Masyarakat Etnis Samawa memiliki ragam musik yang menjadi ciri khas dari identitas keetnisannya. Ciri khas itu sudah ada sejak orang-orang tua terdahulu yang mahir memainkan musik tradisi, kemudian diwariskan melalui pengetahuan musikal secara teknik, sejarah, dan filosofi melalui aural kepada generasi penerus.
Mereka pun menyebutnya ansambel musik gong genang yang terdiri dari gong, sepasang genang atau gendang, serta tambahan serune. Gong genang biasanya digunakan dalam perhelatan upacara adat Etnis Samawa, seperti nyorong (pihak calon pengantin pria mengantarkan mahar, mas kawin, dan seserahan kepada pihak penganti wanita), barodak (lulur), dan setiap permainan tradisional rakyat Etnis Samawa seperti barapan kerbau.
Dalam perkembangannya, gong genang digunakan dalam setiap perayaan atau acara pemerintahan, seperti Hari Jadi Kabupaten Sumbawa dan perayaan hari besar lainnya.
Perubahan dan perkembangan saat ini dipengaruhi oleh kesadaran bahwa setiap individu dan kolektif tetap merawat identitas etnisnya, melestarikan gong genang agar tetap terus bertahan dan lestari melalui proses regenerasi. Hal ini dapat ditelusuri dari suburnya komunitas seni ataupun sanggar seni yang ada di desa-desa di Kabupaten Sumbawa dalam pelaksanaan berbagai perhelatan budaya Etnis Samawa.
Alat musik gong genang
Menurut sejarah, alat musik gong genang merupakan hasil dari pertemuan kebudayaan Hindu, Makassar, dan Sumbawa. Ditambah lagi penguasaan Kerajaan Goa terhadap Kerajaan Sumbawa pada abad 17 yang memberi pengaruh kehidupan pada masyarakat, sehingga menghasilkan alat musik tradisional Etnis Samawa (Hery Musbiawan).
Perpaduan dari beragam jenis alat musik mempengaruhi pengetahuan lokal masyarakat Etnis Samawa dalam hal proses mencipta komposisi musik masyarakat setempat. Maka terwujudlah repertoar-repertoar khas Etnis Samawa yang mengiringi upacara adat Etnis Samawa yang masih dilaksanakan hingga saat ini.
Gong genang merupakan dua jenis alat musik yang menjadi satu kesatuan dan saling mendukung dalam pertunjukan musiknya. Alat musik gong termasuk dalam klasifikasi idiophone yang sumber bunyinya berasal dari tubuh alat musik itu sendiri.
Gong dalam ansambel gong genang terbuat dari perunggu atau logam dengan ukuran diameter 60 meter, biasanya memiliki stand berkaki dua untuk tempat menggantungnya. Pemain gong biasanya terdiri dari satu orang, biasanya duduk bersila dan memukulnya menggunakan alat pemukul terbuat dari kayu yang diujungnya digulung dengan kain atau karet.
Genang atau gendang merupakan bagian dari golongan klasifikasi membranofon yang memperoleh sumber bunyi dari getaran selaput atau kulit yang dipukul. Teknik permainan genang terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1. Dipukul menggunakan pemukul, baik untuk pukulan lirih ataupun keras, 2. Ditepak menggunakan tangan pada bagian tengah kulit, baik berbunyi lirih maupun keras, 3. Dipukul menggunakan jari pada bagian sisi genang untuk pukulan lirih ataupun keras.
Cara memainkan gong genang dapat dilakukan dalam posisi duduk, berdiri, atau berjalan, bergantung kehendak dari konsep pertunjukan musik yang diselenggarakan oleh penyelenggara hajat dengan teknik permainan duduk bersila ataupun berdiri dengan memerhatikan kebutuhan konsep event yang digelar oleh penyelenggara hajatan.
Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan alat musik genang ialah: 1. Kulit kambing, 2. Pohon nangka, pohon pinang, dan pohon lontar, 3. Rengkan atau pengikat kulit berbentuk bulat terbuat dari rotan, 4. Sengidung atau tali rotan yang berfungsi menguatkan dan menghubungkan antara rengkan bao (atas) dan rengkan bawa (bawah), 5. Paneran atau cincin besi yang berfungsi mengencangkan sengidung, 6. Pemukel atau pemukul terbuat dari kayu. Sementara peralatan yang dibutuhkan dalam proses pembuatan seperti gergaji atau mesin pemotong, parang, pisau, pahat, dan palu (Hery Musbiawan).
Berikut ini ialah beberapa tahapan proses pembuatan alat musik genang menurut Hery Musbiawan. Pada bagian pertama, sematang atau batang pohon nangka, dapat juga batang pohon pinang, atau pohon lontar yang dipotong menggunakan gergaji atau mesin pemotong sesuai ukuran yang dibutuhkan, setelah itu bagian tengah kayu dilubangi menggunakan pahat atau mesin pelubang. Bagian luar kayu diratakan menggunakan amplas sampai halus sekaligus memperindah luar genang dengan dibuatnya seni kelingking yang diukir menggunakan pahat.
Pada bagian kedua, rengkan atau rotan berbentuk bulat, berfungsi untuk menguatkan kulit genang, pada bagian ketiga pemasangan kulit kambing yang masih basah lalu dipasang di bibir genang, kemudian ditunggu beberapa jam hingga kering dan dikencangkan menggunakan rotan.
Bagian keempat, melubangi kulit menggunakan obeng dan paku. Tujuannya, untuk memasukkan tali rotan dan cincin sebagai pengencang kulit kambing.
Pada bagian kelima, pembuatan pemukel atau pemukul genang terbuat dari kayu. Tinggi genang biasanya 53 cm, diameter atas 35 cm, diameter bawah 32 cm, dan ketebalan kayu 0,5 sampai 1 cm.
Gong genang adalah bagian dari alat musik ritmis, terdiri dari dua jenis yang saling menjalin dan menjadi satu kesatuan selama temung dimainkan oleh pemusik.
Teknik permainan itu biasa disebut interlocking atau teknik memainkan ritme bersahut-sahutan antara dua instrumen gendang pengina’, pembawa pola ritme dasar dan penganak gendang yang mengisi di sela-sela pola ritme dasar sehingga menghasilkan struktur komposisi musikal khas yang biasa disebut dengan istilah temung atau repertoar.
Ada beberapa temung tradisi gong genang yang populer di kalangan masyarakat seniman dan budayawan Etnis Samawa, yaitu temung serama, pakan jaran, puju, talolo, dan kareo.
Agar menjadi menarik maka serune sebagai alat tiup melodis berjenis aerophone yang sumber bunyinya berasal dari udara turut dimainkan untuk memberi kesan khas musikal Etnis Samawa.
Biasanya, temung pakan jarang dimainkan untuk mengiringi silat tradisional bela diri Etnis Samawa. Ansambel gong genang dapat berdiri sendiri serta dapat berkolaborasi dengan alat musik tiup serune yang merupakan alat musik aerophone yang sumber bunyinya berasal dari udara.
Fungsi gong genang
Etnomusikologi merupakan disiplin ilmu yang mengkaji musik dalam konteks sosio-budaya. Ilmu ini resmi ditemukan pada tahun 1880 walaupun aktivitasnya telah lama ada sebelumnya, Merriam membedakan pengertian fungsi dalam dua istilah, yaitu guna dan fungsi.
Jika kita berbicara tentang guna musik, maka kita merujuk kepada kebiasaan (the ways) musik yang dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagian bagian dari pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri, maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain (Merriam,1964: 210).
