Etnis.id - Banyak petuah dari leluhur soal bagaimana kita seharusnya menghargai makanan. Makanan adalah sesuatu yang sakral. Saya ingat satu pesan, "Jangan buang makanan. Nanti nasinya menangis."
Pesan itu dikirimkan sewaktu saya masih kecil. Ceritanya begini. Saya disiapi satu kursi plastik untuk duduk, lalu nenek saya menyuapiku dengan semangat di depan televisi. Saya sambil menonton saat itu.
Segala rupa makanan disiapkan di atas piring. Sebagai seseorang yang tidak begitu suka dengan sayur kol, nenek memaksa untuk memakannya. Ia mengangkat beberapa irisan sayur dalam semangkuk besar sup ayam.
"Makan, Nak."
Saya tidak membuka mulut. Nenek tetap memaksa untuk memasukkan sendok dalam mulutku. Karena kami berdua otot-ototan, akhirnya ia menyerah. Ia mengeluarkan petuah di atas. Belakangan saya tahu, kalau paksaan itu baik. Ia memintaku untuk lebih sehat dan berisi. Toh, sayur menjadi asupan yang baik di antara yang lain.
Atau yang paling sering kita dengar adalah, "Kalau tidak makan, saya kasih kucing makanannya. Mau?" Ponakan saya, jika mendengar kalimat itu, segera melahap makanannya meski dengan wajah terpaksa dan pipi yang menggembung. Dari hal ini saya kira kita diajarkan untuk berbagi. Bukan membuang makanan begitu saja jika tak ingin lagi memakannya.
Ingatan di atas dikembalikan dalam salah satu diskusi yang digelar di Taman Ismail Marzuki. Pembicaranya yakni Fadly Rahman dan Prof Timbul Haryono. Mereka bercerita tentang makanan dan sejarahnya. Fadly mengutip kalimat yang sama dengan yang disampaikan Nenek belasan tahun yang lalu.
Semakin hari, pesan-pesan itu hilang. Makanan tidak lagi dianggap penting. Tanpa disadari, kita gampang menyerah jika sudah kenyang dan merasa penuh. Kita merasa bisa menghabiskan banyak sekali makanan, tanpa menakar kemampuan perut. Akhirnya, makanan itu ditinggal.
Bahkan dalam kitab Negara Kertagama, diuraikan betapa kerajaan Jawa dulunya sangat menjaga stok pangan mereka. Makanan dikendalikan agar masyarakat tak menyia-nyiakannya. Tanpa pangan, mereka yakin kerajaannya cepat ambruk.
Dalam beberapa poin dalam pupuh 88, disebut bahwa Baginda Nata Wilwatikta menganjurkan kalau tetamu yang datang ke kerajaannya, jamuannya harus diatur secara pantas.
Sementara dalam pupuh 89, makan jamuan harus dimasak pagi-pagi. "Jika ada tamu loba dan tamak mengambil makanan, merugikan, biarlah ia mengambilnya, tetapi laporkan namanya kepada saya."
Poin selanjutnya adalah, "Negara dan desa berhubungan rapat seperti singa dan hutan. Jika desa rusak, negara akan kekurangan bahan makanan. Kalau tidak ada tentara, negara lain mudah menyerang kita. Karenanya, peliharalah keduanya. Itu perintah saya."
Ini berbeda jauh dari hidup kita sekarang, perusakan desa sudah tak terbendung lagi. Sumber makanan dilenyapkan pelan-pelan. Tanah tempat tumbuh sumber daya tertentu, diganti dengan pangan yang umum. Warga desa pelan-pelan diganti kecenderungannya mengikut selera orang modern.
Dalam sebuah warung tradisional atau modern, ada banyak yang bisa kita temui tentang kisah sepiring makanan. Biasanya, ada yang menyisakan atau menghabiskannya tanpa sisa.
Jika disisa, jelaslah keliru atau mungkin tak bisa disalahkan. Yang ada, hanya memunculkan pertanyaan, mengapa sangat kurang atau tak ada yang menyarankan kita, "Nasinya banyak atau tidak, Pak/Bu?"
Bukannya tidak ada. Kita semua bisa menemui interaksi pedagang makanan dengan pembeli, salah satunya di Warung Tegal. Percaya atau tidak, jika punya langganan, kita pasti akan mengobrol banyak dengan pedagangnya. Ada relasi yang lekat terbangun.
Kemajuan teknologi pula, membuat interaksi dengan pedagang atau pembeli hanya menyisakan keremehtemehan. Yang dibicarakan hal yang penting-penting saja. Ojek online melalui layanan pesan antarnya mengubah pola bersosial kita.
Memang dimudahkan, tetapi apakah kemudahan selalu lebih baik daripada bersulit? Apakah jika bersulit Anda mendapatkan satu momen tak terlupakan melalui interaksi?
Saya menganggap, makanan lebih dari isi perut semata. Ada hubungan emosional di dalamnya. Ia bukan hanya persoalan kenyang atau tidak. Satu contoh di atas sudah saya paparkan. Jika butuh lagi, saya tambahkan.
