Jauh sebelum Indonesia merdeka, kedekatan antara nelayan Lamalera dengan lefa (laut) sudah terlebih dahulu terjalin melalui pertautan antara kepercayaan adat, folksong, pengetahuan bahari, dan juga sistem religi yang saling berjalin harmonis.

Secara geografis, Desa Lamalera terletak di pesisir pantai selatan Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai lefa alep (nelayan tradisional) yang hingga kini masih memegang teguh hukum adat laut.

Kebiasaan turun-temurun tentang tuba feda atau penangkapan ikan dengan peralatan tradisional merupakan cerminan betapa amanat warisan nenek moyang masih dijalankan dan dipegang teguh oleh nelayan Lamalera.

Praktik penangkapan paus yang terkenal di Lamalera diselenggarakan setiap tahun pada musim lefa nuang atau musim turun melaut, sejak Mei hingga Oktober. Masyarakat nelayan Lamalera percaya bahwa pada musim lefa, mamalia paus besar yang bermigrasi dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia akan melintasi perairan Laut Sawu.

Jenis paus yang ditangkap oleh nelayan adalah paus sperma atau dalam bahasa Lamalohot disebut koteklema. Kendati demikian, masih saja ada klaim sepihak yang menyatakan bahwa tuba feda di Lamalera dinilai mengancam kelestarian populasi paus.

Pengertian ini didasari oleh bahasa setempat, tuba berarti menikam ikan-ikan berukuran besar dan feda, yang diartikan sebagai aktivitas memancing ikan-ikan kecil (Tube, 2017:76). Namun ironisnya, di luar Lamalera justru banyak aktivitas ‘perburuan’ besar-besaran untuk berbagai keperluan industri komersial.

Sumber-sumber literatur dan tuturan dari pakar budaya Lamalera seperti Bona Beding cukup membukakan pemahaman saya tentang perbedaan antara konteks ‘perburuan’ dengan ‘mengambil atau menangkap’. Seperti ulasan dalam laman BBC News Indonesia pada 26 Desember 2018, berjudul “Dikecam Luas, Tapi Mengapa Jepang ‘Ngotot’ Berburu Ikan Paus Secara Komersial?

Pada artikel tersebut dijelaskan bahwa peran negara-negara maju seperti Jepang, Norwegia, Islandia, hingga orang-orang Inuit di Kanada bagian utara, mempunyai andil besar terhadap praktik perburuan paus di dunia. Dahulu, Jepang melakukan perburuan paus hingga merambah ke wilayah Antartika dengan kapal-kapal besarnya, akibat dampak dari Perang Dunia II.

Komersialisasi ambergris atau muntahan paus sperma bagi negara-negara maju juga bernilai ekonomi tinggi dan digunakan sebagai bahan baku pembuatan parfum yang mahal harganya.

Kenyataan ini berbanding terbalik dengan budaya bahari yang dilakukan oleh nelayan lokal di Lamalera. Melalui penjelasan Bona Beding, seorang budayawan Lamalera, literatur adat dan kebudayaan orang-orang di Lamalera tidak mengenal frasa ‘perburuan’. Orang Lamalera lebih familiar dengan kata hode yang berarti mengambil. Secara kontekstual diartikan sebagai ‘mengambil kiriman dari Tuhan’.

Lantas, seperti apa jejak perjalanan sejarah, hubungan antar suku-suku, dan gambaran budaya bahari tentang penangkapan paus di Lamalera?.

Membaca Jejak Sejarah Leluhur Nelayan Lamalera

Harmoni antar suku pada masyarakat nelayan di Lamalera, sudah terjalin sejak dahulu melalui proses akulturasi dan asimilasi. Suku-suku pendatang dari Sulawesi Selatan dengan Suku Langofujo, suku asli Lamalera, telah lama hidup berdampingan antara satu dengan yang lainnya.

