Etnis.id - Saya berjalan di antara tembok tinggi Jalan R. Ikik Wiradikarta, Tasikmalaya. Gang sempit itu hanya muat dilalui dua orang. Meski begitu, ada makanan lezat di sana: Bubur Ayam Kalektoran H. Zenal.

Bubur ayam memang lumrah ditemui di berbagai sudut Tasikmalaya, tetapi Bubur Ayam Kalektoran H. Zenal yang melegenda sejak 1969, tampaknya telah jadi pilihan utama di Tasik.

Saat datang, saya disambut badut Doraemon yang melambaikan tangan. Ia berdiri sambil berjoget dengan kostum biru di depan teras sebuah rumah bercat krem. Usut punya usut, itulah kediaman asli Zenal sejak dulu. Semangkok bubur dulunya dijajakan dari gerobak, lalu Zenal akhirnya membuka warung di rumahnya, sebab pelanggan kian melonjak.

Gang menuju rumah H. Zenal/Etnis/Dewi Rachmanita Syiam

Sampai di teras rumah yang lantainya berwarna merah, saya bersemuka dengan “dapur” pembuatan bubur ayam. Sekat kaca yang berkombinasi dengan berbagai jenis bata, jadi muka warung. Tak lupa “garis kuning”–layaknya garis polisi– bertuliskan identitas nama warung, melekat di kaca, menyembunyikan atraksi peracik bubur di baliknya.

Salah satu sudutnya, dekat pintu kayu, dijadikan lubang terbuka sebagai penghubung antara pengunjung dengan penjual. “Mang, hiji (satu) buburnya. Setengah porsi,” kata saya sambil sedikit menundukkan kepala.

Paduan paha dan dada ayam kampung dengan tongcai

Saya sudah beberapa kali ke daerah yang dijuluki Mutiara dari Priangan Timur itu, tapi baru sekali menjajal langsung citarasa Bubur Ayam Kalektoran H. Zenal. Sespesial apa memangnya?

Kadang, saya meragukan daftar rekomendasi kuliner di pelbagai tempat yang ditulis berulang kali dalam beragam media arus utama. Beberapa dari rekomendasinya, ujung-ujungnya, menurut lidah saya biasa saja. Tapi, syukurlah hal itu tidak terjadi pada setengah porsi Bubur Ayam H. Zenal.

Saya ingin tertawa setelah mangkok putih mendarat di meja diantar sang pramusaji. Ini sih bukan setengah porsi atau mungkin lebih tepat, yang setengah porsi hanya buburnya. Topping yang menyelimuti "si putih nan lembut dan wangi" memenuhi mangkok.

Taburan topping bubur H. Zenal jadi unggulan/Etnis/Dewi Rachmanita Syiam

Dari bentuknya, saya menobatkan bubur ayam racikan Zenal–atau staf dan penerusnya–jadi salah satu bubur dengan topping paling ekstra yang pernah kumakan. Rasa-rasanya mungkin lebih dari 50 persen mangkok diisi taburan bubur.

Ada dua yang menggugah lidah dan mata saya. Pertama, suwiran daging ayam kampung. Barangkali topping bubur berupa suwiran ayam sudah biasa disuguhi di banyak pedagang bubur. Namun, yang ekstra dari bubur ayam H. Zenal adalah penggunaan dua bagian tubuh ayam kampung: paha dan dada.

Awalnya saya kira potongan ayam kampung bakal disajikan, saat sang koki bilang mereka punya dua bagian ayam. Ternyata saya salah. Daging dada dan paha ayam kampung disuwir tipis, diletakan menjadi dua bagian terpisah, tapi saat disendok dan bersatu dalam mulut, keduanya punya paduan yang menarik.

Ayamnya matang pas. Tak terlalu mentah, juga tak overcooked. Melimpah ruwah dalam mangkok dan memanjakan pembeli tanpa rasa mual karena berlebihan.

Tongcai. Ah saya memang begitu gemar bubur atau kuliner lain yang hadirkan tongcai sebagai taburannya. Jadi, begitu sendok stainless stell menjelajah mangkok dan menemukan tongcai, saya bergembira. Pada akhirnya, sayuran yang diasinkan ini menjadi salah satu sumber rasa gurih bubur. Ia mampu menciptakan rasa spesial nan unik, hasil fermentasi sawi dengan bawang putih dan garam.

Pegawai H. Zenal saat mempersiapkan bubur untuk dibungkus/Etnis/Dewi Rachmanita Syiam

Hadirnya tongcai dalam bubur menjadi indikator kalau budaya masak Tionghoa mempengaruhi kuliner Tasikmalaya. Ia punya gurih yang berbeda dan digadang-gadang jadi kenikmatan dan keutaman kuliner Tasikmalaya.

