Setiap kali menyambangi kawasan Pecinan, aroma yang menyeruak dari depot-depot masakan Cina selalu mengingatkan saya pada istilah “kuliner peranakan”. Beberapa depot berstempel halal, seakan mengaur aroma aneka herba dan kaldu ayam pengganti minyak babi dan arak.

Membuka kembali lembaran sejarah, sekira 3,5 abad silam, kapal-kapal dari Tiongkok bersandar di pesisir Kalimantan Barat. Membawa teknologi pertambangan dan sejumlah pekerja untuk ditempatkan di Monterado: tambang emas yang terletak 30 KM di sisi timur Singkawang (saat ini termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bengkayang).

Seiring berjalannya waktu, Singkawang menjelma kota singgah bagi para penambang dari Tiongkok. Persinggungan antara kaum bumiputera (Dayak dan Melayu) dan etnis Tionghoa pun semakin tak terrelakkan. Sebagaimana dinyatakan oleh Victor Purcell dalam Chinese in Southeast Asia (1951), bahwa demi memajukan usaha pertambangan, Sultan Sambas akhirnya membentuk Lan Fang, perkongsian pertamanya dengan etnis Tionghoa pada tahun 1777.

Keyakinan bahwa filsafat perang Sun Tzu pada masa Tiongkok Kuno telah membuat orang-orang Tionghoa mahir dalam perdagangan, agaknya sulit untuk ditepis. Pasalnya, teks sejarah Sun Tzu—seni perang yang terdapat pada catatan sejarah militer klasik Cina—menawarkan fitur interaksi transaksional untuk memenuhi kebutuhan logistik pasukannya lewat perniagaan. Tak heran jika Singkawang dan sejumlah daerah lainnya—termasuk pesisir utara dan selatan Jawa—menjadi pusat-pusat diaspora etnis Tionghoa di Indonesia.

Selain perdagangan, integrasi Tionghoa dengan pribumi juga mewujud hampir di seluruh lini kehidupan masyarakat Singkawang, terlebih sejak dibentuknya kongsi-kongsi lain yang diberi wewenang khusus oleh Sultan Sambas untuk mengelola tambang dan mengatur masyarakat Tionghoa, seperti kongsi Ta-Kang dan San T'iao-Kao. Di antaranya,  Cang Nyiat Pan yang digelar di hari ke-15 masa perayaan Tahun Baru Cina (Imlek).

Dalam Seri Gastronomi yang diselenggarakan oleh Aksara Pangan, budayawan Singkawang, Hasan Karman, menggambarkan suasana Kota Singkawang menjelang perayaan Cang Nyiat Pan. Selain Festival Lampion dan ritual membersihkan jalan di sekitar kawasan rumah ibadah tiga agama (Tao, Buddha, dan Konghucu) atau yang dinamai Klenteng Tri Dharma Bumi Raya—berbagai elemen dekoratif seperti gerbang Cang Nyiat Pan dan replika Pagoda Imlek juga turut didirikan.

Dalam syiar budayanya, Walikota Singkawang periode 2007-2012 pemilik nama Tionghoa Bong Sau Fam itu menjelaskan kerja sama yang terjalin antara suku Dayak dan etnis Tionghoa di Singkawang. Tak hanya hidup berdampingan, tradisi Tionghoa juga berasimilasi dengan budaya yang dianut oleh penduduk setempat. Proses pembauran itu salah satunya tercermin dalam keterlibatan etnis Dayak pada pelaksanaan pawai Tatung.

Tatung, sebutan bagi Syaman atau Dukun penolak bala di Singkawang, dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan terhubung secara transenden dengan dunia arwah. Dalam Bahasa Hakka, manusia yang dapat menyembuhkan atau menangkal energi negatif dengan cara-cara gaib disebut dengan Ta Ciau.

Pawai Tatung dilaksanakan dalam format parade di hari ke-12 Imlek, atau 3 hari sebelum perayaan Cang Nyiat Pan. Sembari beratraksi menggunakan benda-benda tajam, Tatung ditempatkan di atas tandu dan diarak ke seluruh penjuru kota, mengusir kekuatan gelap yang menghalangi Singkawang dari keselamatan.

Pada saat arak-arakan Tatung berlangsung, tak ada lagi sekat yang membedakan antara Ta Ciau dan Tatung Dayak. Pasalnya, seluruh dukun penolak bala yang terlibat dalam pawai akan dirasuki arwah-arwah leluhur, menjelajahi dimensi spiritual yang sama, dengan tujuan yang sama pula: untuk memberkati setiap sudut Kota Singkawang dan menjauhkannya dari malapetaka.

