Etnis.id - Tembang menjadi salah satu wujud pemikiran serta imajinasi seseorang untuk memandang dan juga memberi makna pada dunia. Persepsi-persepsi seseorang juga bisa terwujudkan dalam bentuk tembang.

Subagyo Sastrowardoyo dalam Beyond Imagination-nya berpendapat jika penciptaan karya sastra adalah alat untuk bisa menangkap serta mengabadikan segala kilatan kesadaran yang hidup dalam batin, dalam alam ketidaksadaran. Kilatan tersebut berupa persepsi terhadap dunia.

Darinya, sudah pasti sebuah tembang atau puisi mengandung nilai atau pretensi dari penulis yang akan disampaikan kepada pembacanya. Soal tembang, sejak zaman dahulu masyarakat Jawa sudah mengenal itu.

Sebagian besar karya sastra Jawa, hadir dalam bentuk kidung atau tembang. Lir-Ilir salah satunya. Ia memiliki peranan cukup penting dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Membahas Lir-Ilir, rasanya agak kurang jika kita tidak mengenal sejarahnya. Lir-Ilir erat kaitannya dengan tersebarnya agama Islam di Jawa oleh kerja-kerja Wali Songo.

Kerja Wali Songo sebagaimana ditulis dalam banyak buku sejarah, mendekati masyarakat dengan pola tasawuf yang dikemas dalam wujud mistik. Cara itu dipercaya menjadi strategi dakwah untuk menyebarkan agama Islam yang ampuh.

Sunan Kalijaga-lah yang terkenal akan itu. Ia hadir dengan mengusung gagasan berlandaskan sufisme dalam Lir-ilir untuk membangun kesadaran pada diri manusia.

Secara sederhana, seseorang bisa memiliki pekerjaan apa saja, asal masih dalam kaidah yang sudah ditetapkan, serta memiliki tujuan untuk mendapatkan rezeki yang halal.

Soal Lir-Ilir, kata ini memiliki arti bangkitlah. Bangkitlah di sini adalah makna denotasi dari ajakan untuk bangun. Bangun diartikan kesadaran yang harus dirawat dan dihidupkan. Sadarlah jika waktu terus berjalan, jangan sampai lengah dan akhirnya merugi.

Mari kita lihat salah satu arti dalam bait lir-Ilir yang berbunyi “Dodot iro dodot iro kumitir bedhah ing pinggir. Dondomono jlumantono kanggo sebo mengko sore.”

Saya baru mengetahui makna lagu ini ketika sudah dewasa. Padahal sejak kecil dulu, saya sering sekali mendengar lagu ini. Setiap sore ketika bermain ke masjid, Pak Kyai menyetel tembang Lir-ilir.

Bait tersebut ternyata memiliki arti jika selain perumpamaan hati, ternyata pakaian juga merupakan salah satu lambang kepercayaan kepada Tuhan. Pakaian adalah wujud atau manifestasi dari barang apa yang melekat dalam tubuh.

Sedangkan makna konotasinya yaitu akhlak yang menjadi hal yang paling mendasar dalam kehidupan seseorang. Saat akhlak baik, maka selamatlah kehidupannya.

Kemudian pada bait terakhir yang berbunyi, “Yo surako, surak hiyo” memiliki makna untuk berserah dengan rasa syukur. Berserahnya dimaknai sebagai untuk mempercayakan diri dan juga nasib kepada Allah, bertawakal serta berpasrah.

Di sisi lain, berserah berarti kita memberikan semua kehidupan kita hanya kepada Allah. Dalam hal ini, bait tersebut membawa pesan bahwa manusia sebaiknya menjalani kehidupan dengan penuh rasa syukur.

Ya andaikata tembang ini masih terus diajarkan secara makna dan juga implementasi, maka bisa kita lihat bagaimana indahnya hidup ini. Namun, Lir-Ilir yang menjadi media Sunan Kalijaga untuk berdakwah ini, perlahan dilupakan.

Makna dari lagu ini juga bergeser. Banyak orang menilai, lagu ini adalah lagu yang mistik dan memanggil hal-hal yang tak kasat mata hadir untuk menakuti. Ini yang menjadi pertanyaan besar, kok bisa lagu ini diidentikkan dengan hantu?

Apa media dalam medium apa saja sebegitu ganasnya mengubah pandangan orang dari mengingat Tuhan akan lagu ini, lalu berubah menjadi membawa ketakutan sampai paranoid dalam diri sendiri?

Ironinya, sekarang, kalau toh Lir-ilir masih didengar, paling hanya didendangkan untuk menemani anak-anak Jawa bermain, seperti saat saya masih kecil. Bagi orang dewasa, Lir-ilir dijadikan sebagai tembang kenangan saja.

Hanya beberapa orang saja yang memiliki ketertarikan kuat dan mau mencari makna sebenarnya. Sungguh indah jika bisa mengimplemetasikannya dalam hidup.

Tidak hanya sebagai ajakan untuk masuk agama Islam saja. Lebih dari itu, melalui tembang ini, Sunan Kalijaga mengajak manusia untuk lebih bisa mengenal Tuhannya dan memaksimalkan hidup dengan penuh kebaikan.

Editor: Almaliki