Ke mana perginya kawanan kerbau? Di hamparan sawah seluas ini saya tak melihatnya barang seekor. Padahal, di masa lalu, hewan memamah biak itu tak terpisahkan dari masyarakat tani. Bahkan, ia disebut-sebut sebagai a living tractor of the East.

Di sebuah desa di Blitar, saya menyusuri pematang sawah. Di sana saya berharap bisa menjumpai kerbau dan petani yang sedang membajak lahan. Sesekali saya bertanya pada orang-orang yang saya temui, kalau-kalau ada kerbau di sekitar sini.

“Sekarang sudah jarang ada kerbau. Nggak seperti dulu,” kata seorang petani. Ia menambahkan bahwa tidak ada generasi penerus yang mau memelihara hewan itu.

Saya meneruskan langkah. Lagipula, hari masih cukup pagi. Kabut belum hilang sepenuhnya. Matahari masih malu-malu di Timur sana. Para petani berseliweran. Mereka bingung ketika ditanya di mana saya bisa melihat kerbau. “Di ujung jalan sana ada kebo, Mas,” seru seseorang sambil menunjuk ke arah tertentu. Usai mengangguk takzim, saya menuju ke tempat itu.

Awalnya saya tak melihat apa-apa selain genangan air dan semak-semak. Namun, sesuatu bergerak di antara bayang-bayang dedaunan. Seekor kerbau tengah bersantai di kubangan lumpur dengan tali terikat pada lehernya. Tubuh besar hewan itu terlindung naungan pohon. Apakah ia beristirahat usai membajak sawah atau tidak? entahlah.

Di mana kerbau-kerbau lainnya? Apakah manusia juga melarang hewan-hewan itu berkumpul? Atau, kerbau sudah tak sepopuler dulu lagi sehingga populasinya menyusut? Saya pun merasa iba pada binatang besar di hadapan saya. Bagaimanapun, kerbau pernah menjadi sahabat manusia, khususnya para petani.

Entah kapan pastinya domestikasi kerbau dimulai. Namun, diduga proses itu terjadi 3000 hingga 7000 tahun silam. Diyakini, hewan itu berasal dari subbenua India dan Asia Tenggara. Komunitas agraris awal pasti bersusah payah menjinakkan kerbau-kerbau liar.

Memaksanya mau bekerja sama dengan iming-iming pakan dan perlindungan. Sebuah upaya menjinakkan yang pada akhirnya melahirkan kerbau domestik (Bubalus bubalis). Binatang besar itu pun menjadi motor pertanian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia selama berabad-abad.

Kerbau turut mengiringi Revolusi Agraria Homo sapiens. Hewan itu digunakan sebagai pekerja di sawah-sawah Asia Tenggara. Para petani pernah menggantungkan nasib sawah-sawah mereka pada pundak kerbau. Ia menjadi ikon pertanian.

Saat tubuh besar kerbau menyeret bajak, langkah kaki hewan itu menggerus tanah. Kotoran yang ia buang menghidupi tanah dengan unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Sebagai imbalan, manusia merawat mereka sepenuh hati, menjaga hewan-hewan itu tetap sehat.

Selain sebagai mesin hidup, daging dan susu kerbau juga bisa dikonsumsi sehingga laku dijual. Kerbau merupakan sahabat petani. Ia menjawab kebutuhan pangan orang-orang di masa lalu. Manusia menghormati kerbau sebagai rekan sekaligus simbol.

Masyarakat Indonesia telah akrab dengan kerbau sejak lama. Ternak kerbau disebut-sebut sebagai de parel van Oost Indië, sang mutiara dari Hindia Timur, pada abad ke-19.

Bahkan, kepala kerbau menjadi lambang Perhimpunan Indonesia (PI), sebuah gerakan pemuda prakemerdekaan. Binatang itu dipilih sebagai simbol lantaran karakternya yang tenang tetapi ganas jika diganggu, sebagaimana rakyat.

Selain itu, kerbau juga identik dengan kaun tani. Sayang, Soekarno mengganti kepala kerbau dengan banteng saat mengadopsi lambang itu untuk partainya.

Ketergantungan terhadap kerbau pada masyarakat tradisional, menciptakan hubungan yang begitu dekat. Keduanya bersimbiosis. Para petani menghormati kerbau lantaran perannya begitu penting bagi kehidupan mereka. Hewan itu diasosiasikan dengan kesuburan. Jika Carl Gustav Jung menulis sapi sebagai salah satu arketipe ibu, saya rasa kerbau juga demikian. Ia menghasilkan daging dan susu, membajak tanah, menyuburkan sawah-sawah.

Begitu akrab kerbau dengan manusia membuat binatang itu menyatu dalam kebudayaan masyarakat. Meskipun berawal dari sawah dan kebun, romantisme di antara keduanya ikut berkembang. Ia nyaris ada dalam setiap aspek kehidupan masyarakat tradisional. Hewan itu ada dalam cerita rakyat, mitologi, elemen ritual, shio dalam astrologi China, hewan kurban, bahkan mas kawin.

Berbagai tradisi lahir dari persahabatan manusia dengan kerbau. Suku Samawa di Sumbawa misalnya. Mereka menggelar barapan kerbau. Adu balap kerbau itu dilaksanakan pada awal musim tanam padi. Permainan serupa juga dilakukan orang-orang Bali dalam tradisi Makepung yang menandai pesta panen.

Tradisi tanam kepala kerbau masih dilakukan di Jawa guna menolak bala dan pagebluk. Tak hanya dikubur di perut bumi, kepala kerbau juga dilarung ke lautan sebagai sesaji pada pesta Lomban di Jepara. Suku Minangkabau di Sumatra Barat menyematkan kerbau—kabauberarti “kerbau”—pada identitas mereka. Bahkan, atap rumah tradisional mereka meniru bentuk tanduk kerbau.

