Apa yang terlintas di dalam benak saat melihat nasi berbentuk kerucut lengkap dengan lauk pauk yang tersusun rapi di atas nampan? Tumpeng. Begitulah masakan tradisional yang lazim ditemui di berbagai gelaran kenduri dan upacara adat itu dinamai.
Tumpeng merupakan sajian khas Nusantara yang dapat dicermati dari sudut pandang gastronomi, yakni ilmu yang mempelajari hubungan antara masakan dengan budaya yang melatarbelakanginya.
Pada “Sarasehan Tumpeng” yang digelar secara daring pada Kamis (10/12) lalu, Wira Hadiansyah atau Chef Wira yang giat mempopulerkan literasi kuliner Nusantara lewat sejumlah penjelajahannya, menjelaskan bahwa meskipun telah lama terbebas dari sekat-sekat geografis, tumpeng diyakini telah ada sejak zaman Jawa Kuno. Ketika itu, masyarakat masih memeluk agama Kapitayan dan agama Sunda.
Umat Kapitayan meyakini keberadaan Tuhan dengan memaknai istilah “Tu” secara luas. Seluruh benda yang mengandung kata “Tu” dianggap sebagai media yang tepat untuk menaruh sesaji, contohnya, pintu atau batu. Makna "Tu" bagi penganut Kapitayan juga berkaitan erat dengan energi yang bersifat Ilahiah dalam diri manusia yang telah mencapai tingkatan spiritual Ra-Tu atau Dha-Tu.
Selaras dengan pendapat Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo yang menggambarkan Kapitayan sebagai praktik pemujaan terhadap Sanghyang Taya, yaitu ajaran kuno yang menitikberatkan pemahaman orang-orang di masa lampau tentang pengertian suwung, hampa, atau kosong.
Penganut Kapitayan kerap menghaturkan sesaji berupa tumpeng di tempat-tempat keramat sebagai wujud pengakuan terhadap daya adikodrati. Sedangkan penganut agama Sunda, melihat gunung sebagai Sang-Hu-Taruma-Para-Hyang atau tempat bersemayamnya para Hyang, sehingga dibuatlah tumpeng dengan meniru bentuk kerucut pada gunung.
Orang Jawa cenderung mencari kecocokan antara penamaan suatu benda dengan peristiwa atau filosofi tertentu, seperti menu urap pada tumpeng yang bermakna urip iku urup (memberi terang bagi sesama), telur sebagai simbol permulaan, atau lauk berjumlah tujuh (pitu) yang menggambarkan pitulungan atau pertolongan. “Tumpeng juga bermakna tumapaking panguripan-tumindak lempeng-tumuju pangeran. Artinya, tertatanya hidup, berjalan lurus kepada Tuhan”, jelas Wira.
Dr. Dwi Larasatie Nur Fibri STP., M.Sc pada gilirannya berbagi tentang khazanah 38 jenis tumpeng yang ia sarikan dari sejumlah literatur, antara lain Asrep-asrepan, Among-among, Duplak Robyong, Sambal Gepeng, Tutuk, Lugas, Pucuk Lombok Bang, Rajeg Mawa Dom Waja, Pucuk Mowo Endog, Sembur, Gurih, Urub ing Damar, Kendhit, Pungkur, Monco Warno, Ropoh, Sewu Megono, Punar, Kapuranto, Robyong Gundul, Alus, Blawong, Pustoko, Yuswa/Tumbuk Ageng, Megana, Robyong, Inthuk-inthuk, Sanggabuwana, Kencana, Gandul, Rasulan, Saka guru, Modifikasi, Sangu Tumpeng Sunda, Berunduk Bali, dan Serakat yang dianggap berada di luar definisi tumpeng.
Dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM itu juga memilah tumpeng ke dalam 3 kategori berdasarkan peruntukkannya dalam ritual, sebagaimana konsep Tri Hita Karana pada masyarakat Bali, atau Tritangtu pada masyarakat Sunda.
