Persawahan dan perkebunan menjadi pemandangan panorama di wilayah Sunda, termasuk wilayah Suku Baduy di dalamnya. Ciri khas masyarakat agraris pada etnis Sunda tampak ketika sedang menunggui ladang dan sawahnya. Mereka memainkan alat musik bernama karinding. Perlu diketahui, karinding merupakan alat musik jenis lamelafon.
Alat musik karinding yang dibuat oleh leluhur Sunda ditujukan untuk mengusir kejenuhan ketika sedang beraktivitas di ladang atau sawah. Suara dari alat musik karinding bermanfaat untuk mengusir hama atau hewan yang merusak tanaman. Sebelum ditemukan alat musik kecapi, leluhur orang Sunda telah memainkan alat musik karinding.
Usia alat musik kecapi diperkirakan telah lebih dari 500 tahun yang lalu. Saya mengetahui alat musik ini ketika berkunjung ke Kanekes, tempat bermukimnya Suku Baduy. Saat beristirahat dari lelah, di sebuah saung tampak seorang pemuda sedang memainkan alat musik. Setelah berbincang dengannya, saya mengetahui bahwa alat musik tersebut bernama karinding.
Alat musik karinding terbuat dari bambu, namun pada Suku Baduy, karinding terbuat dari pelepah kawung, tanaman yang tumbuh subur di sekitar wilayah Baduy. Jadi, alat musik karinding dapat terbuat dari pelepah kawung dan bambu. Ukurannya relatif kecil, sekitar satu jengkal.
Ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa karinding terbuat dari bambu. Maka, namanya menjadi karing, tetapi jika terbuat dari pelepah pohon kawung disebut karinding. Hal ini diutarakan oleh Sopandi dalam bukunya yang berjudul "Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional Jawa Barat".
Alat musik karinding berbentuk seperti lidah yang menjulur atau berbentuk seperti lempengan kayu. Memainkannya terlihat mudah, namun setelah saya mencobanya, ternyata cukup sulit. Saya diajarkan oleh pemuda dari Suku Baduy. Cara memainkannya dengan meletakkan karinding di pangkal bibir agar terkena hembusan nafas, kemudian disentil agar karinding mengeluarkan suara nyaring.
Setiap alat musik pasti memiliki resonator yang berfungsi sebagai pengatur tinggi atau rendahnya suara. Untuk mengukur tinggi rendahnya suara alat musik karinding, terletak pada udara yang keluar dari rongga mulut. Artinya, hawa dari rongga mulut menjadi resonator alat musik karinding.
Rongga mulut yang menjadi resonator membuat alat musik karinding memiliki dua jenis suara yang dihasilkan. Misalnya, rongga mulut yang tidak ada hawa atau tanpa napas dan rongga mulut yang terdapat hawa atau disertai napas. Dengan kata lain, dua cara tersebut dapat menghasilkan suara yang berbeda dari alat musik karinding.
Menurut kepercayaan orang Sunda, alat musik karinding dapat menghasilkan suara khas yang berbeda-beda. Seperti halnya suara vokal manusia yang memiliki ciri khas masing-masing. Begitu pula pada alat musik karinding.
Keunikan alat musik karinding terdapat pada cara memainkannya. Alat musik karinding dapat menghasilkan suara yang variatif. Selain itu, suara yang dihasilkan dari permainan alat musik karinding akan berbeda, walaupun cara memainkannya dipetik dan menggunakan hembusan napas dari rongga mulut. Keunikan ini terjadi lantaran struktur mulut setiap orang berbeda-beda, sehingga sebagai resonator alat musik, karinding akan menghasilkan suara yang juga berbeda.
Suara alat musik karinding dihasilkan dari perpaduan vibrasi jarum karinding dan hembusan udara dari rongga mulur yang berada di tingkat low decible. Low decible yang dihasilkan oleh karinding disebut dengan ultrasonik, sehingga getaran suaranya hanya dapat didengar oleh hewan yang tergolong serangga seperti belalang, kelelawar, jangkrik, dan lain sebagainya.
Ada makna yang tersirat dari paragraf di atas, bahwa orang-orang terdahulu mengembangkan dan menjadikan kesenian sebagai ungkapan dari cara hidup masyarakat komunal. Mereka memperhitungkan manfaat lainnya. Misalnya, selain dapat memberikan hiburan, alat musik karinding juga dapat mengusir hama tanaman. Sehingga, tanaman tidak membutuhkan pestisida, sedangkan hewan tetap dapat berkontribusi terhadap keseimbangan alam. Faktor inilah yang membuat alat musik karinding diakui keberadaannya oleh masyarakat Sunda.
Romantisme Karinding
Pertengahan abad ke-14 dipercaya sebagai awal kemunculan alat musik karinding. Dipelopori oleh Prabu Kalamanda, seorang putera dari kerajaan Sunda, yaitu Kerajaan Galuh Pakuan. Karinding melatari kisah cinta Prabu Kalamanda dengan seorang putri bernama Sekarwati.
Saat itu, Prabu Kalamanda sedang rindu terhadap pujaan hatinya, Sekarwati. Prabu Kalamanda kesulitan bertemu dengan Sekarwati. Kekasihnya itu sedang dipingit oleh orang tuanya. Prabu Kalamanda kemudian membuat alat musik karinding dan memainkannya di dekat rumah Sekarwati.
Permainan alat musik karinding membuat Sekarwati tertarik pada Prabu Kalamanda. Berawal dari karinding, Prabu Kalamanda dapat berkenalan dengan Sekarwati hingga berujung pada pernikahan keduanya.
Kisah tersebut diaktualisasikan oleh pemuda Sunda zaman dahulu sebagai sebuah kebiasaan. Jika seorang pemuda sudah mampu memainkan alat musik karinding, ia dianggap sudah dewasa dan dapat meminang gadis pujaan hatinya.
Perkembangan dan sejarah karinding menunjukkan bahwa selain sebagai kesenian, alat musik ini juga menjadi penanda telah dewasanya seorang pemuda, sebagai teknologi tradisional pengusir hama tanaman, serta pengusir rasa jenuh saat beraktivitas di ladang dan persawahan. Bahkan, alat musik karinding menjadi perantara yang melatari kisah cinta sepasang kekasih.
Kendati sebagian besar petani Sunda saat ini sudah tidak memainkan alat musik karinding untuk mengusir hama di perkebunan dan persawahan, pemuda juga sudah tidak memadu kasih melalui perantara alat musik karinding, namun alat musik ini tetap dimainkan oleh sebagian masyarakat lokal, terutama pelaku budaya melalui sanggar-sanggar kebudayaannya.
Penyunting: Nadya Gadzali