Trance kerap hadir sebagai bagian dari pertunjukan rakyat di Indonesia. Sebut saja Reog, Jathilan, Sintren, Laesan, Jaranan, dan lain sebagainya senantiasa menghadirkan trance di tengah sajian pertunjukan. Musik tersaji di awal mengiringi penari dengan pola repetitif, pun dengan tempo yang cenderung semakin cepat.
Pada beberapa kasus, penari-penari dari setiap pertunjukan tampak hilang kesadaran. Keluar dari perilaku normal dengan menunjukkan berbagai atraksi di luar nalar. Makan genteng, kaca, jarum, menusuk diri dengan senjata tajam, dan lain sebagainya.
Trance disebut sebagai kesurupan atau kerawuhan yang umum dibicarakan masyarakat di Jawa. Orang yang melihatnya terheran-heran dengan apa yang disaksikan, sebab fenomena itu mustahil bagi manusia dalam kondisi normal.
Kehadiran makhluk tak kasat mata seringkali dikaitkan dengan kondisi trance pada pertunjukan rakyat yang disajikan. Kekuatan gaib mempengaruhi penari atau orang lain yang hadir di tengah pertunjukan, untuk kemudian mengendalikannya. Terlebih bentuk pertunjukan semacam itu seringkali menghadirkan sosok ‘pawang’, seorang yang dipercaya memiliki kekuatan atau kesaktian untuk mengendalikan penari yang mengalami trance itu.
Pada tahun 2016 lalu, saya berkenalan dengan pertunjukan yang saya pikir serupa dengan bentuk-bentuk kesenian dengan trance saat mengunjungi wilayah Telagawaru, Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Mengunjungi salah satu kelompok yang menamai dirinya sebagai Lembaga Seni Menduli Selayar yang memang aktif menjaga kelestarian musik kebangru’an.
Mendengar penuturan masyarakat tentang tradisi kebangru’an yang berasal dari istilah bangru’ (kesurupan, kerasukan atau trance) itu, sebagian besar masyarakat percaya bahwa kondisi itu disebabkan oleh adanya kehadiran roh leluhur.
Namun, harapan menyaksikan langsung sajian kebangru’an untuk menghilangkan rasa penasaran itu urung, sebab kebangru’an berbeda dengan seni-seni yang menghadirkan trance lainnya. Hadirnya kebangru’an tidak dapat direncanakan seperti halnya jathilan atau jaranan. Hal itu dianggap terjadi secara alami dan tidak dapat diprediksi, kecuali melalui pesan gaib yang dipercayai. Meski demikian, hal itupun tidak pernah menunjukkan waktu yang pasti, melainkan hanya sekedar perkiraan kapan akan terjadi.
Meski sempat menyaksikan beberapa dokumentasi atau mendengar banyak cerita dari berbagai kalangan, bahkan menyaksikan sebuah pertunjukan replika kebangru’an di Taman Budaya NTB, namun rasa penasaran itu tetap ada. Sampai pada akhirnya di akhir bulan Februari 2023 lalu, saya berkesempatan untuk menyaksikan secara langsung.
Mendengar kabar dari salah seorang pelaku seni dari Lombok Timur, bahwa kebangru’anakan dilaksanakan. Tradisi itu akan dilaksanakan selama tiga hari, dan saya hadir di hari terakhir pada puncak prosesi.
Kebangru’an dalam kehidupan masyarakat di Lombok Timur tidak hanya terjadi dalam hitungan jam, melainkan dapat berlangsung selama berhari-hari atau bahkan dalam beberapa minggu. Siapa yang sanggup membayangkan kemudian, jika seseorang harus mengalami trance sampai sebulan lamanya? Realitas itu benar diceritakan oleh masyarakat di Lombok Timur.
Bangru’ dalam pandangan masyarakat Lombok Timur
Bangru’ bukan lagi hal tabu bagi masyarakat Lombok Timur yang hidup berdampingan dengan tradisi ini secara turun temurun. Hal itu dapat terjadi pada siapapun, dari berbagai kalangan usia. Banyak anggapan muncul terhadap realitas ini, ada yang menilai bangru’ semacam penyakit, ada yang menilai sebagai bentuk kehadiran leluhur yang hendak berkomunikasi dengan keturunannya, ada juga yang beranggapan bahwa hal itu sebagai bentuk turunnya sebuah perkara penting pada orang yang terpilih.
Pro dan kontra sampai hari ini masih terjadi dalam merespon kebangru’an. Tumbuh kembang kehidupan umat beragama di Lombok Timur, turut menstimulasi munculnya dinamika terhadap kehidupan tradisi kebangru’an. Perdebatan soal boleh atau tidaknya tradisi itu, umum terjadi ketika keduanya saling berhadapan.
