Pinolosian. Nama desa ini agaknya masih asing bagi pembaca. Jangankan Desa Pinolosian, bahkan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan yang merupakan lokasi desa ini berada, kemungkinan pembaca belum tahu.

Saya harus mengakui bahwa daerah saya ini belum begitu dikenal. Ketika saya berada di Jogja, saya sering melihat orang-orang kebingungan tatkala mendengar nama Bolaang Mongondow (Raya). Kebingungan mereka terjawab ketika saya menjelaskan bahwa Bolaang Mongondow merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Utara. Umumnya, mereka akan berkata: “Ooo, Manado....”

Padahal, meski sama-sama ada di Sulawesi Utara, Manado ya Manado, Bolaang Mongondow ya Bolaang Mongondow. Diibaratkan dua orang yang berada di bawah satu atap. Tinggal serumah tidak lantas semua penghuni memiliki karakteristik yang sama.

Meski tahu kalau orang-orang di Jawa umumnya tidak begitu mengenal  daerah saya, namun jika ditanya saya tetap akan mengatakan, saya berasal dari Bolaang Mongondow, tepatnya Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan. Ini bukan karena sikap fanatik kedaerahan, melainkan upaya sosialisasi tentang daerah asal saya.

Sama halnya dalam tulisan ini, saya juga tengah memperkenalkan Desa Pinolosian, tempat saya lahir dan besar. Desa ini kurang mentereng untuk skala nasional, namun sangat masyhur di Bolaang Mongondow.

Desa Pinolosian berada di Kecamatan Pinolosian, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Provinsi Sulawesi Utara. “Eh, Kecamatan Pinolosian? Ini maksudnya desa atau kecamatan, sih?”

Ya, selain merupakan nama desa, Pinolosian juga digunakan sebagai identitas tiga kecamatan, yaitu Pinolosian, Pinolosian Tengah, dan Pinolosian Timur. Keren, kan? Lebih keren lagi, ternyata ada sebuah cerita rakyat di balik asal-usul nama Pinolosian, meski kisahnya agak angker.

Sebagaimana didasarkan pada Cerita Rakyat Bolaang Mongondow yang disusun oleh Alma E. Almanar, pada zaman dahulu, ketika kawasan Pinolosian masih berupa hutan yang sangat lebat, ada seorang bogani (panglima) dari kawasan Mongondow (pedalaman) yang bernama Bangundali atau Gagundali. Dia mengejar seorang bogani dari Bintauna (pesisir utara) yang bernama Dongitan.

Keduanya bertemu di hulu sungai yang ada di kawasan pesisir selatan. Pertemuan itu menghasilkan perkelahian yang amat dahsyat. Dalam pertarungan, Bangundali lebih unggul, sehingga dapat memenggal dan membelah kepala Dongitan menjadi dua. Kepala itu dibawa dan ditancapkan di puncak Passi sebagai tanda kemenangan.

Peristiwa ini jelas menggemparkan orang-orang saat itu. Sehingga, tempat perkelahian Bangundali dan Dongitan menjadi terkenal. Sejak itu, para tetua menyebutnya Pinolosian yang bermakna tempat pembelahan.

Ada juga cerita rakyat lain, masih dalam sumber yang sama, diceritakan dua orang bersaudara, yaitu Hondong dan Bangiloiyang merasa lapar di tengah aktivitas perburuan. Rasa lapar itu makin menjadi. Ketika sampai di hulu sungai yang tampak sesuai untuk dijadikan tempat istirahat, Hondong dan Bangiloi memilih untuk istirahat sambil memakan seekor kera yang mereka tangkap.

Kera itu dibagi dua, termasuk kepala kera itu juga dibelah menjadi dua bagian. Tempat itu kemudian menjadi terkenal sebagai tempat istirahat. Dan, karena di tempat itu Hondong dan Bangiloi membelah kepala kera menjadi dua, tempat itu dikenal sebagai Pinolosian.

Mengenai dua cerita rakyat ini, menurut Nadjamuddin Tome, dkk., dalam penelitian mereka tentang Sastra Lisan Bolaang Mongondow (1984) menyatakan bahwa informan memercayai sepenuhnya cerita rakyat tentang Pinolosian yang terjadi, baik tempat dan para Bogani Mongondow (Bangundali) dan Bogani Bintauna (Dongitan).

Hampir sebagian besar penduduk, ketika dikonfirmasi menggambarkan hal yang demikian. Versi kedua juga diyakini oleh informan sebagai hal yang benar terjadi, ditunjang oleh tempat, peristiwa, dan lain sebagainya. Menurut peneliti, cerita ini semacam riwayat asal-usul Desa Pinolosian. Sungai tempat terjadinya peristiwa itu juga memang ada.

Sungai Pinolosian saat ini lebih dikenal sebagai Sungai Nunuk (desa tetangga). Namun, sebagaimana menurut penuturan para tetua bahwa Sungai Nunuk sebenarnya adalah Sungai Pinolosian, hanya saja generasi sekarang kebanyakan menyebutnya sebagai Sungai Nunuk.

Selain itu, asal-usul nama Pinolosian yang digunakan oleh pemerintah desa dan diyakini oleh sebagian orang, bukan berasal dari cerita rakyat, melainkan dari satu kejadian pada masa lalu berupa bencana banjir besar yang membelah kawasan antara Dusun Idugi (Desa Nunuk saat ini) dan Desa Pinolosian. Sungai yang membelah itu menjadi inspirasi untuk penamaan Pinolosian yang memiliki makna pembelahan.

Namun peristiwa banjir besar itu juga tidak sepenuhnya bisa menjadi dasar asal-usul nama Pinolosian. Sebab, sebagaimana penjelasan dari Bansawan Mokoagow yang merupakan saksi sejarah bahwa bencana banjir besar yang memisahkan Pinolosian dan Nunuk akibat Sungai Pinolosian yang meluap, terjadi sekitar masa Abo Paka’ sebagai Sanga di Desa Pinolosian, sekitar 1950an. Artinya, sebelum bencana banjir besar terjadi, Desa Pinolosian memang sudah ada.

Pendapat ini juga diperkuat oleh arsip Belanda, yaitu laporan dari W. Dunnebier dalam “De Zending in Bolaang Mongondow” pada tabel Zielental van Bolaang Mongondow, medio 1906. Dunnebier menyebutkan nama Pinolosian sebagai salah satu desa di Distrik Kotabunan.

Selain itu, nama Desa Pinolosian juga sudah disebut dalam arsip Belanda yang lain. Laporan itu menjelaskan bahwa pada tahun 1920 sudah ada 678 penduduk di Pinolosian, satu di antaranya adalah orang Eropa dan 677 adalah inlanders atau penduduk asli/pribumi (Mededeelingen Opname No. 18, Verslag Eener Spoorwegverkenning in de Afdeeling Menado, Deel II, 1922, pada lampiran tabel A.2. Plaatsgewijze Overzicht Der Bevolkingssterkte op 01 Januari 1920).

Menurut pendapat saya, asal-usul nama Pinolosian memang didasarkan pada cerita rakyat yang bahkan sudah menyebar sebelum Desa Pinolosian ada. Sehingga, orang dari pedalaman Mongondow yang datang ke pesisir selatan untuk mencari penghidupan memang sudah mengenal adanya kawasan yang disebut Pinolosian. Kawasan itu kemudian berkembang menjadi pemukiman warga dan akhirnya menjadi sebuah desa, yaitu Desa Pinolosian.

Penyunting: Nadya Gadzali