Bengawan Solo merupakan salah satu sungai terpanjang di Jawa. Sungai ini membentang dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Menurut sejumlah catatan, Bengawan Solo sudah ada sejak zaman purba. Kondisi Bengawan Solo saat ini tentu berbeda dengan masa lalu. Di masa lalu Bengawan Solo pernah menjadi jalur tranportasi terpenting di Jawa.

Salah satu catatan yang memuat kondisi Bengawan Solo di masa lalu itu ditulis oleh Bupati Bodjanegara, Raden Adipati Harya Reksa Kusuma pada tahun 1884 M. Pada catatan yang ditulis dengan menggunakan aksara Jawa Carik ini disebutkan "benawi Sala menika awit saking kitha Ngawi dumugi ing muaranipun saged kaambah dening Baita. Kathah sanget baita saking tlatah Ngawi amot dagangan dhateng Cepu, awit ing ngriku pekenipun ageng. Wonten ugi baita ingkang amot dagangan ngantos dumugi peken ing kalitidu, Bosjanegara, Babat, dumugi Sidayu lan Gresik. Sak derengipun wonten trem saking Gundi dumugi Surabaya. Baita dangan ingkang lelayaran ing Bengawan Sala makathahipun ngantos atusan."

Artinya: Sungai bengawan Solo itu dari Kota Ngawi sampai dengan muaranya, dapat dilalui dengan menggunakan perahu. Pada masa itu banyak sekali perahu dari Ngawi membawa barang dagangan menuju Cepu, sebab disitu pasarnya besar. Ada pula kapal yang membawa dagangannya sampai dengan Kalitidu, Bodjanegara, Babat, sampai dengan Sedayu dan Gresik. Sebelum trem (kereta api) dari Gundi sampai dengan Surabaya, perahu dagang yang berlayar di bengawan Solo jumlahnya ratusan.

Berdasarkan catatan tersebut dapat dibayangkan betapa ramainya Bengawan Solo di masa itu. Sungainya yang lebar dan dalam, ditambah dengan aliran airnya yang tergolong tenang adalah alasan mengapa Bengawan Solo menjadi salah satu sungai paling ramai di Jawa. Bukti tentang adanya aktifitas lalu lintas air di Bengawan Solo sampai saat ini masih dapat dilihat buktinya.

Beberapa bekas bandar atau sandaran kapal di masa lalu masih dapat dijumpai di sejumlah daerah di Solo. Selain itu kebesaran tradisi bahari yang ada di Bengawan Solo tentu tidak bisa dilepaskan dari keberadaan sejumlah barang peninggalan masa lalu yang kini tersimpan di Musium Radya Pustaka. Salah satunya adalah Canthik Rajamala.  

Canthik Rajamala merupakan bagian dari Kapal Gung Rajamala milik Kraton Kasunanan Surakarta yang dibuat oleh Putra Mahkota Paku Buwana IV, Raden Mas Sugandi, menggunakan kayu jati pilihan dari Hutan Donoloyo yang berada di daerah Wonogiri.  

Canthik Rajamala berwarna merah dengan desain wajah menyeramkan: mata melotot, taring yang tajam, dan berkumis tebal. Rajamala merupakan sosok dalam dunia pewayangan yang digambarkan sebagai makhluk setengah manusia dan setengah raksasa.    

Dalam pewayangan Jawa, sosok Rajamala merupakan sosok yang "pilih tanding". Ia dikisahkan sangat sakti dan mampu menangkal sifat-sifat negatif. Pemasangan canthik berbentuk Rajamala diharapkan memiliki kesaktian layaknya sosok Rajamala, sehingga kapal tersebut mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Kapal Gung Rajamala memiliki ukuran yang sangat besar dan mewah. Sehingga tidak berlebihan kalau kapal ini sering mendapat julukan Titanic dari Jawa.

Ukuran kapal yang besar dan kemewahan yang dimiliki kapal ini tergolong wajar karena kapal ini merupakan kapal dinas dari Kraton Kasunanan Surakarta. Sayangnya, hingga saat ini belum diketahui secara pasti siapa pembuat kapal ini. Dalam naskah Babad Baita yang ditulis atas titah dari Sunan Paku Buwana IX disebutkan jika Kapal Rajamala ini dibuat dengan jalan merenovasi kapal tua yang sudah tidak digunakan.

Meski menggunakan balungan kapal tua, kapal tersebut dianggap masih bagus. Pasalnya, bahan pembuat rangka kapal terbuat dari kayu pilihan. Dalam catatan tersebut tidak disebutkan dari mana asal mula kapal ini. Di dalam naskah hanya disebutkan tentang kerusakan yang ada pada kapal.

Sebelum dilakukan renovasi total di bagian leher cantik sampai dengan ujung buritan. Kapal ini memiliki panjang 47, 24 meter dan lebar 6,5 meter. Seperti halnya kapal-kapal besar pada umumnya kapal ini juga memiliki bangunan yang bentuknya mirip dengan rumah. Atap penutup bagian yang mirip rumah ini menggunakan gebyog. Pemasangannya tentu dimaksudkan agar penumpang kapal tetap merasakan kenyamanan saat melakukan perjalanan jauh.

Proses renovasi kapal tua ini dilakukan karena Sunan Paku Buwana V memiliki harapan agar ke depannya kapal ini bisa digunakan sebagai kapal dinas milik Kraton Kasunanan Surakarta. Setelah dilakukan renovasi secara total pada akhirnya kapal tersebut memiliki panjang 68, 48 meter dan lebarnya tetap dipertahankan seperti semula, yakni: 6,5 meter.