Sejak dahulu pula, masyarakat Lamalera mengekspresikan laku hidupnya lewat syair dan senandung nyanyian rakyat. Menurut jejak sejarah dan tradisi lisan setempat, dalam syair nyanyian rakyat Lamalera tersirat bahwa nelayan Lamalera bukanlah penduduk asli, melainkan berasal dari daerah Luwuk dan Beru yang bermigrasi secara berkelompok menuju Lembata.

Virgi Martin Kedang, salah satu kawan saya yang berasal dari Lembata berkisah bahwa di masa lampau, tiga suku berasal Luwuk bermigrasi ke Lembata. Moyang tiga suku utama yang merupakan leluhur pendatang orang Lembata ini adalah Daeng Muda, Atakelake, dan Kelake Fato.

Seiring waktu, Suku Daeng Muda yang telah lama tinggal di Lamalera berkembang dan melahirkan Suku Blikololong. Sedangkan Suku Atakelake melanjutkan keturunan sebagai Suku Bataona. Begitu pula dengan Suku Kelake Fato yang di kemudian hari dikenal sebagai Suku Lewotukan.

Keluarga-keluarga besar dari suku utama inilah yang kemudian menikah dan melahirkan banyak suku keturunan. Keragaman suku di Lamalera tentu saja tumbuh melalui rentang waktu yang panjang serta mengalami persilangan dengan budaya lokal setempat. Misalnya, Suku Lewotukan dari rumpun suku utama Kelake Fato.

Suku Lewotukan kini telah berkembang dan menurunkan dua suku dari garis keturunan Kelake Fato, yaitu Suku Kedang dan Suku Dasion. Begitu pula dengan Suku Bataona yang merupakan rumpun besar di Lamalera. Suku Bataona kini telah berkembang menjadi Suku Bataona Kelake Langu dan Bataona Kifalangu.

Secara komunal, identitas dan asal-usul garis keturunan merupakan hal yang sangat penting bagi suku-suku di Lamalera. Sebagaimana dalam kehidupan sosial masyarakat Lamalera, bahwa setiap suku diakui apabila mempunyai Lango Belle atau Rumah Besar.

Selain itu, ciri khas orang Lamalera ialah mencantumkan nama sukunya agar mudah dikenali. Sehingga, setiap orang yang lahir dari keturunan suku-suku di Lamalera selalu menggunakan nama suku atau marganya untuk menunjukkan jati diri dan identitasnya masing-masing. Kini, suku-suku pendatang itu telah menetap dalam sistem kekerabatan yang kuat, membaur, dan hidup harmonis dengan suku-suku lainnya.

Sumber lain yang mengulas tentang sejarah masyarakat nelayan Lamalera tercantum dalam temuan penelitian Tesis yang ditulis oleh Bernardus Tube, berjudul “Tradisi Lisan Liâ Asa Usu Sebagai Potret Jati Diri Masyarakat Lamalera: Sebuah Kajian Etnopragmatik.”

Di dalam tesis tersebut diungkapkan bahwa jejak sejarah asal-usul masyarakat nelayan Lamalera berasal dari kerajaan kecil di Luwuk dan Beru, Sulawesi Selatan. Perpindahan masyarakat Luwuk dan Beru secara besar-besaran ke wilayah pantai selatan Pulau Lembata merupakan dampak dari gelombang eksodus pada masa pemerintahan kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Raja Hayam Wuruk. Jejak migrasi orang-orang Luwuk dan Beru pada masa itu tersirat dalam sebuah petikan syair Liâ Asa Usu berikut ini:

Feffâ bélâkâ Bapa Raja Hayam Wuruk. Pasa-pasa pekkâ lefuk lau Luwuk. Fengi baata Gadja Mada lali Jawa. Hidâ-hidâ hiangkâ tanah lau Béru.

(Artinya: Demi kehendak Bapa Raja Hayam Wuruk. Terpaksa kutinggalkan desaku di Luwuk sana. Atas perintahnya melalui Gadja Mada dari Jawa. Kulepaskan rumahku yang makmur di tanah Beru).

