Etnis.id - Minggu (2/2), Panggung Gesang kembali menyuguhkan hiburan musik keroncong. Kali ini yang tampil adalah WAG Edan Kerontjong Solo. Terlihat ramai dan sebagian penonton tanpa canggung unjuk suara menghangatkan suasana. Memang musik lawas ini masih memikat wong Solo, selain karawitan.

Panggung Gesang yang berlokasi di Omah Sinten berada di depan Pamedan Mangkunegaran. Kenyataan tersebut menerbangkan ingatan pada peristiwa seabad silam, yakni tentara Legiun Mangkunegaran menggandrungi musik keroncong.

Dalam selembar foto hitam putih di Perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran, tampak tentara legiun memainkan alat musik keroncong. Dalam ruangan yang tak jembar, sepuluh lelaki berpakaian seragam militer berkelir cokelat, dengan raut muka santai memegang cak, cuk, 3 buah gitar, biola, bas betot, dan lainnya.

Keroncong sebagai musik, relatif baru di belantara Solo dan karakter praja Mangkunegaran yang terbuka terhadap pengaruh budaya luar, mengakibatkan gerombolan tentara modern bentukan bangsa Prancis tersebut leluasa bermain keroncong. Istana terkaya di Jawa dan dikenal sebagai penjaga tradisi itu, berhasil ditembus oleh musik keroncong yang notabene berasal dari Portugis.

Mentari telah karam di pojok barat, langit di atas Pamedan menggelap. Malam merangkak, mereka berlatih keroncong di tengah kampung sembari menghibur diri. Dari sinilah, telinga masyarakat akar rumput yang awalnya cuma mendengar gamelan, lambat laun bisa berkawan baik dengan keroncong. Tanpa dinyana, perkumpulan keroncong kemudian bermunculan di perkampungan Surakarta.

Keroncong mulai populer dan bersanding dengan klenengan tanpa baku hantam. Gesang Martohartono kala tahun 1930an mulai ikut kelompok keroncong lokal. Seperti halnya musik jazz di masa sekarang, tempo itu keroncong digandrungi kawula pemuda.

Tanpa kecuali para murid di Algemmene Middelbare School (AMS) bagian A1 (sastra timur) yang mengikutsertakan materi kesenian keroncong di asrama atau pondokan yang tak jauh dari Mesen.

Dalam catatan pengarang cum guru Sastra Jawa, Jasawidagda, sekolahan ini tahun 1926 sudah memperoleh murid lebih dari 100 orang. Mereka berasal dari Ambon, Batak, Padang, Aceh, Betawi, Priyangan, Madura, Sumatra, Bali, dan Jawa bagian tengah, serta kelompok Tionghoa dan Belanda.

Fakta tersebut menujukkan bahwa AMS Solo merupakan sekolah favorit, setidaknya terdengar sampai ke luar Jawa. Pada kenyataannya, AMS Solo melahirkan para tokoh terkemuka seperti Dr. Prijono, Dr Tjan Tjoe Siem, Armijn Pane, Amir Hamzah, Ahdiat K. Mihardja, Prof. Mr. Kusumadi, Prof. Ali Afandi dan lainnya. Sebagian dari mereka tinggal di asrama dan mempelajari keroncong kala senggang.

Mereka sering mengadakan vergedaring (pertemuan) di Societiet Habiprojo membahas persoalan politik kebangsaan dan kebudayaan. Demikian pula anggota Boedi Oetomo cabang Surakarta yang menjadi pengurus tetap di sana.

Mereka mengadakan rapat dan pesta makan diselingi pertunjukan musik. Lingkungan semacam ini sangat memengaruhi pilihan hidup Gesang mencintai jagad musik sampai ujung hayat dan akhirnya menjadi maestro keroncong.

Hingga tahun 1950-an, di perkampungan kerap terlihat seorang bapak menggendong bayi sembari memetik alat musik keroncong. Rupanya, lelaki ini sedang meninabobokkan buah hati dengan iringan musik (tembang) keroncong.

Di pojok gang atau pelataran rumah yang agak jembar, acap dipakai untuk menggelar gadon (keroncong ringkas). Kian hari, keroncong merembes ke warung makan menghibur pembeli yang tengah bersantap.

Di warung Timlo Sastro, misalnya, pemain keroncong dengan peralatan pokok memanjakan telinga pengunjung yang ngiras menikmati timlo. Lagu keroncong bisa dipesan pengunjung dengan menyodorkan beberapa lembar rupiah ke wadah yang disiapkan musisi jalanan tersebut.

Gesang (1917–2010) telah lama tiada. Namun namanya diabadikan menjadi tempat pentas, ruang berolah kreasi musisi muda, dan siasat mengakrabkan kuping para remaja dengan keroncong.

Teringat masa remaja Gesang di Kemlayan. Manakala melenggang ke selatan, kuping Gesang mendengar rengeng-rengeng perempuan pembatik menembangkan lagu Jawa seraya memegang canting.

Ada ketenangan batin diunduh buruh kala melantunkan tembang Jawa, selain pengobat rasa capek. Fenomena tersebut gampang dijumpai di perusahaan batik pribumi di Surakarta.

Selanjutnya melompati jalan raya bagian utara, saban malam Gesang mendengar alunan gamelan yang ditabuh barisan pangrawit jempolan Keraton Kasunanan tengah latihan di Kemlayan.

Kendati dibesarkan di lingkaran keluarga wong cilik, Gesang diam-diam menyerap kahanan kota yang pekat unsur kesenian. Walhasil, rasa cintanya pada seni dipeluk hingga ujung hayat.

Dengan fakta ramainya Panggung Gesang, barisan penikmat keroncong tak perlu dirambati kesedihan plus kegalauan akan lenyapnya keroncong dalam hati generasi milenial. Boleh dibilang, upaya ini berarti menolak kematian keroncong yang sering dianggap musik kuno, merujuk periode masuknya Portugis ke wewengkon Nusantara.

Justru generasi kekinian makin bersemangat mewujudkan cita-cita seniman sepuh ini dalam menjaga kelestarian musik keroncong. Kudu disemaikan bibit seniman keroncong dan menyuburkan komunitas keroncong yang bersusah payah menjaga keroncong sampai akhir zaman.

Editor: Almaliki