Selain simbol kesuburan, kerbau juga dianggap sebagai tanda kemakmuran dan perlambang hewan dunia bawah. Beberapa kelompok etnis di Indonesia menggunakan kerbau sebagai mas kawin. Masyarakat Toraja memotong kerbau dalam upacara kematian rambu solo’ yang ikonik. Bagi mereka, kerbau adalah hewan sakral. Binatang itu diyakini dapat mengiringi jiwa mendiang di kehidupan selanjutnya. Konon, semakin banyak kerbau yang dikurbankan, semakin cepat mendiang mencapai alam roh.

Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman, hubungan manusia dan kerbau menjadi tak sedekat dulu. Kemesraan di antara keduanya terabadikan dalam sebuah logo penerbit buku besar di Indonesia. Sebuah gambar anak gembala menunggang kerbau. Simbol itu masih bisa dilihat di buku-buku terbitan mereka.

Apakah pemandangan demikian masih mungkin kita saksikan di dunia nyata? Sepertinya tidak. Padahal, gambaran romantis itu pernah muncul tak hanya di Indonesia, tapi juga di Thailand dan China. Tak ada lagi bocah gembala. Bahkan, mungkin di masa depan, kerbau juga akan menghilang.

Kini, petani membutuhkan sesuatu yang lebih cepat dan efisien dalam bercocok tanam. Kebutuhan pangan yang meningkat dan tak tentunya iklim yang menuntut petani untuk mempercepat ritme produksi. Traktor akhirnya menjadi pilihan mereka. Lebih mudah bekerja dengan mesin yang tak punya kesadaran alih-alih kerbau yang lamban dan terkadang enggan bekerja. Deru mesin pun menggantikan lenguhan kerbau. Di zaman yang serba cepat ini, kerbau tak lagi mendukng kerja petani.

Layaknya kecerdasan buatan yang mengambil alih pekerjaan manusia, alat-alat pertanian modern telah merenggut pekerjaan kerbau di sawah. Traktor menggantikan tenaga kerbau. Pupuk kimia dianggap lebih praktis dalam menyuburkan tanah daripada kotoran kerbau yang lembek dan berbau tak sedap.

Jangankan petani modern, petani tradisional pun sudah jarang bekerja dengan kerbau. Hewan-hewan itu menganggur. Bahkan, di banyak tempat posisinya tergeser oleh sapi yang dianggap lebih bernilai. Daging sapi lebih laku di pasaran membuat orang kian enggan memelihara kerbau.

“Kalau sapi afkir, masih bisa digemukkan dan dijual. Kalau kerbau nggak bisa,” kata seorang petani. Menurutnya, daging kerbau memiliki serat lebih kasar ketimbang daging sapi, sehingga tak banyak diminati. Ia menambahkan, kerbau tak tahan panas sehingga tak dapat dipekerjakan setiap waktu.

Nasib kerbau rawa di Sumatra dan Kalimantan juga tak kalah pilu. Kerbau-kerbau yang biasa digembalakan di lahan-lahan gambut dan berendam nyaris seharian itu juga kian kesulitan mendapatkan tempat merumput. Kebakaran hutan dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit menggerogoti teritori penggembalaan mereka.

Baik kemajuan teknologi pertanian maupun krisis lahan, keduanya menjadi ancaman bagi eksistensi kerbau di muka bumi. Dilansir dari sebuah situs berita nasional, populasi kerbau di Indonesia diprediksi mendekati kepunahan pada 2031. Tampaknya, marginalisasi kerbau dari panggung agraria tak hanya menurunkan populasi, tapi juga reputasinya.

Sudah lama kerbau diasosiasikan dengan hal-hal buruk. Ia dianggap binatang bodoh dan malas. Kata kebo dalam bahasa Jawa sarat sindiran. Ada juga yang menyebut kebo sebagai singkatan dari kebanyakan bobok. Tuturut munding—secara harfiah berarti “ikut-ikutan kerbau”—dalam idiom Sunda juga berkonotasi negatif. Bahkan, manusia menyalahkan kerbau saat tertangkap sedang kumpul kebo. Soekarno mengganti lambang kerbau dengan banteng lantaran banteng dianggap lebih kuat dan beringas dibandingkan kerbau yang lembek dan penurut.

Dulu dipuja, kini sang mahisa dicerca. Perubahan cara pandang masyarakat terhadap kerbau itu, saya rasa tak lepas dari alienasi bahwa hewan itu berasal dari ekosistem agrikultur. Padahal, irama kerja kerbau tak berubah sejak dulu hingga kini. Kerbau-kerbau generasi lama tidak lebih rajin daripada kerbau kelahiran tahun lalu. Perubahan era tak membuat kerbau makin culas. Ia bukan buruh yang banyak maunya. Kerbau tak pernah melambat. Kitalah yang bergerak terlalu cepat.

Menurunnya peran serta eksistensi kerbau tidak bisa dianggap enteng. Jika dibiarkan, perlahan spesies itu akan terseret ke dalam jurang kepunahan. Kalaupun tersisa, pasti keanekaragaman genetiknya rendah. Indonesia akan kehilangan sumber daya hayati yang tak ternilai. Bukan tidak mungkin kelak tak ada lagi kerbau di sawah.

Telah dapat gading bertuah, terbuang tanduk kerbau mati. Adagium itu terdengar pas sekali dengan hubungan manusia dan kerbau kiwari. Zaman bergerak cepat. Manusia perlu memelankan langkah, membantu kerbau mengimbangi laju kemajuan. Jika tidak, kerbau akan tenggelam dalam lumpur kepunahan.

Penyunting: Nadya Gadzali