Menurut analisis syair Liâ Asa Usu yang diterjemahkan oleh Bernardus Tube itu menunjukkan gambaran sejarah tentang jati diri dan identitas masyarakat Lamalera yang mempunyai pembawaan sifat taat kepada pemimpinnya. Bahkan, sifat bawaan tersebut hingga kini masih dipegang teguh, baik oleh orang-orang yang dipercayakan untuk mengendalikan roda kehidupan adat-istiadat dan budaya, maupun kepada pemimpin pemerintahan dan agama (Tube, 2017:88-89). Pada syair Liâ Asa Usu, dapat kita petik sebuah pesan, betapa patuhnya orang-orang Luwuk terhadap perintah sang Raja Hayam Wuruk.

Sumber tertulis lainnya yang mengulas tentang sejarah Kerajaan Luwuk juga ditulis oleh Eko Rusdianto berjudul “Desa Pandai Besi yang Hilang” dalam artikel historia.id, tertanggal 1 November 2011. Ulasan artikel Rusdianto menarik perhatian saya dalam menelusuri sejarah masyarakat Lamalera lantaran menyebutkan bahwa dahulu, Kerajaan Majapahit mempunyai hubungan persekutuan yang erat dengan Kerajaan Luwuk.

Kedekatan yang terjalin di antara keduanya ditengarai lantaran adanya ketertarikan Majapahit terhadap Luwuk yang masyhur sebagai penghasil logam besi terbaik di Nusantara pada masa itu.

Kerajaan Luwuk yang beribukota di Ussu dikenal dengan orang-orangnya yang mempunyai keahlian memproduksi persenjataan. Seperti yang disebutkan Eko Rusdianto, pada masa itu orang-orang Ussu sudah tersohor dengan keterampilannya menempa logam besi menjadi senjata berupa pedang, parang, badik, hingga keris.

Jejak keterampilan orang-orang Ussu sebagai pandai besi pada abad XIV seolah masih terlihat hingga kini. Informasi yang dituliskan Eko Rusdianto semakin memperkuat dugaan saya tentang peralatan yang digunakan oleh masyarakat nelayan di Lamalera dalam aktivitas tuba feda, khususnya dalam menangkap ikan-ikan besar, termasuk menangkap koteklema.

Di lain kesempatan, Yopi Bataona, putra dari seorang Lamafa atau juru tombak yang memimpin penangkapan paus menerangkan kepada saya, bahwa dari beberapa suku di Lamalera terdapat salah satu suku yang memang mempunyai keahlian turun-temurun sebagai pandai besi, yakni Suku Beding. Suku inilah yang mempunyai keahlian dalam menempa besi menjadi tempuling atau mata tombak yang digunakan untuk menikam paus.

Dimensi Spiritual dalam Sakralitas Upacara Adat

Selain masih memegang hukum adat laut yang diwariskan oleh leluhur, masyarakat nelayan Lamalera juga dikenal taat beragama. Berbagai upacara dan doa bersama menunjukkan keselarasan ritus adat dengan ajaran agama Katolik yang sebagian besar dianut oleh masyarakat nelayan Lamalera.

Beberapa ritus upacara yang digelar oleh masyarakat nelayan Lamalera sebelum memulai musim lefa di antaranya ialah Tobu Némé Vaté, Bapa Belle, Iye Gerek, Misa Arwah, dan Misa Lefa.

Sebelum memulai musim lefa, seluruh masyarakat Lamalera biasanya mengawali tradisi dengan menggelar ritus upacara Tobu Némé Vaté, yakni sebuah prosesi adat yang melibatkan peran tanah alep (tuan tanah) dari masing-masing peledang (pemilik perahu), likka telo (tiga tungku utama: Suku Bataona, Blikololong, dan Dasiyon), beserta kepala desa.

Tobu Némé Vaté merupakan ‘pintu awal’ sebelum pelaksanaan musim lefa. Semua perwakilan dari tokoh adat menggelar musyawarah guna menyelesaikan masalah dengan mengevaluasi beberapa kesalahan yang pernah terjadi di musim-musim lefa tahun sebelumnya.