Dengan adanya penambahan panjang kapal, tentunya menyebabkan adanya tambahan berat total dari kapal itu sendiri. Diperkirakan setelah melalui renovasi total ini, berat kapal ini mencapai 50 ton. Renovasi yang dilakukan tidak hanya di bagian luar berupa penambahan segi panjang dan lebar kapal. Bagian dalam kapal juga turut direnovasi. Hal ini dikarenakan Sunan Paku Buwana V menginginkan bagian dalam kapal tersebut dapat digunakan untuk pentas Tari Serimpi, permainan gamelan, tempat untuk raja dan permaisurinya, residen, sentana, nayaka, prajurit, dan para abdi dalem.

Gamelan Senggani Laras pada Kapal Gung Rajamala/Zuly Kristanto

Renovasi juga dilakukan untuk membuat ruang untuk tilam sari (ruang tidur khusus untuk raja), gudang senjata, dan tempat untuk membersihkan diri. Renovasi dilakukan oleh seseorang yang diberikan mandat dan mendapat julukan Palu Mas. Mereka yang mendapat kepercayaan untuk melakukan pekerjaan ini berasal dari daerah Sangkrah dan Nusupan. Kedua daerah yang pada masa lampau dikenal sebagai tempat tinggal para pembuat kapal terbaik yang ada di Kota Solo.

Orang yang mendapat tugas ini, selain mendapat upah yang cukup besar, pada zamannya mendapat gelar kebangsawanan "ngabehi". Renovasi pembuatan kapal dilakukan di sebelah timur Pesanggrahan Langenharjo. Namun, setelah renovasi selesai dilakukan, pembuat kapal mencari cara agar dapat mengembalikan kapal ke Bengawan Solo.  

Setelah melalui proses perenungan yang cukup panjang, akhirnya diputuskan cara untuk menarik kapal menggunakan ratusan tenaga manusia dan puluhan tenaga hewan. Meski demikian, kapal tersebut tidak dapat digerakkan. Hal ini tentu membuat orang yang ditugasi merenovasi kapal menjadi kebingungan. Untuk mengurangi kebingungan, akhirnya ketua renovasi kapal itu mengirim surat kepada Sunan Paku Buwana V yang berisi petunjuk tentang bagaimana caranya agar kapal tersebut dapat berlayar.  

Setelah menerima surat, Sunan Paku Buwana V langsung membalas surat tersebut. Di surat balasannya itu, Sunan Paku Buwana mengatakan bahwa penarikan kapal dilakukan saat banjir besar datang melanda Kota Solo. Setelah dinantikan akhirnya datang dan proses penarikan pun segera dilaksanakan.

Sebelum proses penarikan dilakukan, jalur yang akan dilewati oleh kapal dipasangi bambu agar proses penarikan lebih mudah. Penarikan kapal ini dilakukan oleh 1000 polisi Kraton Kasunanan Surakarta, dibantu oleh ribuan masyarakat Nusupan dan Sangkrah.

Dengan jumlah penarik sebanyak ini, akhirnya kapal dapat bergerak. Di saat kapal mulai bergerak dan melewati bambu yang telah ditata. Bambu-bambu itu pun pecah. Dikatakan dalam naskah bahwa bunyi bambu yang pecah berasal dari medan yang dilalui oleh kapal itu sangatlah keras. Lantangnya suara bambu yang pecah itu diibaratkan suara petir.

Setelah melalui perjuangan yang berat, akhirnya kapal berhasil diluncurkan di Bengawan Solo. Saat kapal berhasil meluncur, kendali kapal langsung dikendalikan oleh tukang kapal atau disebut juga dengan Satang. Sebagai kapal dinas milik Kraton Kasunanan Surakarta, kapal ini juga dilengkapi oleh berbagai persenjataan. Di antaranya, persenjataan meriam organik sebanyak enam buah. Pemasangan meriam dimaksudkan untuk melindungi raja dan para kerabat dari gangguan orang yang bermaksud jahat.  

Selain itu, ada pula prajurit khusus yang mengawal perjalanan kapal. Prajurit ini adalah juru silem, tugas utamanya melindungi penumpang kapal dari serangan buaya yang ketika itu banyak terdapat di aliran Bengawan Solo. Untuk melakukan tugas tersebut, prajurit memiliki senjata khusus yang dinamakan pambelah baita. Wujud senjata mirip dengan tombak, namun ukuran bilahnya lebih besar dan lebih panjang.

Ilustrasi pambelah baita koleksi Museum Radya Pustaka/Zuly Kristanto

Barangkali, perbedaan ini dimaksudkan untuk menghadapi hewan buaya. Bahkan dalam catatan yang tertulis di Kapal Gung Rajamala, pernah digunakan untuk melamar putri dari kerajaan Madura. Sayangnya, kejayaan Bengawan Solo tak berlangsung lama seiring terjadinya perubahan zaman dan terjadinya pendangkalan di alirannya.

Perairan Bengawan Solo tak lagi digunakan sebagai tempat pelayaran. Pemasangan rel kereta api di Jawa telah menggantikan kejayaan Bengawan Solo. Kisah kejayaannya hanya tinggal cerita yang tertulis dengan tinta emas di dalam naskah-naskah kuno.

Penyunting: Nadya Gadzali