Di Ponorogo, prestasi SMAN 1 sebagai juara dua dalam Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) 2024 cabang tari kreasi kabupaten merupakan pencapaian membanggakan. Namun, prestasi ini banyak disoroti karena terjadi pelanggaran terhadap etika berkesenian yang seharusnya dijunjung tinggi. Musik tradisi yang digunakan dalam penampilan mereka ternyata berasal dari sumber lain tanpa izin penggunaan sah, menandakan kurangnya kesadaran akan hak cipta. Kejadian ini tidak hanya merugikan dari segi moral, tetapi juga menciptakan preseden buruk dalam dunia seni yang seharusnya menghargai etika, kejujuran, dan keadilan.

Ekosistem

Kasus yang melibatkan pelanggaran hak cipta dalam berkesenian seringkali tidak terekspos secara luas. Pada sekup yang labih luas, di Jawa Timur misalnya, meskipun ekosistem seni cukup berkembang, implementasi perlindungan hak cipta masih terbatas dan hanya sekadar wacana tanpa diikuti tindakan nyata. Permasalahan terkait musisi dan komposer juga menjadi sorotan. Musisi masih dianggap sebagai "buruh" yang hanya melayani permintaan tanpa mendapatkan pengakuan yang layak atas karyanya. Contohnya, ketika diminta untuk menciptakan musik tari untuk sanggar-sanggar tari, rekamannya kemudian digunakan “tanpa izin” atau tidak ada pembayaran royalti berkelanjutan kepada pencipta aslinya. Kondisi ini telah terjadi lebih dari satu dekade belakangan.

Hal ini menggambarkan perlunya perubahan sistemik dalam perlindungan hak cipta di dunia seni. Penggunaan karya seni haruslah diiringi dengan perizinan sah dan pengakuan adil terhadap penciptanya. Tanpa langkah-langkah konkret untuk mengatasi masalah ini, kesenian akan terus mengalami ketidakadilan, berpotensi merusak ekosistem kreativitas secara keseluruhan.

Harus ada upaya untuk meningkatkan kesadaran akan hak cipta di kalangan seniman, penata musik, dan semua pihak yang terlibat dalam produksi seni. Ini tentu bukan semata masalah moral, tetapi juga upaya menciptakan fondasi kuat bagi perkembangan seni beretika. Diperlukan langkah-langkah nyata untuk memastikan bahwa hak cipta dihormati dan dilindungi dengan baik dalam setiap aspek kegiatan seni yang dilakukan.

Dalam konteks seni berbasis tradisi, musisi atau pencipta musik berada dalam posisi rentan. Tradisi seni rakyat sering kali mengandalkan warisan musik lisan berusia ratusan tahun, tetapi pada saat yang sama, hak cipta atas karya-karya ini tidak terlindungi dengan baik. Ini berimbas saat musikus tradisi menciptakan komposisi-komposisi baru yang menarik, karena kurangnya perlindungan hukum memadai, mereka rentan mengalami eksploitasi atau penggunaan tidak sah dari karyanya. Di sisi lain, adopsi teknologi digital dan media sosial telah membawa tantangan baru bagi perlindungan hak cipta di kalangan seniman tradisional. Konten-konten musik dan pertunjukan tradisi diunggah tanpa izin di platform online, yang mengakibatkan penggunaan tidak sah dan hilangnya kendali atas karya-karya tersebut (kasus SMAN 1 Ponorogo adalah contohnya). Para musisi tradisi tidak memiliki pengetahuan atau akses untuk melindungi karyanya di era digital ini, sehingga rentan terhadap eksploitasi dan penggunaan yang, sekali lagi; tidak sah.

Diperlukan edukasi lebih baik kepada para seniman tradisi tentang hak-hak mereka dan cara melindungi karya mereka dalam berbagai konteks. Pemerintah juga perlu meningkatkan regulasi dan perlindungan hukum sesuai untuk memastikan bahwa musisi tradisional mendapatkan pengakuan adil atas kontribusi mereka. Kesadaran akan hak cipta tidak hanya penting untuk melindungi keberlanjutan praktik seni tradisi, tetapi juga untuk menjaga integritas. Dengan demikian, perlindungan hak cipta bukan hanya masalah praktis, tetapi juga esensial bagi perkembangan kreativitas di ranah seni tradisi.

Beradu

Fenomena ini lepas dari kenyataan bahwa seni dijadikan ajang kompetisi di tingkat lokal-nasional dengan skala masif. Dalam konteks ini, dorongan untuk menjadi juara sering kali mengesampingkan nilai-nilai etika dan integritas yang seharusnya dijunjung tinggi dalam berkesenian. Seni yang seharusnya menjadi ruang ekspresi dan kreativitas justru berubah menjadi ajang persaingan ketat, dimana segala cara dianggap sah demi meraih kemenangan. Akibat dari fenomena ini adalah munculnya budaya pragmatis dan oportunis di kalangan pelaku seni, khususnya di kalangan pelatih-guru seni, dan pelajar yang menjadi peserta dalam lomba-lomba seni. Mereka diajarkan bahwa hasil akhir lebih penting daripada proses dan bahwa kemenangan bisa dicapai dengan cara apa pun, termasuk dengan mengabaikan hak cipta dan etika. Hal tersebut tentu merusak nilai-nilai fundamental dalam seni dan pendidikan seni itu sendiri.

Tekanan untuk memenangkan lomba justru datang dari luar, seperti dari sekolah atau institusi pendidikan yang ingin memperoleh reputasi baik melalui prestasi siswanya. Tekanan ini dapat mendorong peserta lomba untuk mencari jalan pintas, termasuk dengan melakukan pelanggaran terhadap hak cipta. Akibatnya, seni yang seharusnya afirmatif pada kejujuran dan keterbukaan justru menjadi medan persaingan penuh ketegangan, dimana peserta memandang yang lainnya sebagai lawan yang harus dikalahkan.

Ada urgensi untuk mengingatkan kembali bahwa seni bukan sekadar tentang pencapaian atau trofi, melainkan proses kreatif dan penghargaan terhadap karya orang lain. Pendidikan seni harus menekankan nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, dan penghargaan terhadap hak cipta. Termasuk memberikan pemahaman mendalam kepada siswa tentang pentingnya menghargai karya orang lain dan konsekuensi dari pelanggaran hak cipta.

Langkah konkret yang dapat diambil adalah mengintegrasikan pendidikan tentang hak cipta dalam kurikulum sekolah, serta memberikan pelatihan khusus kepada guru dan pembina seni tentang pentingnya etika dalam berkesenian. Selain itu, lomba-lomba seni harus lebih ketat dalam mengawasi dan menegakkan aturan terkait hak cipta, serta memberikan sanksi tegas bagi pelanggar. Dengan demikian, lomba seni tidak hanya menjadi ajang kompetisi, tetapi juga pembelajaran tentang integritas. Kesadaran akan hak cipta dan etika seni juga harus diperluas di kalangan masyarakat, termasuk komunitas seni (dan sanggar-sanggar tari yang banyak mengeksploitasi musisi). Masyarakat perlu memahami bahwa menghargai karya orang lain adalah bagian dari membangun ekosistem seni sehat. Tentu perubahan ini membutuhkan komitmen bersama dari semua pihak yang terlibat, termasuk pemerintah, institusi pendidikan, komunitas seni, dan masyarakat. Hanya dengan demikian kita dapat memastikan bahwa seni tetap menjadi ruang yang afirmatif, terbuka, dan penuh integritas, dimana setiap karya dihargai dan setiap pencipta mendapatkan pengakuan layak.

Dok/foto: freepik.com

Penyunting: Nadya Gadzali