Ritus Tobu Némé Vaté juga menjadi catatan penting bagi nelayan Lamalera guna meminimalisir kesalahan teknis pada musim lefa selanjutnya, yakni dengan memantapkan lahir-batin dan mempersiapkan segala keperluan teknis lainnya.

Namun, terdapat kekhususan dalam musyawarah tersebut, yakni apabila pernah terjadi atau ditemukan suatu kesalahan pada musim lefa di tahun lalu, maka perlu dilakukan upacara Bapa Béllé.

Bagi masyarakat nelayan di Lamalera, upacara Bapa Béllé adalah bagian khusus dari rangkaian prosesi upacara Tobu Némé Vaté yang bertujuan untuk menghapus kesalahan dengan menghaturkan maaf kepada leluhur.

Letak Kapel Santo Petrus yang Berada di Antara Jajaran Rumah Peledang/ Fandy Yoduke

Dimensi spiritual yang melekat dalam kepercayaan masyarakat Lamalera terhadap leluhur juga tampak pada ritus Iye Gérék. Prosesi simbolis bernuansa sakral yang dilaksanakan oleh perwakilan Suku Langofujo ialah upacara menjemput roh paus dari gunung untuk dibawa ke pantai.

Ritus Iye Gérék didasari oleh kepercayaan masyarakat Desa Lamalera ihwal gunung yang menyimpan sebuah batu yang menyerupai bentuk anatomi paus. Menurut cerita yang berkembang, sejak dahulu batu tersebut telah ada dan diyakini sebagai jelmaan dari roh moyang paus.

Karenanya, selama pelaksanaan ritus Iye Gérék, aturan adat ditegakkan dengan ketat. Nelayan tidak boleh turun melaut, anak-anak juga dilarang mandi di tepi pantai. Pada hari itu, air laut seolah diharamkan untuk semua orang, kecuali bagi tanah alep Suku Langofujo yang secara ‘nir mata’ membawa roh paus ke pantai.

Selepas ritus Iye Gérék, keesokan harinya dilaksanakan Misa Lefa yang dipimpin oleh seorang Romo. Kapel Santo Petrus yang berada di antara jajaran rumah peledang milik tuan tanah menjadi bukti langgengnya adat setempat dengan religiusitas masyarakat Lamalera terhadap aturan agama.

Pemberkatan kepada Laut yang Dilakukan Pemuka Agama Katolik dalam Rangkaian Prosesi Misa Lefa/ Andri Atagoran

Selain Misa Lefa, terdapat pula Misa Arwah. Secara simbolis, Misa Arwah merupakan doa dan ungkapan masyarakat Lamalera untuk mengenang para pendahulu yang telah meninggal ketika berjuang di tengah laut.

Selama prosesi Misa Lefa dan Misa Arwah berlangsung, seluruh peserta mengkhidmati jalannya upacara dalam bingkai doa-doa suci yang dipimpin oleh pemuka agama Katolik.

Pemberkatan Peledang yang Digunakan untuk Melaut dalam Rangkaian Prosesi Misa Lefa/ Fandy Yoduke

Uniknya, saat prosesi Misa Arwah berlangsung, di sekitar Kapel Santo Petrus, seluruh peserta upacara menyalakan lilin. Eksotisme budaya bahari di tanah Lamalera terasa syahdu di antara semburat cahaya lilin. Menghadiahi pemandangan indah di sepanjang pantai Lamalera ketika malam hari.

Eksotisme dalam Prosesi Misa Arwah Menuai Sebuah Pemandangan Indah di Tepi Pantai Lamalera/ Fandy Yoduke

Koteklema dan Lantunan Syair Laut Nelayan Lamalera

Kedekatan antara masyarakat nelayan Lamalera dengan laut diibaratkan seperti ‘sang Mama’ atau ibu yang senantiasa menyediakan kebutuhan bagi hidup mereka. Keyakinan nelayan Lamalera terhadap kekuatan nir dari leluhur mereka selalu terpelihara, bahwa semua berkah yang datang dari laut merupakan kehendak pemberian sang Mama.