Merriam mendeskripsikan penelitian etnomusikologi memiliki sepuluh fungsi musik. 1. Sebagai pengungkap emosional, 2. Sebagai penghayatan estetika, 3. Sebagai hiburan, 4. Sebagai komunikasi, 5. Sebagai perlambangan, 6. Sebagai reaksi jasmani, 7. Sebagai yang berkaitan dengan norma-norma sosial, 8. Sebagai pengabsahan lembaga sosial dan upacara agama, 9. Sebagai kesinambungan kebudayaan, 10. Sebagai pengintegrasi masyarakat (Merriam, 1964: 209-227).
Pertama gong genang sebagai pengungkapan emosional bagi sesama masyarakat Etnis Samawa. Peristiwa ini dibuktikan melalui setiap kegiatan adat isitiadat, gong genang wajib dihadirkan sebagai pembuka acara tradisi Etnis Samawa.
Kedua, gong genang sebagai penghayatan nilai-nilai estetis yang menimbulkan rasa memiliki dan dorongan untuk merawatnya. Hal ini dibuktikan dengan kesadaran masyarakat Etnis Samawa terutama pemuda-pemudi turut melestarikan alat musik gong genang dengan cara berpartisipasi dalam mempelajari dan memainkannya.
Ketiga, gong genang berfungsi sebagai sarana hiburan bagi masyarakat Etnis Samawa. Hal ini disebabkan oleh rutinitas pekerjaan sebagai petani dan nelayan yang membuat mereka jemu. Maka, ketika menonton pertunjukan musik gong genang akan timbul perasaan gembira.
Empat, gong genang sebagai komunikasi musikal Etnis Samawa. Saat menyaksikan pertunjukan musik gong genang, tubuh penonton bergerak-gerak kecil mengikuti irama dan sesekali terdengar sahutan vokal selama pertunjukan musik berlangsung.
Lima, gong genang untuk menghimpun masyarakat Etnis Samawa. Melalui pertunjukan musik gong genang, masyarakat yang mendengar mengetahui adanya perhelatan budaya Etnis Samawa di ruang-ruang publik.
Enam, gong genang sebagai reaksi jasmani. Ketika gong genang dimainkan, tubuh pemain dan penonton ikut bergerak mengikuti irama sehingga kepala mengangguk dan kaki menghentak kecil secara spontan, bahkan gerakan silat bela diri atau tarian kreasi terkonsep.
Tujuh, gong genang berkaitan dengan norma-norma sosial yang dipercaya oleh masyarakat Etnis Samawa sebagai bentuk pewarisan budaya pada generasi muda, agar mereka mengetahui, mempelajari, mengapresiasi dan berpartisipasi dalam kesenian tradisi.
Delapan, pertunjukan musik gong genang disepakati sebagai pengabsahan sosial bagi masyarakat Pulau Sumbawa dan Nusa Tenggara Barat dalam acara-acara kebudayaan di tingkat nasional, bahwa pertunjukan musik gong genang mewakili identitas Etnis Samawa.
Sembilan, pertunjukan musik gong genang sebagai identitas media dan ekspresi budaya musikal masyarakat Etnis Samawa, maka tak jarang mereka berkreasi mencari ide-ide baru dengan cara mengolaborasikan gong genang dengan alat musik tradisi lainnya.
Umumnya, instrumen yang dipadukan dengan gong genang adalah rebana rea, serune, dan alat musik modern, seperti gitar akustik. Begitu pula dengan musik tradisi, musik pengiring tari, musik pop daerah, dan musik kreasi garapan baru. Hal ini ditujukan agar generasi muda tertarik untuk bermusik, mempelajari teori dan praktis sesuai pengetahuan dan kearifan lokal setempat.
Sepuluh, sebagai wadah berkumpulnya masyarakat Etnis Samawa. Melalui pertunjukan musik gong genang, masyarakat Etnis Samawa yang disibukkan dengan rutinitas pekerjaan sehari-hari dapat berkumpul di sebuah acara yang menyajikan pertunjukan musik, sehingga dapat menjalin silaturahmi dan interaksi sosial.
Penyunting: Nadya Gadzali