Tumpeng yang dihaturkan kepada Sang Pencipta antara lain Urub ing Damar, Kendhit, Pungkur, Monco Warno, Megana, Robyong, Inthuk-inthuk, Sanggabuwana, Kencana, Gundul, Rasulan, Saka guru. Persembahan bagi alam diwakili oleh tumpeng Asrep-asrepan, Among-among, Duplak, Robyong, Sambal Gepeng, Tutuk, Lugas, Pucuk Lombok Bang, Rajeg Mawa Dom Waja, Pucuk Mowo Endog, Sembur dan Gurih. Sedangkan tumpeng yang ditujukan bagi Manusia, terdiri dari Megono, Punar, Kapuranto, Robyong, Robyong Gundul, Alus, Blawong, Pustoko dan Yuswa.
“Namun, dari sekian banyak ragam tumpeng yang dikenal oleh masyarakat, ada pula sejumlah tumpeng yang masih belum teridentifikasi, di antaranya Tutuk, Lugas, Pucuk Lombok Bang, Rajeg Mawa Dom Waja, Pucuk Mowo Endog, Sembur dan Sanggabuwana”, ujar dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM yang menaruh perhatian pada persepsi konsumen milenial Indonesia terhadap khazanah kuliner Nusantara melalui riset-risetnya.
Cindy Kartika Sari, praktisi kuliner yang juga didapuk menjadi salah satu narasumber dalam Sarasehan Tumpeng yang diselenggarakan oleh Aksara Pangan, Universitas Gajah Mada, mencoba menyoroti tumpeng dari sisi spiritual. Ia membuat bentuk kerucut pada tumpeng menjadi lebih berasalan. Pasalnya, bentuk itu tidak lahir dengan sendirinya, melainkan bentuk geometri yang digunakan oleh penganut monoteisme purba—seperti penghayat agama Kapitayan dan agama Sunda—untuk menggambarkan keEsaan Tuhan.
Kesakralan tumpeng terukir dalam sebuah sebuah prasasti di dataran tinggi Dieng. “Buatlah analingga untuk dewa Brahma”. Kelak, analingga ditafsirkan sebagai tumpeng atau nasi berbentuk kerucut.
Dalam ilmu astronomi, sepertinya axis mundi menjadi istilah yang tepat untuk merangkum kekaguman saya pada kecerdasan orang-orang terdahulu tentang gagasan entitas maha tunggal. Sebab secara etimologis, axis mundi merupakan mitologi perbandingan posisi poros bumi di antara kutub-kutub langit. Sedangkan bentuk kerucut pada tumpeng, hadir sebagai refleksi poros bumi dalam penalaran manusia pada masa itu.
Cindy mengatakan bahwa ia sepakat bahwa tumpeng adalah nasi yang berbentuk kerucut. “Lain dari itu, mungkin lebih tepat jika disebut dengan daharan atau nasi kreasi”. Baginya, selain simbol rasa syukur manusia atas berkat dan karunia Tuhan, tumpeng juga dihadirkan untuk menyelaraskan eksistensi jagat cilik dan jagat ageng (mikrokosmos dan makrokosmos). Kendati tidak disajikan bersama lauk pauk, tumpeng sudah merupakan doa lantaran berasal dari padi yang melambangkan Dewi Sri.
Dwi menambahkan bahwa selain tumpeng yang sudah dikenal oleh masyarakat, ada pula yang disebut dengan gunungan dan daharan. Gunungan ialah makanan berbahan dasar nasi yang disuguhkan Raja kepada rakyatnya, sedangkan daharan merupakan nasi yang disajikan dalam berbagai upacara adat.
Dalam tradisi Jawa, daharan juga berperan sebagai ubo rampe atau pernak pernik sesaji. Seperti pada pelaksanaan ritual Caos Dahar dan Larung Sesaji, daharan diletakkan di atas nampan sesaji sebagai persembahan bagi leluhur, sekaligus menjadi ungkapan rasa syukur.
Jika kebudayaan adalah sesuatu yang organik, tidakkah hal ini mengingatkan kita bahwa tumpeng tidak hanya layak untuk dinikmati, tetapi juga dapat menjadi tema diskusi yang menarik?.
Keterangan sumber: foto diabadikan oleh Ganif Wijayana dalam Lomba Tumpeng "Dieng Culture Festival" 2018.