Oleh karenanya, nelayan Lamalera juga meyakini bahwa di setiap laju perahu yang mengiringi perjuangan kehidupan mereka, ada ‘sang mama’ yang senantiasa memberkati. Kendati demikian, kesabaran nelayan Lamalera seringkali diuji lewat tidak adanya satu pun paus yang melintas selama kurun waktu musim lefa.

Ungkapan hati yang penuh harap itu termanifestasi melalui senandung syair berbahasa Lamalohot—bahasa lokal Lamalera—dalam petikan teks yang saya kutip dari tayangan televisi “Bumi dan Manusia: Baleo” yang dipublikasikan pada kanal youtube TVOne News, 26 Februari 2016 sebagai berikut:

"Aiyo oleu go pia tobo pole. Ooooo... Olau mode maiko. Ooooo... Oli kua ema... Oli kua ema... Ooooo...Lewo go pia. Oli kua ema dayo. Lewo go pia... Ole mogo pia. Pia tobo pole... Ele le le. Nikua eme... Lewo go pia. Pia tobo pole... Ele le le. Olau mode maiko. Nikua eme... Lewo go pia. Pia tobo pole."

(Artinya: Saya duduk di sini dan menunggu kamu datang. Wahai paus kenapa engkau selalu pergi dan pergi. Kuatkan hati, kuatkan hati. Kampung saya di sini. Sabar-sabar para leluhur pasti membantu. Kampung saya di sini... Laut masih di sini. Di kampung ini kami menunggu, di kampung kami menunggu. Tolong engkau lihat ke sini, kampung saya di sini. Di kampung ini kami menunggu, di kampung kami menunggu. Wahai ikan paus kenapa engkau selalu pergi dan pergi. Tolong engkau lihat ke sini, kampung saya di sini. Di kampung ini kami menunggu).

Petikan senandung itu dibawakan sebagai ungkapan rindu nelayan Lamalera yang telah sekian lama menantikan kedatangan rombongan koteklema atau paus. Senandung itu juga membuktikan adanya keyakinan akan harapan dan kekuatan nir dari leluhur yang memotivasi nelayan agar senantiasa berusaha dan terus bergerak bersama denyut kehidupan masyarakat desa.

Aktivitas bersenandung dilakukan oleh Lamafa (juru tikam) bersama para matros atau awak peledang di tepi pantai sambil menantikan kemunculan paus. Ketika tampak semburan air, hal itu menjadi penanda adanya sebuah harapan besar, rombongan paus yang dinanti-nantikan tengah melintasi jalur migrasinya di perairan Laut Sawu. Seketika itu pula nelayan-nelayan Lamalera akan berseru lantang kepada yang lainnya: “Baleo... Baleo... Baleo...!”.

Sesuai penuturan Yopi Bataona, sejatinya, baleo merupakan seruan komunikasi yang sarat perjuangan hidup dan hanya akan dilantangkan orang-orang Lamalera ketika melihat tanda-tanda kemunculan paus di permukaan laut. Baleo sendiri bak sebuah ajakan yang mewakili rasa kebersamaan kepada semua nelayan di pesisir pantai, bahwa paus yang melintas di perairan harus segera dikejar.

Seruan Baleo terus-menerus dilantangkan agar semua nelayan mendengar, sigap, dan cepat menarik peledang dari bibir pantai dan segera menuju ke perairan. Pekerjaan ini membutuhkan banyak tenaga dan kekompakan matros-matros dalam posisi tugasnya masing-masing.

