Sangat menarik, di tengah pembangunan dan perubahan yang terus berkembang, selalu ada tempat-tempat di mana keaslian dan kekhasannya dijaga dengan baik. Tempat di mana adat masih dipegang teguh dan masyarakatnya masih menerapkan cara-cara tradisional.

Di Bali, kita mengenal sebuah kawasan yang disebut dengan desa Bali Aga, yaitu desa tradisional asli Bali yang luput dari pengaruh Majapahit atau Jawa, sehingga adat istiadat dan kebudayaannya masih orisinil dan berbeda dengan apa yang orang lain lihat sebagai Bali saat ini. Mungkin tak berlebihan apabila saya sebut dengan istilah dengan the original version of Bali (versi Bali yang Asli).

Saya mencoba memberikan pandangan terlebih dahulu mengenai orisinalitas yang dimaksud. Jika ada Bali original, maka adakah Bali yang tak asli?. Versi dari Bali yang kemudian melalui tahap perkembangan zaman, perubahan sosial dan kebudayaan, maka terbentuklah versi lainnya, terutama yang disebabkan oleh akulturasi antara Bali versi terdahulu yang lekat dengan pengaruh Jawa, dengan Bali yang berakulturasi dengan modernitas.

Saat ini, tanpa memerlukan mesin waktu, kita dapat melihat Bali tempo dulu di Tenganan Pegringsingan, sebuah desa adat Bali Aga yang berlokasi di Kabupaten Karangasem, Bali.

Di Balik Pintu

Gerbang Utara di Bagian Luar Wilayah Tenganan Pegringsingan/ Putu Riana Pertiwi

Di suatu waktu yang baik, saya berkesempatan melakukan perjalanan ke Tenganan dan tinggal selama dua minggu untuk keperluan penelitian akademik. Saya menemukan banyak sekali keunikan bernuansa tradisional dan berbeda dengan daerah Bali lainnya yang sudah lama berada dalam penilaian Bali versi saya, bahkan mungkin juga bagi kebanyakan orang lainnya.

Luas wilayah Tenganan Pegringsingan adalah 917,200 Ha, dan hanya 8,5% dari luasan wilayah tersebut yang digunakan sebagai permukiman. Sisanya merupakan hutan lindung serta lahan untuk usaha pertanian.

Permukiman di Tenganan Pegringsingan memiliki empat gerbang utama yang lokasinya disesuaikan dengan arah mata angin, yaitu pintu Selatan, pintu Utara, pintu Timur dan pintu Barat.

Pintu ini memiliki arsitektur layaknya gapura khas Bali, tetapi tidak memiliki daun pintu. Hanya berupa gerbang yang terbuka. Pintu masuk utama yaitu pintu Selatan dan pintu Utara yang menuju ke arah hutan dan persawahan.

Masyarakat yang berada di dalam wilayah pemukiman di dalam gerbang (inside the door) ini hanyalah penduduk asli. Orang luar tidak diperkenankan untuk memiliki tanah di lokasi ini.

Namun, masyarakat luar boleh menempati lahan Tenganan Pegringsingan yang berada di luar gerbang (outside the door). Pintu tersebut nampaknya memiliki makna mendalam, selain menyiratkan perbedaan bentuk penggunaan wilayah, juga menunjukkan perbedaan budaya, asal usul, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat.

Gringsing: Tenun Penolak Bala

Tenun gringsing adalah kebudayaan bendawi yang menjadi ciri khas desa adat Tenganan Pegringsingan. Sesuai penamaannya, “gering” berarti sakit atau bala, sedangkan “sing” berarti tidak. Sehingga gringsing dapat dimaknai sebagai penolak bala.

Proses pembuatannya juga memakan waktu yang cukup lama. Proses menenun dan memberi warna saja, dapat mencapai beberapa bulan tergantung tingkat kerumitan motif dan polanya.

Setiap wanita di Tenganan Pegringsingan, di masing-masing rumahnya, setidaknya belajar menenun dan memiliki satu alat tenun agar keterampilan ini dapat terus diwariskan dan dijaga dari kepunahan.

Kain tenun gringsing kini tidak hanya digunakan dalam upacara adat di desa adat Tenganan Pegringsingan saja, tetapi sudah menjadi benda komersil dan dipasarkan secara luas dan memiliki banyak peminat. Pada pandangan pertama pun, kain gringsing ini sudah mampu mencuri perhatian lantaran otentisitasnya, dengan warna dominan cokelat dan merah bata yang menghadirkan kesan klasik.

Kehidupan di Atas Lahan Adat Komunal

Persawahan Milik Desa Adat Tenganan Pegringsingan yang Dikelilingi Perbukitan/ Putu Riana Pertiwi

Tenganan Pegringsingan merupakan wilayah adat yang dikelola secara komunal oleh seluruh masyarakat desa adat Bali Aga. Kendati masyarakat dapat menguasainya secara pribadi, namun lahan tersebut masih terikat pada aturan adat awig-awig desa.

Pohon di wilayah adat tenganan tidak boleh ditebang sembarangan, ada beberapa aturan adat yang mengatur bagaimana penebangan itu boleh dilakukan. Syarat kayu yang bisa ditebang adalah kayu yang sudah mati, kayu sebagai lakar saang (kayu bakar), penaho (untuk bahan bangunan), pengapih (untuk penjarangan), dan tumapung (untuk bahan bangunan bagi pasangan yang baru menikah).

Setiap penebangan yang dilakukan di wilayah desa adat Tenganan Pegringsingan dicatat dalam buku adat. Informasi yang dicatat meliputi waktu penebangan, nama penebang, pohon yang ditebang, dan untuk keperluan apa penebangan itu dilakukan.

