Berbicara ihwal senggakan, pandangan yang akan muncul selanjutnya ialah dangdut koplo. Barangkali, masih terngiang lagu bertajuk “Pamer Bojo”. Dalam lagu itu terdapat senggakan “Cendol Dawet” yang begitu populer. Senggakan “Ha’e Ha’e Ha’e Ha’e” seringkali dijumpai di banyak lagu dangdut koplo. Lebih ke belakang lagi, senggakkan “Buka sithik, jos!”.

Senggakan lazim digunakan dalam berbagai lagu dangdut koplo. Senggakan yang populer dewasa ini ialah “Tarik, Sis! Semongko!” dan “Tak sogok, tak sogok, Aaaaaa! Aaaaaa!”.

Bagi masyarakat pecinta dangdut koplo, senggakan menjadi sebuah ornamen musikal yang sangat penting. Pasalnya, selain menambah keriangan sajian, senggakan juga menjadi sebuah “cambuk” untuk memantapkan goyangan. Misalnya senggakan “Buka sithik, Jos!”.

Pada aksen “Jos!”, biduan akan menghentakkan pinggul dengan lihainya. Penonton pun akan bersorak mengikuti irama sembari berjoget dan menyaksikan sensualitas yang hadir. Ketika senggakan “Jos!” dilantangkan, penonton akan turut menghentakkan bagian tubuhnya. Senggakan ini menjadi sebuah tampuk untuk memantapkan goyangan.  

Senggakan

Senggakan dalam kultur musik Jawa kiranya seringkali ditemui. Tidak hanya dalam dangdut koplo. Sebelum itu, senggakan sudah menggema dalam karawitan.  Misalnya, dalam karawitan gaya Surakarta dan Yogyakarta. Senggakan sering tampak di berbagai gendhing, misalnya senggakan “Ha’e Ha’e… Ooooo… Eeeeee!”.

Selanjutnya, dalam Tari Gambyong Pareanom, sembari bertepuk tangan, para gerong akan menyuarakan senggakan “Oeee… Oeeee… Ooooeeeeng!” di bagian-bagian tertentu. Setelah itu, setiap kali gerong hendak melantunkan lagu bagiannya, senggakan “Sasolaheee!” akan didendangkan. Senggakan menjadi sebuah ornamen gendhing yang mengisi ruang-ruang kosong. Juga, terkadang menjadi sebuah penanda di akhir lirik. Dengan begitu, sajian gendhing menjadi rapat dan penuh. Bahkan, pada jembatan antar kalimat dalam lagu.

Kemudian, senggakan pada kesenian Karawitan Banyumasan, senggakan yang digemakan pada Karawitan Banyumasan ialah “Dowa Lolo…Loiiiing!”. Senggakan itu menjadi senggakan yang paling umum digunakan dalam Karawitan Banyumasan. Dalam Kesenian Calung juga demikian. Menariknya, senggakan yang karib ditemui dalam dangdut koplo “Buka Sithik, Jos!” telah digunakan dalam kesenian ini. Penyajiannya juga sama, selayaknya pada dangdut koplo. Menurut Hastanto dalam Setiaji (2021: 116), “’Buka Sithik, Jos!’ sudah ada sejak tahun 70-an pada seni Calung Banyumasan”.

Senggakan dalam kultur musik Banyumasan sangatlah kaya. Pasalnya, masih terdapat banyak sekali senggakan. Misalnya, “ooo”, “eee”, “telululu”, “esod-esod”, dan lain sebagainya. Terlebih lagi, periode penggunaan senggakan dalam sajian gendhingnya terbilang pendek. Bahkan, dalam satu baris kalimat dalam lagu, dua hingga tiga senggakan dilantunkan. Kepadatan, keriangan, dan keenerjikan menjadi sebuah ciri musik kultur Banyumasan pada akhirnya.

Kekayaan senggakan ini juga ditemui dalam Kesenian Janthilan. Apalagi, ketika sajian pertunjukannya berada dalam fase ndadi (kesurupan). Senggakan seperti “Ha’e… Ha’e…”, “Hokya…”, “Beh… Boh…Beh…”, “Slolololo…”, dan lain sebagainya. Pada fase ini, senggakan pada Kesenian Janthilan justru menjadi ornamen yang dominan. Tidak ada lagu, tidak ada nyanyian, yang ada hanyalah senggakan. Hanya bermodalkan pengamatan gerakan, senggakan kemudian disesuaikan. Tentu saja, koridor musikalnya tetap dijunjung. Namun, dalam Janthilan, agaknya senggakan terlepas dari fungsi utamanya sebagai ornamen pemeriah dan mewujud sebuah sajian utama.

