Etnis.id - Bagi masyarakat Jawa, gamelan bukanlah sesuatu yang asing. Mereka mungkin tahu mana yang disebut gamelan atau seperangkat alat gamelan. Gamelan memiliki nilai-nilai filosofis yang tinggi, baik dari sisi bunyi, peran dan perasaan pemainnya.

Gamelan itu pelengkap dan pendukung pementasan wayang yang hingga kini masih digemari oleh masyarakat. Dalam perkembangannya, gamelan sejak masa Walisongo, telah menjadi alat untuk mendakwahkan Islam. Sebab itu, bunyinya dihubungkan bermakna religius.

Kata gemelan berasal dari kata gembel yang artinya alat untuk memukul. Dan barang yang digembel disebut gembelan yang berubah menjadi gamelan. Gamelan juga sering disebut dengan gasa dan gangsa.

Kata gangsa diambil dari suku kata terakhir yang menjadi bahan utama pembuatan gamelan, yaitu perunggu yang merupakan campuran antara tembaga dan timah. Gangsa secara filosofis mempunyai arti sendiri.

Menurut sebagian orang, gangsa berasal dari kata gang yang memiliki arti gegandulaning urip (pegangan utama hidup) dan sa artinya rasa. Jadi gangsa adalah pegangan utama dalam hidup yaitu rasa.

Di bawah pengaruh kerajaan Majapahit yang beragama dengan corak Hindu-Buddha, gamelan dipakai sebagai iringan di dalam upacara keagamaan dengan tembang (nyanyian) dan pertunjukan wayang. Bahkan iringan dalam pertunjukan seorang raja.

Dalam kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada abad ke-14. Diceritakan bahwa iringan gamelan digunakan oleh raja Hayam Wuruk dalam melakukan tari topeng bersama delapan orang anak muda diiringi oleh tembang dari Ibu Ratu.

Seiring runtuhnya kerajaan Majapahit dan digantikan oleh kerajaan Islam Demak pimpinan Raden Fatah, gamelan sebagai alat musik tradisional tidak hilang begitu saja. Fungsinya digunakan sebagai alat media dakwah agama Islam.

Saat itu gamelan telah begitu melekat di dalam hati masyarakat yang sudah mendarah daging. Sehingga dengan gamelan, para Walisongo mencoba mengakulturasi budaya itu. Jadilah sekaten seperti di Yogyakarta.

Acara sekaten diiringi gamelan. Oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam X, sekaten diartikan berasal dari bahasa arab yaitu syahadatain atau dua kalimat syahadat (Rahman, 2018).

Ketika masyarakat pada saat itu ingin menyaksikan acara hiburan seperti sekaten di pelataran masjid agung Demak. Masyarakat harus terlebih dahulu mengucapkan syahadat, kemudian dilajutkan dengan membasuh muka, kedua tangan dan kedua kaki.

Hingga hari ini, sejak masa Walisongo, kerajaan Islam Demak, Sultan Agung, hingga Kasultanan Yogyakarta, sekaten tetap dilaksanakan. Gamelan yang digunakan di dalam acara itu, khususnya yang ditabuh di Kasultanan Yogyakarta adalah gamelan Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nogowilogo.

Gamelan Kanjeng Kiai Gunturmadu secara historis merupakan gamelan sepuh berumur ratusan tahun. Penamaannya diambil dari nama Kiai dari kerajaan Demak. Sedang yang muda yakni Kiai Nogowilogo, yang dipandang sebagai putra Kiai Gunturmadu, dibuat pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwo I (pertama) kira-kira 200 tahun yang lalu (Anonim, 1997).

Gamelan/Etnis/Billy Chermutto

Sejak saat itu dua gamelan ini disebut sebagai gamelan sekaten, yang ditabuh secara bergantian menjelang bulan Maulud dengan diiringi oleh tembang-tembang Jawa khususnya di kraton Yogyakarta.

Tetapi di dalam tulisan ini, bukan membahas tentang dua gamelan itu lebih jauh. Tetapi pemaknaan perangkat gamelan setelah menjadi media dakwah yang dilakukan oleh Walisongo, khususnya yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga.

Perangkat-perangkat atau alat-alat dari setiap gamelan ini dimaknai secara simbolis oleh Sunan Kalijaga terkait tentang ketuhanan, ketakwaan dan kemanusiaan. Di antara makna-makna yang terdapat di dalam alat-alat gamelan, terbagi beberapa.

1). Kenong, berdasarkan makna kenong merupakan singkatan dari yen kepareng Hyang Winong yang artinya diridhoi oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Dalam pengertiannya, setiap manusia di dalam menjalankan kehidupannya harus selalu didasarkan kepada kehendak Allah.

Secara singkat, dapat dimaknai bahwa apapun yang dilakukan manusia, selalu bersandar dan dilandasi kepada ketakwaan kepada Allah. Setiap perjalanan selalu mengingat Allah. Sebagaimana ayat Alquran surat Al-Alaq ayat pertama yang berbunyi, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”.