Jika melihat manajemen tradisional yang sangat tertata di desa adat Tenganan Pegringsingan, pantas saja jika luasan wilayah hutan yang dimiliki tidak berkurang. Penduduknya pun menaati tata tertib yang terdapat dalam aturan adat ini.

Selain itu, bentuk pengelolaan lahan adat sebagai usaha pertanian juga dilakukan secara bagi hasil antara pemilik tanah di desa adat, dengan para penggarap yang sudah menggarap lahan secara turun temurun dan memiliki organisasi penggarap tersendiri dengan kepala penggarap yang disebut Baungsanak. Tentunya, sistem pertanian di Tenganan Pegringsingan juga memiliki sistem pengairan sawah yang dikelola dalam organisasi Subak.

Sistem Pemerintahan Adat Kolektif

Para Tokoh Adat Sedang Menjalankan Upacara Adat/ Putu Riana Pertiwi

Desa adat Tenganan Pegringsingan terbentuk dalam skala kecil. Keanggotaannya terbatas pada orang asli yang lahir di desa itu saja. Di samping itu, desa adat tidak mengenal adanya sistem pelapisan sosial masyarakat berdasarkan sistem kasta seperti yang kita kenal di daerah Bali lainnya.

Sistem pemerintahan yang dianutnya merupakan sistem pemerintahan kolektif dengan pejabat puncaknya yang terdiri dari suatu dewan, bukan individu. Posisi pemerintahannya terdiri dari krama desa inti yang diperoleh melalui perkawinan yang memenuhi kriteria adat, yakni:

1. Perkawinan endogami, di mana pasangan suami istri berasal dari satu desa yang sama yaitu Desa Adat Tenganan Pegringsingan;

2. Pasangan yang akan menikah harus sudah pernah menjadi anggota sekaa daha teruna (muda mudi) pada masa mudanya;

3. Pasangan suami istri dalam keadaan sehat secara jasmani dan rohani;

4. Tidak melakukan poligami.

Semua yang menikah dengan memenuhi kriteria tersebut akan secara otomatis memasuki sistem pemerintahan. Orang tua yang ada dalam posisi pemerintahan, jika kemudian anaknya menikah dan masuk ke dalam sistem pemerintahan, maka orang tuanya akan secara otomatis turun dari sistem pemerintahan.

Krama desa inti yang menjadi “dewan” dalam sistem pemerintahan desa adat ini terbagi menjadi beberapa kelompok posisi atau jabatan yang proses pergantiannya mengikuti seleksi alam, dalam artian tidak adanya masa jabatan. Sejatinya, yang menempati posisi ini bukan atas nama individu, tetapi pasangan. Dimana mereka yang sudah menikah (suami dan istri) akan mendapatkan nama baru dari desa adat yang menunjukkan eksistensinya di dalam sistem pemerintahan.

Struktur pemerintahannya terdiri dari 5 pasang luanan (penasehat), 6 orang bahan duluan (kliang desa), 6 orang bahan tebenan, 6 orang tambalapu duluan, 6 orang tambalapu teben, dan sisanya merupakan pengeluduan.

Awig-awig Penjaga Adat

Salinan Awig-awig dalam Tulisan Latin/ Putu Riana Pertiwi

Awig-awig merupakan bentuk hukum adat yang terdapat di Bali. Awig-awig mulai dikenal masyarakat Bali sejak tahun 1986 setelah dikeluarkannya Peraturan Daerah Tingkat I Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali.

Sebelum adanya Perda ini, istilah yang dipakai bermacam-macam, diantaranya pangeling-eling, paswara, geguat, awig, perarem, gama, dresta, cara, tunggul, kerta, palakerta, dan sima.

Aturan yang terkandung dalam awig-awig mengacu pada konsep Tri Hita Karana yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan.

Awig-awig di Bali pada umumnya tersusun rapi dan terdiri atas bab tematik dan pasal-pasalnya. Namun, awig-awig Tenganan Pegringsingan tidak memiliki struktur demikian, desa ini mempertahankan susunan asli awig-awignya yang tidak terstruktur, namun menolak untuk melakukan perubahan susunan awig-awig seperti di daerah Bali lainnya.

Awig-awig Tenganan Pegringsingan dalam bentuk aslinya tertulis di lontar, namun kini sudah tersedia salinannya dalam bentuk teks. Hanya saja, bahasa yang digunakan adalah bahasa Bali kuno dan belum ada terjemahan resmi ke dalam bahasa Bali kini ataupun bahasa Indonesia.

Aturan yang termuat dalam awig-awig Tenganan Pegringsingan termasuk aturan penebangan pohon, pernikahan, sistem adat, pengelolaan lahan dan upacara adat. Awig-awig inilah yang menjadi “senjata rahasia” untuk mempertahankan adat dan budaya asli Tenganan Pegringsingan.

Sejatinya, perkembangan zaman dan modernisasi di Bali menuntut setiap masyarakat adat untuk menyesuaikan diri agar tradisi tetap terpelihara. Namun tentunya, perubahan yang begitu masif harus dikelola dengan baik dengan menerapkan sikap dualistis yang diterapkan di Tenganan Pegringsingan, yaitu sikap lentur dan kaku sekaligus.

Mereka memutuskan untuk menjadi lentur dan beradaptasi dengan zaman lewat sektor pariwisata. Namun disisi lain, tetap patuh dan taat terhadap aturan adat yang menjadi cerminan jati diri masyarakat desa adat Tenganan Pegringsingan.

Penyunting: Nadya Gadzali