Balok-balok kayu yang sudah dipersiapkan harus segera ditata berjajar seperti lintasan rel mengarah ke laut, agar  memudahkan laju peledang ketika ditarik ke laut. Saat semua matros telah naik ke peledang, maka Lamafa harus berada di posisi terdepan. Sang juru tombak terus menancapkan pandangan dan memberi arahan kepada seluruh awak peledang, agar campang diayun secepatnya untuk mengejar paus.

Lamafa: Status Sosial dan Peranannya

Masyarakat nelayan Lamalera sudah sejak dahulu mewarisi bakat dan pengetahuan dalam membaca arah tiupan angin, rasi bintang, mendeteksi tanda-tanda kemunculan paus, dan menguasai cara menaklukannya di tengah laut dengan peralatan sederhana.

Sebagai keturunan pelaut tangguh, sudah sejak dahulu nelayan Lamalera dibekali teknik tuba-feda oleh leluhur. Lalu, bagaimana status, peran, dan kedudukan Lamafa di atas peledang maupun di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat Lamalera?.

Menurut penuturan Yopi Bataona, kedudukan sosial seorang Lamafa begitu istimewa. Lamafa dalam pandangan masyarakat nelayan Lamalera adalah sandaran dan harapan hidup. Ketika Lamafa berhasil menarik paus ke daratan bersama matros-matrosnya, maka seluruh warga desa mendapatkan rejeki berlimpah.

Oleh karena itu, jiwa kepemimpinan Lamafa dalam budaya menangkap paus di Lamalera adalah sebuah sikap pengorbanan dan perjuangan yang amat mulia. Selain bertugas menikam paus dengan cara tuba feda tersebut, Lamafa juga dianggap sebagai pemimpin peledang. Seluruh matros yang berada di atas peledang hanya patuh dan mendengar instruksi dari Lamafa.

Ketika sudah di atas peledang, Lamafa harus selalu siap dengan tempuling dan tale kafe di tangannya. Insting seorang Lamafa juga harus peka saat berhadapan dengan paus. Kendati demikian, terdapat perhitungan-perhitungan khusus dalam sebuah aktivitas tuba feda selama musim lefa berlangsung, yakni Lamafa mempunyai prinsip untuk tidak menikam bayi paus atau induk paus yang sedang menyusui.

Sang Lamafa akan memilih paus besar yang memang layak untuk ditangkap. Ibarat dalam sebuah perang di medan laga, sikap seorang kesatria tentu sangat pantang melukai lawan yang lemah. Hal menarik untuk diketahui, yakni bagaimana bisa seorang Lamafa menaklukan paus yang berukuran besar meskipun hanya menggunakan tempuling saja?.

Setiap suku di Lamalera yang tertakdir sebagai keturunan Lamafa, sudah pasti memahami cara-cara menaklukan paus. Menikam paus di tengah lautan adalah momen paling dramatis sepanjang musim lefa. Secara insting, teknik dan pengetahuan, seorang Lamafa sangat memahami perilaku paus.

Hewan mamalia laut terbesar itu dapat ditaklukan dengan ditikam di titik lemah, yakni bagian tubuh lunak dan menghindari tikaman yang mengarah ke bagian atas kepala. Lamafa mengetahui bahwa tulang tengkorak merupakan bagian paling keras. Ketika Lamafa berhasil menikam pada titik lemah dengan tepat sasaran, maka air laut akan berubah menjadi merah akibat semburan berliter-liter darah paus.

Menurut perhitungan mereka, apabila titik tikaman salah sasaran, hal itu justru berujung fatal bagi seluruh awak peledang. Kemungkinan terburukbisa saja terjadi di tengah lautan. Paus yang akan ditangkap bisa memberontak dan melawan. Bahkan dalam sekali hantam, kibasan ekor paus dapat menghancurkan peledang.

Kendati demikian, perlawanan paus yang sudah tertikam tempuling Lamafa pun masih beresiko besar. Terkadang tenaga tarikan dari paus mampu menenggelamkan peledang hingga ke dasar laut, lantaran tale kafe yang menjeratnya bertumpu pada rangka peledang.