Selain Pawai Tatung, pesona Kota Singkawang juga dapat dicermati dari ragam jenis kuliner peranakan yang disajikan dalam perayaan Cang Nyiat Pan. Pada kesempatan yang sama, Wira Hadiyansyah, seorang Food Heritage Educator yang menitikberatkan kajiannya pada sejarah, menjelaskan ihwal salah satu sajian fusion Tionghoa-Jawa yang wajib dihadirkan saat pelaksanaan Cap Go Meh, yakni lontong yang disajikan dengan opor ayam, atau yang disebut dengan Lontong Cap Go Meh.

Dalam dialek Hakka, Cap Go Meh diterjemahkan sebagai “pertengahan bulan satu” atau Yuan Shiau Jie menurut kombinasi 10 Tian dan 12 Di Zhi sistem penanggalan Imlek.

Dari segi penamaan, sajian bercitarasa gurih ini seolah dapat mengidentifikasi perayaan yang tengah berlangsung. Namun, penggunaan santan mengisyaratkan bahwa Lontong Cap Go Meh tak mewakili karakteristik sajian Tionghoa murni, melainkan signature dish kuliner peranakan yang dihadirkan saat perayaan Cap Go Meh.

Antusiasme Wira pada masakan warisan membawanya pada pemahaman lebih lanjut tentang sejarah dan makna di balik ragam jenis kuliner peranakan.  Ia juga menerangkan bahwa ciri khas sajian Tionghoa murni ialah terletak pada seni mempertahankan citarasa asli, seperti sayur-sayuran atau daging yang masih terasa segar meski telah dimasak.

Berdasarkan penelusurannya, ia mendapati bahwa daerah-daerah yang berdiaspora dengan etnis Tionghoa, mengenal tradisi liquid, seperti saus dan kecap, sebagaimana dikemukakan oleh Ishwara Hemen dalam bukunya yang berjudul "Peranakan Tionghoa Indonesia, Sebuah Perjalanan Budaya” (2009). Tak hanya bahan baku masakan, kaum pribumi juga menyerap cara memasak yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa, seperti teknik menumis dan menggoreng.

Sebagaimana Hari Raya lainnya, Cap Go Meh menjadi momen tepat untuk merasakan kembali hangatnya berkumpul dengan keluarga. Pada saat itulah Tangyuan atau Wedang Ronde disajikan. Berkumpulnya orang-orang yang memiliki ikatan keluarga, disimbolkan lewat perbedaan warna bola-bola Ronde dalam semangkuk kuah jahe yang dicampur dengan gula merah.

Simbol Reuni Keluarga dalam Semangkuk Wedang Ronde/ Nadya Gadzali

Chef Meliana Christanty yang juga hadir sebagai narasumber, menjelaskan bahwa semarak Cang Nyiat Pan sesungguhnya tak terlepas dari kehadiran comfort food, yakni sajian-sajian yang membuat seseorang merindukan kampung halaman, seperti Daun Kunyit Muda dan Yan Pou (ikan asin telang kukus), Terung Asam Rimbang, Ikan Asam Pedas, Sambal Terasi Buah Mawang, dan Ikan Kukus Jamur Hioko.

Dalam realitas kehidupan etnis Tionghoa, merayakan Cap Go Meh berarti memasak sendiri menu-menu makanan yang akan disantap bersama sanak saudara. Pasalnya, setiap keluarga memiliki tradisi yang berbeda-beda dalam penyajian makanan. Kendati demikian, warisan budaya Tionghoa tentang 10 jenis masakan yang wajib disajikan saat perayaan Cap Go Meh, masih terus dilestarikan.

Menurut ilmu topografi kuno Tiongkok, atau yang dikenal dengan istilah Feng Shui, angka 10 merupakan perwujudan energi Yin, sekaligus angka genap yang melambangkan kesempurnaan. Dalam perayaan Cap Go Meh, kesempurnaan itu disarikan ke dalam 10 sajian khas negeri Tiongkok, yakni Chiang Mie, Tek Sun atau rebung tumis, Udang Galah Asam Garam, Sup Bebek Asinan Prem, masakan Ca, Hekeng Asam Manis, Ikan Dorang, Babi Kecap atau Babi Sawi Asin, Ayam Arak, dan juga Selada.

Pengalaman menetap lebih dari 10 tahun di Pontianak, membuat Meliana semakin paham tentang unsur-unsur yang ada pada perayaan Cap Go Meh, termasuk tradisi mengudap kue-kue kering dan menikmati  jeruk Mandarin selepas menyantap hidangan utama.

Sedangkan hidangan Cap Go Meh lainnya, Meliana melanjutkan, salah satunya dinyatakan lewat sajian asimilatif Sambal Mangga Muda. Terbuat dari cabe rawit yang dihaluskan bersama mangga muda, jeruk kalamansi, dan cincalok atau udang berukuran kecil yang difermentasikan dengan bakteri asam laktat. Sajian bercitarasa pedas dan terbilang kompleks ini kemudian muncul sebagai perwujudan akulturasi budaya tiga etnis di Kalimantan Barat: Tionghoa, Dayak, dan Melayu.