Jakarta semakin ramai sejak ditetapkan sebagai Ibukota pada tahun 1964. Mula-mula dipisahkan tembok yang didirikan oleh Belanda, kemudian berlanjut ke pembangunan Jakarta sebagai ibukota negara. Kiwari, masyarakat Betawi kian tersingkir ke wilayah pinggiran Jakarta. Menurut sebuah sumber, sejak tahun 1800-an, penduduk Batavia sudah tak terlalu fasih berbahasa Betawi berdialek Melayu. Kota yang semula hanya diperuntukkan bagi 800.000 jiwa itu pun kini dihuni oleh jutaan penduduk.

Diaspora Pendatang di Batavia

Meneroka situasi Jakarta saat masih bernama Batavia. Pada saat Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (VOC) menancapkan pengaruhnya di tanah air, sekira abad ke-16, Jan Pieterzoon Coen, Gubernur Jenderal VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) membawa seribu tenaga kerja terlatih dari Maluku untuk membangun Batavia.

Kendati telah merampungkan pekerjaan, VOC tak mengizinkan mereka pulang ke daerahnya, melainkan ditempatkan di Rawamangun (kini dikenal sebagai Kampung Ambon). Kedatangan imigran dari Asia dan Eropa pun memicu terbentuknya kampung-kampung lain, seturut kedatangan etnis-etnis lokal seperti Melayu, Bugis, Bali, dan Sumbawa ke Batavia.

Kurun waktu itu, strategi penguasaaan Belanda terbagi ke dalam dua wilayah, yakni Batavia Timur yang diperuntukkan bagi bangsa Eropa, serta Batavia Barat yang dicadangkan untuk orang-orang Tionghoa dan Portugis. Lantas ke mana perginya penduduk asli yang telah menetap di Jayakarta (Jakarta sebelum Batavia) jauh sebelum kedatangan Belanda?

Bondan Kanumoyoso dalam pengantar buku terjemahan Castles mengemukakan analisisnya tentang data sensus pada masa pemerintahan Belanda, baik yang berada di dalam, maupun di luar tembok (Ommelanden). Batavia di balik tembok dihuni oleh orang-orang Belanda dan budak-budak yang didatangkan dari berbagai daerah. Sedangkan di luar tembok, jumlah budak tak melampaui angka 30% dari total jumlah penduduk (Lance Castles, Profil Etnik Jakarta, 2007). Sehingga dapat disimpulkan bahwa, mayoritas penduduk Batavia dan Ommelanden adalah orang-orang bebas (bukan budak).

Diaspora pendatang di dalam sebuah cawan bernama Batavia, membuat interaksi sosial dan fenomena kawin campur antaretnis semakin tak terhindarkan. Kemajemukan yang sudah terbentuk sejak ratusan tahun silam itu menjadikan Jakarta “kota yang unik dan kaya warna”, termasuk kuliner asimilatif hasil pertemuan budaya Betawi dengan budaya yang dibawa serta oleh para pendatang.

Jejak Bangsa Pendatang dalam Kuliner Betawi

Bekerja sama dengan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada dan Lembaga Kebudayaan Betawi, Aksara Pangan menggelar Kelir Betawi dengan tajuk “Yang Lebaran, Yang Tak Populer”. Dari pertemuan singkat itu, saya terdorong untuk menggali lebih dalam tentang Jakarta: bahwa Ibukota tak hanya menyimpan ketergesa-gesaan, melainkan keragaman budaya yang terbentuk sejak ratusan tahun silam.

Pemilihan tema Lebaran bukanlah tanpa alasan. Pasalnya, Kelir Betawi yang digelar oleh Aksara Pangan pada bulan April lalu, bertepatan dengan bulan Ramadhan dalam sistem penanggalan Hijriyah. Umat Muslim di seluruh dunia tengah menjalankan ibadah puasa dan menantikan hari kemenangan.

Webinar ini sekaligus menjadi pengantar pembahasan aneka hidangan Betawi yang tak populer, sebagaimana disampaikan oleh Maharani dan Cucu Sulaicha, perwakilan Dewan Pakar Persatuan Wanita Betawi.

Yahya Andi Saputra terlebih dahulu membuka webinar dengan mengulas perkembangan kuliner Betawi dari masa ke masa, dimulai pada rentang tahun 1916-1945 atau masa pra-kemerdekaan. Yahya menjelaskan bahwa hidangan Betawi banyak dipengaruhi oleh cita rasa dari India, Tionghoa, Korea, Belanda, Inggris, dan Portugis (Timur-Barat).  Masyarakat Betawi juga banyak berimprovisasi dengan aneka sajian dari daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, seiring meleburnya etnis Jawa dan Sunda dengan penduduk Batavia.

Terciptanya sajian-sajian asimilatif menandai adanya persinggungan antara masyarakat Betawi dengan budaya yang dibawa oleh pendatang, seperti hidangan bersantan yang diduga mendapat pengaruh dari pedagang asal Gujarat, beberapa jenis rempah-rempah yang dibawa oleh bangsa Arab, serta VOC yang memperkenalkan keju dan margarin.