Alhasil, semua nelayan terombang-ambing di tengah lautan, sembari menunggu peledang terapung kembali atau menunggu pertolongan dari peledang yang lainnya. Menangkap paus adalah perjuangan berat, sehingga butuh waktu beberapa jam untuk dapat menaklukan dan membawanya ke daratan.

Menyandang status sebagai seorang Lamafa juga terikat dengan berbagai pantangan hukum adat. Yopi Bataona menjelaskan, pantangan seorang Lamafa cukup banyak, misalnya tidak boleh bersentuhan dengan orang, tidur seranjang dengan istri, atau bahkan yang paling tabu adalah melakukan hubungan suami-istri.

Saat hendak melaut, seorang Lamafa juga tidak diperbolehkan berbicara dengan orang lain, kecuali ketika memberi instruksi kepada awak peledang. Pantangan lain yang perlu dipatuhi oleh seorang Lamafa ialah harus mengetahui sumber asal distribusi makanan yang dikonsumsi.

Bagi Lamafa sangat dilarang memakan daging atau makanan dari hasil tangkapan paus. Sesuai aturan adat yang berlaku, bagi Lamafa sudah ada bagian tersendiri dari hasil tangkapan, yakni sirip paus. Apabila pantangan itu dilanggar, maka diyakini akan berakibat buruk bagi seluruh aktivitas melaut di kemudian hari, yang tak hanya menimpa Lamafa, namun juga berdampak pada masyarakat desa.

Menurut keyakinan masyarakat desa, pelanggaran-pelanggaran itu bisa saja berdampak pada tangkapan ikan di kemudian hari, kecelakaan di laut, terlilit tali tempuling, atau kendala teknis lainnya.

Koteklema dan Kelangsungan Hidup Masyarakat Desa Lamalera

Bagi penduduk Desa Lamalera, budaya menangkap paus atau koteklema pada musim lefa ialah untuk menyambung hidup. Bagi Lamafa, menangkap atau mengambil berkah dari Tuhan adalah sebuah prinsip tanggung jawab yang diemban dalam menjalankan tradisi yang dititahkan oleh leluhur, demi meneruskan perjuangan, mempertahankan hidup dan menghidupi banyak keluarga.

Artinya, hampir seluruh penduduk nelayan di Desa Lamalera menggantungkan hidup dan masa depannya kepada ‘sang Mama’ atau laut. Di pundak sang Lamafa, harapan itu disandarkan. Sebab, dari daging dan minyak paus, anak-anak mendapatkan biaya untuk melanjutkan pendidikan, roda ekonomi keluarga nelayan senantiasa berputar, serta janda-janda dan kide knuke (fakir miskin) dapat tercukupi kebutuhan hidupnya.

Selain orang-orang yang diprioritaskan, hasil tangkapan paus juga dibagi secara merata kepada tanah alep (tuan tanah), tena alep (pemilik peledang atau perahu), dan meng (semua orang yang terlibat membantu proses penangkapan).

Sebagaimana yang dituturkan Yopi Batanoa, bahwa dalam aktivitas gotong-royong, pemotongan daging paus memilikibagian khusus untuk diberikan kepada Suku Beding atas peranannya dalam membuat tempuling, yakni nofek atau bagian leher paus di area sekitar sirip.

Daging Paus yang Telah Dipotong dan Dijemur Menjadi Pemandangan yang Unik di Desa Lamalera/ Fandy Yoduke

Sebagai sikap syukur atas hasil yang didapatkan, pada proses pemotongan paus, seluruh tubuh paus tidak ada yang terbuang sia-sia, baik daging, organ dalam, minyak, hingga tulangnya.

Penjemuran di Bawah Terik Sinar Matahari Merupakan Cara Tradisional Masyarakat Nelayan Desa Lamalera untuk Mengawetkan Daging Paus/ Fandy Yoduke

Sebagai pengetahuan lokal, masyarakat Desa Lamalera mempunyai teknik dalam mengawetkan daging paus, yakni dijemur di bawah terik sinar matahari dan diasapi di atas tungku dapur.