Tetapi kembali lagi, bahwa kebudayaan tidak serta-merta sengaja diwujudkan. Ia hadir sebagai sebuah upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dan ketika kebudayaan itu masih hidup, sebenarnya menjadi sebuah penanda bahwa ia masih dibutuhkan oleh masyarakat pemiliknya.
Perspektif lain menjelaskan bahwa realitas kebangru’an terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan, melainkan ritus yang terjadi secara tiba-tiba dan berpotensi dialami oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali di wilayah Lombok Timur. Sekalipun dilarang, tradisi ini akan tetap hidup karena telah menjadi bagian dari masyarakat, tidak kemudian mengingkari kemungkinan perubahannya di masa mendatang, tetapi realitas bahwa sebuah bangunan budaya tidak dapat dilepaskan dari konteksnya dan perlu disadari keberadaannya.
Ketika dianggap atau dinilai sebagai sebuah ‘penyakit’, bangru’ tentu saja menghadirkan sebuah upaya penyembuhan. Sebagai sebuah ‘penyakit’, bangru’ menjadi unsur yang membentuk kekhawatiran terkait keberadaan jasad dan jiwa dari orang yang bangru’.
Hukum kausalitas inilah yang kemudian menghadirkan tradisi kebangru’an terjaga dalam ruang lestari hingga saat ini. Jika penyakit itu masih menjangkiti, tentu keberadaan penawar atau obat menjadi sangat krusial. Pada kasus ini, penyelenggaraan tradisi kebangru’an hadir sebagai obat bagi seseorang yang tengah bangru’.
Pada ruang lain, masyarakat beranggapan bahwa tradisi ini merupakan salah satu ritus untuk menjaga hubungan keturunan dengan leluhurnya. Melalui media kebangru’an itulah, komunikasi antara keluarga dengan leluhur yang sudah tidak ada diyakini tetap dapat terhubung. Bangunan komunikasi yang terjadi biasanya lebih menjadi sebuah bentuk ‘proses’ penyampaian pesan leluhur kepada keturunannya, seperti menyampaikan pesan-pesan yang dianggap penting atau wasiat yang belum pernah disampaikan sebelumnya.
Bangru’ dan musik kebangru’an
Seseorang mengalami bangru’ dengan tanpa direncanakan, terjadi secara tiba-tiba tanpa mengenal waktu. Artinya, bisa saja orang mengalami bangru’ pada pagi hari, siang, atau mungkin malam hari. Ia akan berperilaku diluar kebiasaan karena telah dirasuki dan dibawah kendali sosok gaib. Hal pertama yang disampaikan adalah, anggota keluarga diminta untuk mempersiapkan segala kebutuhannya selama bangru’.
Sesaji, pakaian, perhiasan, secara detil disampaikan, termasuk berapa lama prosesi itu akan berlangsung. Apakah ia akan mengalami bangru’ selama sehari, sepekan, atau bahkan satu bulan? Satu hal yang pasti diminta oleh orang bangru’ adalah musik, yang kemudian dikenal sebagai musik kebangru’an.
Musik kebangru’an merupakan seperangkat ensambel yang terdiri dari instrumen ritmis dan melodis. Secara komposisi lebih banyak melibatkan instrumen melodis ketimbang ritmis. Beberapa instrumen yang digunakan meliputi jidur, kendhang, gong, dan rincik sebagai instrumen ritmis, dan instrumen melodis yang dimainkan dengan viol (biola), suling, penting (gambus), pereret (terompet menyerupai serunai), dan menduli.
Konon musik ini telah mengalami kepunahan dan berhasil bangkit kembali oleh adanya kebangru’an dengan adanya seseorang yang mengalami bangru’ meminta musik iringan khusus untuk menari. Musik itu kemudian direkonstruksi melalui petunjuk orang bangru’ tersebut (Kikomunal-Indonesia, Seni Tradisi Kebangruan, 2017).
Sesuai dengan karakteristik seni rakyat, meski ensambel kebangru’an lebih didominasi instrumen melodis, permainannya cenderung sederhana, unisoundmenunjukkan kekhasan masyarakat melalui alunan nada yang dimunculkan dan terdapat kandungan nilai magis di dalamnya (Jazuli, 1994).
Dibawakan secara repetitif, setiap instrumen dimainkan dalam pola nada yang monoton dan terus berulang. Unsur magis dalam musik bangru' merupakan abstraksi dari perjalanan kesenian itu sendiri. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya, musik bangru’ selalu dimainkan dalam komposisi dan konfigurasi yang sama. Dengan hadirnya sajian musik itu, masyarakat meyakini bahwa orang yang mengalami bangru’ akan dapat kembali normal.
