsi masyarakat pada waktu itu yang meyakini adanya hubungan dengan ruh para leluhur yang dapat mereka temui pada petilasan-petilasan itu.

Editor: Almaliki