Selama musim lefa, pemandangan Desa Lamalera tampak semakin unik layaknya instalasi etnik desa nelayan. Di sudut halaman rumah warga, ditemui daging paus yang dijemur di bawah terik matahari. Daging-daging yang telah dipotong rapi tersebut dijemur berjajar-jajar hingga kering guna mengurangi kadar air dan minyaknya, agar dapat dikonsumsi dalam jangka waktu lama.

Sementara itu, minyak paus dimanfaatkan sebagai pelita untuk menerangi rumah-rumah warga desa. Bahkan, menurut pengalaman Martin Kedang, minyak paus dapat juga digunakan sebagai obat luka bakar.

Selama musim lefa, prinsip keadilan sosial dan keharmonisan dalam sebuah keluarga nelayan di Lamalera pada akhirnya dapat kita lihat melalui peranannya masing-masing. Laki-laki bekerja sebagai nelayan yang mengambil berkah dari laut, sedangkan kaum perempuan bekerja sebagai fule-pnete alep dalam sistem barter di pasar Wulandoni.

Bagi masyarakat nelayan di Desa Lamalera, daging paus tak hanya untuk dikonsumsi sendiri. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka juga menukarnya dengan barang kebutuhan pokok lainnya, seperti jagung, umbi-umbian, buah-buahan, dan lain sebagainya.

Peranan kaum perempuan biasanya tampak dominan ketika mereka memulai aktivitas dengan memikul daging paus sambil berjalan kaki cukup jauh untuk menawarkan daging tersebut ke rumah-rumah warga yang bermukim wilayah pegunungan.

Selain menawarkan ke rumah-rumah warga, daging paus juga dibawa ke pasar Wulandoni untuk ditukar dengan bahan makanan lainnya. Aktivitas kaum perempuan di pasar tradisional Wulandoni memperlihatkan bahwa budaya barter atau fule-pnete masih bertahan hingga kini, meskipun di negara ini telah lama menerapkan sistem tukar-menukar barang menggunakan mata uang rupiah.

Sebagaimana yang telah dituliskan Tube (2017:87), dalam sistem fule-pnete, satuan takaran atau ukuran untuk menukar jagung dalam satu ikatan berjumlah seratus buah dapat ditukar dengan empat potong dendeng kulit paus. Oleh karena itu, setiap kaum perempuan di Lamalera harus memiliki bekal wawasan dalam melakukan transaksi barang menggunakan sistem barter. Sistem barter mewakili sikap saling membutuhkan antara masyarakat nelayan di pesisir pantai dengan masyarakat pegunungan.

Aktivitas Kaum Perempuan yang Masih Mempertahankan Budaya Fule-Pnete sebagai Sistem Pembarteran di Pasar Tradisional Wulandoni/ Petrus Lasan

Sebagai penutup tulisan ini, kita akhirnya mengetahui bahwa budaya laut di Lamalera tidak mengenal frasa ‘perburuan’. Secara pemahaman dan pengetahuan emik, rombongan paus yang ditangkap nelayan Lamalera merupakan berkah Tuhan yang datang dari laut.

Masyarakat nelayan Lamalera hanya mengambilnya dari perairan laut Sawu dan tidak berlayar jauh hingga ke samudra. Kita pun bisa menerka, siapa yang serakah terhadap kekayaan laut?. Pantaskah nelayan Lamalera dicap sebagai ‘pemburu paus?.

Lalu, bagaimana nasib anak-anak, janda-janda tua, dan seluruh masyarakat Desa Lamalera jika tidak menangkap paus dan mengambil berkah dari Tuhan?. Kita pasti tahu jawabannya dari dalam hati masing-masing.

Keterangan sumber: Foto utama diabadikan oleh Fandy Yoduke "Keramaian dalam Rangkaian Prosesi Misa Lefa di Depan Jajaran Rumah-rumah Peledang".

Penyunting: Nadya Gadzali