Musik disajikan mengikuti permintaan orang yang tengah bangru’. Pada Rabu (22/02/2023) lalu di daerah Tembeng Putik, Wanasaba, Lombok Timur, Sarah (65) mengalami bangru’ selama tiga hari. Saat pihak keluarga mengetahui salah seorang anggota keluarga mengalami bangru’, sosok gaib yang diyakini telah menguasai raga Sarah itu menyampaikan pada pihak keluarga akan menetap pada tubuh itu selama tiga hari tiga malam.
Ia meminta banyak hal, salah satunya untuk menghadirkan musik kebangru’an mengiringi kehadirannya sampai kepulangannya nanti. Pihak keluarga pun mengundang pemain musik untuk memberikan apa yang diminta oleh sosok gaib yang diyakini roh leluhur itu. Selama 3 hari, pemain musik bertahan di rumah orang yang tengah bangru’. Memainkan setiap instrumen selama sosok roh leluhur itu meminta untuk mengiringnya “main” (menari).
Sejumlah anggota kelurga datanguntuk bergotong-royong, mempersiapkan sesaji serta jamuan untuk orang bangru’ dan untuk yang hadir pada kesempatan itu, dengan harapan berkumpulnya anggota keluarga dapat mengembalikan Sarah pada kondisi sediakala.
Tidak pulang sebelum terpuaskan
Di hari terakhir pada hari Jum’at (24/02/2023) lalu, musik dimainkan di sore hari sesuai permintaan Sarah. Ia menari mengikuti ritme, dari irama lambat hingga menjadi cepat. Sarah mengenakan gaun lengkap dengan segala perhiasan dan tak lupa mengenakan kacamata hitamnya. Sekitar sejam ia menari, gerak-geriknya terkesan tak wajar. Seolah tak kenal letih, di usianya yang tak lagi muda menjelaskan bagaimana ketidaknormalan merasukinya. Terlebih, ia menari sepanjang waktu dengan begitu energik.
Semua berjalan sesuai rencana, sebelum angin kencang datang dan hujan turun dengan lebatnya. Atap sementara yang dibuat sebelumnya, roboh diterpa hujan. Sarah berhenti menari, dan semua pemusik ikut berhenti. Ia masuk ke dalam rumah dengan segala kekesalannya.
Sosok leluhur yang merasuki Sarah menyampaikan kepada pihak keluarga, bahwa ia belum puas menari dan masih menghendaki kehadirannya ditambah satu hari lagi sebelum kembali ke alamnya. Keinginan itu tidak dapat ditolak oleh keluarga, termasuk para pemusik.
Bangru’ yang seyogyanya hanya berlangsung selama 3 hari, tertangguhkan karena leluhur yang hadir belum merasa puas. Pada situasi itu, musik hadir sebagai bagian krusial dalam prosesi kebangru’an. Musik menjadi sebuah media untuk memuaskan sosok roh leluhur yang hadir dengan tetap mengiringnya menari sampai letih (mungkin), sehingga hadir perasaan puas usai bermain. Tanpa adanya perasaan puas, ia enggan pulang meninggalkan jasad Sarah.
Seolah memang begitu asyik Sarah menikmati sajian musik utuh untuk dirinya sendiri. Sepanjang prosesi berlangsung, Sarahlah yang menentukan tarian. Para pemusik mengikuti keinginannya. Instrumen yang dimainkan dalam setiap sajian lagu, Sarahlah yang memilih.
Sarah menari dengan begitu lihai, meski menurut keluarganya ia tak pernah sekalipun belajar menari atau gemar menari dalam keseharian. Ia juga berdendang, menyanyikan lagu-lagu pada sajian musik kebangru’an. Keesokan harinya, Sarah dan pemusik melanjutkan prosesi. Bermain lebih dari 2 jam, ia menari hingga terjatuh tak sadarkan diri.
Kondisi tidak sadar menjadi penanda bahwa Sarah telah kembali, sedangkan roh leluhur pulang ke tempat semestinya ia berada. Bangru’ berakhir sebagaimana harapan seluruh keluarga, dari tiga hari yang ditentukan bertambah sehari untuk memuaskan sosok itu.
Seluruh energi terkuras, perasaan letihpun mendera. Begitulah tradisi bangru’ dijalani oleh masyarakat Lombok Timur sejak dahulu. Sarah adalah satu dari masyarakat yang berkesempatan menjalani bangru’, peristiwa budaya masyarakat Lombok Timur.
Penyunting: Nadya Gadzali