Dulu, dalam satu wawancara di rumah makan ikan yang terkenal di Makassar, di daerah pelelangan Paotere. Kami para pewarta berkumpul bersama narasumber. Suasana khusyuk. Ada penyanyi dangdut yang bersenandung menghibur kami dalam perjamuan.
Saat itu masuk waktu makan siang. Semua orang sudah memesan. Akhirnya, ikan bakar, sup ikan, otak-otak dan lain-lain, datang ke atas meja diantar oleh pramusaji. Nafsu makan kami kian bertambah.
Di sana, kami menunggu yang punya hajatan untuk mengangkut nasi lewat centongan terlebih dahulu. Setelahnya, barulah kami. Sesuai norma di Makassar, empu acara dibiarkan dulu untuk membuka.
Meski sudah diajak untuk mencabik satu ikan bakar, beberapa dari kami tetap bergeming. Tahulah, kami masih sibuk mengetik dan berusaha mengejar deadline yang sudah ditetapkan kantor kami masing-masing.
Pemilik acara lalu marah dan menegur kami. Suaranya agak tinggi. "Bos! Kalau waktunya makan, ya makan. Jangan main hp. Lupakan pekerjaan dulu. Tidak baik orang diajak makan, tapi mengabaikan makanan yang sudah terhidang. Apa maumu?"
Suasana sontak henting. Yang lebih dulu makan, melihat ke arah kami. Kami akui, kami salah. Saya dan beberapa kawan meminta maaf, lalu akhirnya ikut makan. Yang punya hajatan tersenyum dan menawarkan kami sayur santan dan lain-lain.
Bayangkan saja, bagaimana teknologi menjauhkan kita dari sesuatu yang bagi sebagian orang dianggap suci. Bahkan dalam agama pun, makan dianggap sebuah prosesi yang keramat. Tengok saja kisah Ummu Sulaim dan anaknya yang meninggal.
Sampah Makanan dan Makanan Sampah
Sebab pesan-pesan leluhur soal makanan kian hari kita lupakan, maka muncullah satu kenyataan yang membuat dahi saya mengenyit. Indonesia jadi produsen sampah makanan kedua di dunia. Kita memang kaya raya.
Dikutip dari foodsustainability.eiu.com, data tahun 2016 dari Economist Intelligence Unit (EIU) mengatakan, setiap orang Indonesia bisa menghasilkan sampah makanan hingga 300 kg per tahun.
Angka ini cukup besar, sebab di sisi lain, banyak dari kita masih terpapar kelaparan akut. Buktinya, banyak anak yang malnutrisi dan busung lapar. Sadarkah kita semua dengan apa yang kita perbuat?
Kepala Perwakilan Badan Pangan PBB (FAO), Mark Smulders pada tahun 2016 pernah merilis jika di Indonesia, sampah makanannya mencapai 13 juta ton setiap tahun.
Sampah itu kebanyakan dari ritel, katering, dan restoran. Perilaku masyarakat yang sangat sering tidak menghabiskan makanannya turut berkontribusi atas rekor negatif ini. Apalagi, kita semua lebih mengedepankan gambar dari rasa. Mata kita yang lapar, perut kita tidak.
Data tahun 2014 menunjukkan sebanyak 1,3 milyar ton makanan terbuang setiap tahunnya di dunia dan Indonesia menyumbang 21 juta ton. Info ini dikutip dari akun Facebook Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO Indonesia) World Food Day Indonesia.
Melihat fakta ini, kita semua bisa bertanya dalam diri: Apakah yang kita cari dari sebuah makanan? Apakah hanya memenuhi nafsu perut atau mencari lapis-lapis berkah dalam makanan tersebut?
Saya paparkan satu lagi bukti betapa istimewanya makanan yang kita makan sekarang. Sebab, di daerah lain, banyak orang yang ingin makan, walau itu dari sisa sampah rumah tangga yang kita buang.
Kita harus tahu soal pagpag yang artinya debu yang melekat pada pakaian atau karpet. Istilah ini muncul di Filipina dan ditujukan untuk daging yang dibuang, lalu dibersihkan kemudian dimasak menjadi makanan murah seharga 20 peso atau Rp5 ribu.
Memang murah, tapi itu adalah sampah. Kita tidak tahu, dalam sampah itu, adakah tikus yang berjalan di atas makan itu atau adakah lalat pembawa virus yang hinggap di makanan itu sebelumnya? Salmonella bisa mengancam lewat makan murah itu.
Pagpag marak dimakan di pemukiman kumuh Filipina, oleh orang yang tak mampu beli makanan sesuai isi dompetnya. Pagpag populer lantaran menguntungkan pemulung dan pemilik restoran kecil yang membeli daging buangan dengan harga murah dan meraciknya menjadi berbagai hidangan.
Terlepas dari makanan sampah itu dijadikan bisnis, apakah Anda rela, atau bisakah Anda membayangkan, melihat orangtua, saudara atau Anda sendiri, memakan sampah? Saya pikir tidak.
Lalu bagaimana agar itu tidak terjadi? Makanlah seadanya. Berhenti sebelum kenyang, makan sebelum lapar. Ajari anak atau keluarga Anda tentang pesan leluhur ihwal bagaimana menghargai makanan.