Memang tak salah saya jajal bubur ayam H. Zenal saat sarapan, bertepatan pula dengan Tahun Baru Cina. Selain dua topping itu, pelengkap lain yang menutup bubur tak jauh-jauh dari cakwe yang dipotong kecil, irisan daun bawang yang porsinya cukup di atas rata-rata bubur biasa serta taburan bawang goreng renyah. Tambahan berupa telur matang maupun mentah dan ati pun tersedia.

Begitu pula kerupuk berupa emping dan opak yang tersimpan rapat dalam stoples-stoples besar bertutup warna-warni di setiap meja makan. Sayangnya, tak kutemukan tambahan bubur andalanku: Sate usus.

Bubur Ayam H. Zenal saat dikemas/Etnis/Dewi Rachmanita Syiam

Soal bubur, teksturnya tak secair bubur Sanghai alias lebih kental sedikit. Buburnya gurih. Wangi, walau tak sesemerbak bubur khas Cianjur. Ia tak dipenuhi kuah kaldu kuning seperti yang biasa hadir di gerobakan bubur Jakarta. Tingkat kelembutannya pas.

Maka, tak heran bubur ini aman bila dibungkus dengan kertas nasi yang dijepit dengan staples seperti nasi padang. Nikmatnya bubur dan beraneka rupa taburan ciamik, semakin menarik saat bersentuhan dengan kecap manis dan kecap asin tradisional dari Cirebon.

Saya memang jadi salah satu orang yang lebih menyukai kecap lokal tradisional dan tak jamak ditemui di supermarket, dibanding merek-merek yang berseliweran di layar kaca. Bagi saya, rasanya lebih autentik. Bubur Ayam Kalektoran H. Zenal pakai kecap asin berlabel Tjap Tiga Sendok. Soal kecap manis, saya kurang tahu pasti, sebab sudah berpindah tempat ke botol plastik kecil.

Kecap lokal dari Ciebon/Etnis/Dewi Rachmanita Syiam

Bagi orang-orang yang menganut mahzab tidak mengaduk bubur, mungkin kalian akan agak sedikit kecewa. Pasalnya, bubuk-bubuk bumbu tidak dibubuhi rata. Ia pun terlihat jelas dalam pinggiran mangkok putih dan sempat saya coba verifikasi rasanya, yaitu lada. Sudah saatnya bagi kalian untuk menyeberang aliran ke tim bubur diaduk.

Sayangnya, saya yang doyan pedas harus absen untuk menambahkan sambal agar cita rasa bubur terangkat. Kondisi lambung yang infeksi memaksa saya untuk menjeda sebentar dalam konsumsi panganan pedas.

Lebih dari dua puluh ribu rupiah untuk setengah porsi mangkok yang tadinya terisi penuh bubur, kini telah kosong mengkilap, 11-12 seperti baru dicuci. Isinya berpindah seutuhnya ke perut saya sambil diselingi teh tawar panas.

Bubur Ayam H. Zenal/Etnis/Dewi Rachmanita Syiam

Saya bangkit dari kursi dan menuju meja kasir kayu yang tingginya sekitar satu meter. “Sabaraha (berapa), Teh?” Setelah jelaskan menu yang saya pesan, teteh penjual sebut harga: Rp25 ribu.

Agak terkejut, walau tidak banget. Sebab, ojek online, sebelum mengantar saya, menceritakan kalau bubur ayam itu termahal di Tasikmalaya. Satu porsinya pun mencapai Rp35 ribu. Walau cukup menguras kantong untuk setengah porsi bubur ayam, rasanya sesuai dengan yang disajikan tadi.

Bubur Ayam Kalektoran H. Zenal pun jadi salah satu kuliner yang saya rekomendasikan. Selain rasanya yang lezat, suasananya dalam rumah di sebuah gang kecil pun asyik. Namun, sebaiknya jangan sampai kesiangan untuk makan buburnya.

Suasana warung Bubur Ayam H. Zenal/Etnis/Dewi Rachmanita Syiam

Walau mereka menyebut diri buka sampai pukul 14.00, pengunjung sedari pukul 06.00 sudah mengantre. Belum lagi para ojek online yang ikut berjubel membelikan sarapan bagi orang-orang di antah berantah.

Gambaran kondisi warung bubur saat ini mungkin serupa tapi tak sama dengan dulu saat 1960-an. H. Zenal semacam terdesak oleh pembeli yang ketagihan dengan bubur buatannya. Sampai-sampai harus datang langsung ke rumahnya agar tidak kehabisan bubur.

Editor: Almaliki