Lambang Kerukunan dalam Semangkuk Bubur Ase

Meskipun sudah jarang ditemui, Bubur Ase tampaknya masih tersimpan dengan baik di dalam ingatan kolektif masyarakat Betawi. Lacan mengklasifikasikan fenomena ini ke dalam jouissance: psikoanalisis yang berhubungan dengan selera, penikmatan, dan ingatan akan pengalaman di masa lampau (Jacques Marie-Émile Lacan, Ecrits: A selection, 1977).

Kembali ke suatu masa, ketika Bubur Ase disajikan sebagai menu makanan sehari-hari. Saya memaknai hidangan ini sebagai simbol kerukunan dalam kehidupan sosial masyarakat Betawi. Sebab, memadukan asinan dan semur dalam semangkuk bubur adalah perkara yang tak lazim—keunikan yang tak mudah diakrabi. Seperti halnya menyesuaikan diri dengan budaya asing atau berhadapan dengan perbedaan kultur, agama, pandangan politik, dan lain sebagainya.

Sayur Besan dan Simbol Ikatan Keluarga

Suatu hari, saya bersantap Sayur Besan di luar prosesi pernikahan adat Betawi. Baik dari segi penyajian maupun penilaian rasa, Sayur Besan boleh dikatakan mirip dengan Sayur Lodeh. Sama-sama disajikan di dalam kuah santan bersama sayuran penyerta lainnya, namun kali ini terasa lebih gurih dan kaya rasa. Rupanya, kompleksitas rasa pada Sayur Besan diperoleh dari ebi atau sejenis udang kecil yang sudah dikeringkan.

Sebagai catatan, Sayur Besan dalam tradisi Betawi merupakan perlambang ikatan keluarga. Diberikan oleh keluarga perempuan kepada keluarga laki-laki selepas menggelar resepsi pernikahan.

Jika makanan adalah urusan pembiasaan tubuh, maka Sayur Besan adalah soal rasa yang tak asing bagi saya. Tetapi mendaku Sayur Besan sebagai masakan khas Betawi, berarti mengakui elemen-elemen asing yang turut memperkaya cita rasa sajian ini. Pasalnya, ebi banyak ditemui pada kuliner peranakan Indonesia-Tionghoa. Begitu pula dengan santan yang dikenal sebagai budaya bersantap orang-orang Gujarat.

Tantangan dalam sajian asimilatif ialah mencari tahu tentang asal usul, serta menemukan batasan-batasannya. Namun di sinilah letak keindahannya. Ketika akhirnya kita bersepakat bahwa Sayur Besan adalah manifestasi dari berbagai pengaruh budaya.

Andilan bagi Masyarakat Betawi

Makanan memang tak melulu soal pemenuhan kebutuhan, tetapi berkaitan juga dengan kausa budaya, mistisme, agama, sosial, geografis, dan lain sebagainya. Misalnya, tradisi gotong royong menjelang hari Lebaran pada masyarakat Betawi yang disebut dengan Andilan: mengumpulkan uang selama satu bulan untuk membeli seekor atau beberapa ekor kerbau secara kolektif. Andilan merupakan satu-satunya tradisi masyarakat agraris pra-Islam yang tersisa saat ini.

Dua hari jelang Hari Raya Idul Fitri, kerbau disembelih dan dibagikan kepada seluruh peserta Andilan. Masyarakat Betawi yang memeluk agama Islam menyiapkan sajian istimewa bergaya Betawi untuk dihidangkan pada hari Lebaran, termasuk mengolah daging kerbau yang diperoleh dari Andilan, selain daripada Sayur Ketupat Bebanci, Semur, Sayur Sambel Godok, Tape Uli, Aneka Manisan, Kembang Goyang, Biji Ketapang, Lapis Legit, Geplak, Akar kelapa, dan Dodol.

Dari 12 macam sajian khas Idul Fitri khas Betawi, Sayur Sambel Godok dan Tape Uli adalah dua hidangan yang nyaris tak dijumpai di rumah-rumah masyarakat Betawi saat ini. Pergeseran budaya atau ‘nilai’ kuliner yang tak lagi dipandang sebagai sebuah pusaka?

Sementara itu, Rektor UGM, Panut Mulyono berpendapat bahwa gastronomi adalah soft power yang sangat strategis bagi Indonesia, baik dalam mendukung perekonomian, maupun ketahanan pangan.  Ia meyakini bahwa gastronomi dapat menyelesaikan berbagai macam permasalahan bangsa melalui diplomasi kuliner.

Pendapat Panut membuat gastronomi tak hanya dipandang sebagai landasan untuk memahami makanan dan minuman dalam situasi-situasi tertentu, tetapi juga ikut menentukan seberapa luas ruang negosiasi yang terbuka untuk menjembatani kepentingan-kepentingan manusia.