Dari sini dapat dimengerti, bahwa setiap perbuatan dan hasilnya selalu dimulai dengan menyandarkan Tuhan dalam setiap perbuatan. Sehingga terhindar dari perbuatan-perbuatan buruk. Dan hasil akhirnya selalu dipasrahkan kepada Tuhan.

2). Rebab, berdasarkan pemaknaan berasal dari kata re dan bab. Re artinya mengulang atau kembali, sedangkan bab artinya keadaan yang diulang. Dari kata itu, rebab dapat dimaknai sebagai hubungan vertikal antara manusia dan Tuhannya dengan cara-cara seperti duduk bersila atau semedi.

Hubungan ini pun secara singkat dapat dimaknai juga sebagai ketaatan hamba kepada Tuhannya di dalam kerangka etika agama. Atau dalam bahasa agama disebut hablumminallah (menjaga hubungan dengan Allah dengan melaksanakan segala perintahnya).

3). Kethuk, berasal dari kata kecekel dan mathuk. Kecekel berarti berpegang dan mathuk berarti sesuai. Jadi kethuk dapat dimaknai sebagai prinsip manusia di dalam memegang keyakinannya dalam beragama.

Sehingga dengan prinsip itu, diharapkan manusia di dalam menjalani hidup dapat berjalan dengan perilaku yang baik dan bermanfaat di dalam lingkungan masyarakatnya.

4). Saron, berasal dari kata seron yang berarti keras. Di dalam memainkannya, harus dipukul dengan keras. Sedang maknanya sebagai keras adalah bahwa manusia di dalam memegang prinsip baik agama atau norma, harus benar-benar dipegang teguh dan keras. Agar tidak terjebak pada sikap-sikap yang buruk.

5). Seruling, kata seruling berasal dari kata nepsu dan eling. Nepsu berarti nafsu sedangkan eling artinya ingat. Jadi secara umum dapat dimaknai bahwa seruling berarti mengingat untuk selalu menahan dan melawan hawa nafsu.

Sebab apapun yang dilakukan oleh setiap manusia, jika dilandaskan oleh hawa nafsu, akan menghasilkan keburukan. Oleh karena itu, manusia harus selalu eling atau ingat tentang hawa nafsu dan selalu untuk terus menahannya.

6). Kendang, kata kendang berasal dari kata ken dan dang. Ken kependekan dari kata kendali dan dang kependekan dari kata padang (Jawa=Terang). Jadi kendang bermakna dikendalikan dengan pikiran dan jiwa yang terang.

Setiap manusia yang menjalankan kehidupan harus selalu dijalankan dengan pikiran dan jiwa yang tenang tanpa mengikuti hawa nafsu. Agar apa yang dihasilkan menjadi sebuah kebaikan.

7). Gong, kata gong diartikan sebagai sesuatu yang agung dan besar. Karena bentuknya yang bulat dan besar. Dan dimaknai sebagai gegandulaning urip yakni tempat bergantungnya hidup. Makanya jika melihat gong, posisinya selalu di tengah--digantung oleh kedua tali dan posisinya sebagai penentu irama hidup matinya suatu gending.

Jika perangkat-perangkat atau instrumen dari gamelan ini ditabuh untuk dimainkan. Juga mengandung makna yang dalam terkait dengan bunyinya. Hal itu terlihat dari setiap bunyi yang dihasilkan: Kenong, yang jika ditabuh berbunyi "Nong-nong". Kendang, yang jika ditabuh berbunyi "Ndang-ndang". Saron, jika ditabuh berbunyi "Ning-ning". Kempul, jika ditabuh berbunyi "Pung-pung". Gong, jika ditabuh berbunyi "Ghuuuur".

Sehingga jika digabungkan suara-suara itu bermakna: “Nong kana-Nong Kene (artinya, di sana-di sini). Pung-Pung (artinya kumpul-kumpul). Ndang-Ndang (artinya untuk segera). Ghur atau nyegur (artinya ayo segera masuk)”. Dan jika dimaknai artinya adalah sebuah seruan kepada manusia untuk selalu beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa.

Terkait gamelan sebagai gangsa, menurut saya, semakin halus rasa kita dalam memainkan gamelan, maka akan semakin baik. Bagi masyarakat Jawa, rasa memiliki posisi penting di dalam kehidupan.

Mengingat mereka lebih mengedepankan rasa ketimbang nalar atau akal di dalam memahami fenomena duniawi. Maka tidak heran, jika di dalam memaikan sebuah gamelan, harus dihayati dengan rasa.

Kehalusan rasa yang dimiliki seni gamelan ini, memang secara praktik bagi yang tidak pernah melihatnya, menurut tradisi membuat kita bosan. Akan tetapi, untuk memaknai setiap tabuhan gamelan untuk didengarkan dengan damai, membutuhkan rasa yang tenang agar dapat merasakan seninya.

Editor: Almaliki