Fenomena senggakan juga tampak pada campursari. Dalam berbagai karya campursari, senggakan yang digunakan tidak berbeda jauh dengan senggakan pada karawitan. Barangkali, induk dari campursari memanglah gamelan, sehingga keidentikkan juga ditemui. Namun, di sisi lain juga terdapat perbedaan senggakan dengan karawitan pada umumnya.

Pada campursari, seringkali terdapat senggakan yang menempel pada aksen kendhang laiknya pada senggakan Banyumasan. Dengan tempo yang tidak begitu cepat, pilihan lagu yang seringkali sayu, instrumentasi hybrid, serta aransemen yang tidak statis—campursari menghadirkan warna musikal baru. Ditambah lagi dengan senggakan yang “malu-malu kucing” jika tidak boleh dikatakan "nanggung". Campursari meleburkan senggakan karawitan yang dominan halus dengan senggakan Banyumasan yang terkesan enerjik.

Senggakan yang digunakan dalam musik dangdut, khususnya dangdut koplo berbeda dengan dangdut koplo yang terdapat pada ketipung atau gendang jaipong yang memberikan aksen-aksen di sepanjang lagu. Pada aksen-aksen tersebutlah senggakan melekat.

Selain itu, dalam dangdut koplo, senggakan begitu mendominasi di sepanjang lagu. Entah pada sela-sela kalimat lagu, di akhir kalimat lagu, bahkan ketika syair didendangkan. Senggakan turut mempertebal kedudukannya. Alhasil, kesan padat dan penuh begitu terasa dalam sajian lagu. Atmosfer riang (bahkan pada lagu yang berlirik melonkoli, patah hati, ataupun kehilangan) sekalipun, senggakan menuntun penonton untuk bergoyang.

Hal menarik dari sisi kontekstualnya, senggakan turut memberikan sumbangsih pada lagu. Keberadaan senggakan menuntun penonton untuk merayakan kesedihan. Meskipun, dengan kemasan yang menentang aliran musik yang lebih populis di luar dangdut koplo.  

Estetika  

Senggakan menjadi sebuah ornamen musikal yang memberi kesan meriah dari sebuah gendhing ataupun lagu.  Lepas dari karawitan, kesenian tradisional, campursari, hingga dangdut koplo—kehadiran senggakan menjadi sebuah ornamen yang penting. Keberadaannya agaknya dibutuhkan. Jika diamati, senggakan sudah ada sejak masa lampau.

Hingga kini, senggakan masih digunakan dalam berbagai lagu dengan kemasan yang selalu aktual. Senggakan agaknya sudah menjadi habitus (kebiasaan melekat) masyarakat. Bahkan Michael (2013) menyebut bahwa senggakan menjadi sebuah identitas musikal dan kultural. Hal ini dapat dirasakan jika gendhing dalam karawitan, kesenian tradisional, campursari ataupun dangdut koplo, tidak diberikan senggakan.

Ada “sesuatu” yang hilang dari sajian tersebut. Selain itu, dalam berbagai kesempatan saya sering melihat adanya respon penonton (entah itu karawitan ataupun campursari dan dangdut koplo) yang dengan refleks menyuarakan senggakan di bagian-bagian tertentu.

Agaknya, senggakan sudah menubuh ke dalam diri masyarakat. Menyatunya senggakan dengan masyarakat dipengaruhi oleh perjalanan historis dari senggakan itu sendiri. Kehadiran senggakan di berbagai gendhing dan lagu, membuatnya terekam dalam pikiran bawah sadar.

Timbunan pengalaman musikal ini akan muncul ketika terpantik dengan sendirinya. Kiwari, senggakan tidak hanya menjadi ornamen musikal saja, melainkan sebuah estetika. Senggakan menjadi suatu cara untuk menikmati musik. Hal ini membuat senggakan menjadi sebuah unsur musikal yang dinanti-nanti.  

Lintas Zaman

Sebagai ornamen, senggakan mewujud sebuah estetika, pelengkap serta penghias menuju sesuatu yang dinanti-nanti, penambah kesan ramai hingga menuntun pada gerak tubuh sang biduan. Senggakan menjadi sesuatu yang krusial dan perjalanan historikal yang panjang yang membuatnya berada pada sebuah kedudukan penting.

Senggakan menjadi sebuah bahasa musikal yang menyiratkan suatu tempuhan. Dari para gerong yang duduk diam hingga penonton yang bergoyang. Kehadirannya menjelajahi ingatan, jika tidak ada maka akan dicari. Senggakan menjadi hal yang dibutuhkan. Pengukuhannya dapat dilacak dari gendhing dan lagu. Dari masa lampau hingga kiwari, senggakan menjadi sebuah estetika yang menembus dan melintas zaman. Semoga abadi!

Penyunting: Nadya Gadzali