Sega Jamblang. Kuliner khas masyarakat Cirebon ini sudah satu abad lebih hidup di tengah masyarakat Cirebon. Dari waktu ke waktu, sega jamblang menjadi pilihan masyarakat kecil atau pinggiran. Boleh dibilang kuliner kaum marjinal. Menelusuri keberadaan Sega Jamblang yang kini semakin masyhur lantaran memiliki keunikan dan sejarah panjang sejak zaman kolonialisme.
Sega jamblang tidak terlepas dari beberapa peristiwa yang melatarbelakanginya. Lantas, mengapa sega jamblang menjadi ikon Kota Cirebon? Siapa penggagas sega jamblang? Kapan kuliner legendaris ini mulai dikenal masyarakat Cirebon?
Sekilas tentang Jamblang
Secara geografis, Desa Jamblang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon. Berjarak dengan pusat administrasi pemerintahan Kabupaten Cirebon di Sumber sekitar 16,5 kilometer. Sedangkan jarak dari Kota Cirebon berkisar 17,5 kilometer.
Jauh sebelum Indonesia, istilah jamblang sudah dikenal. Bermula dari para pedagang Cina yang menggunakan jasa transportasi air untuk mencapai pedalaman. Sungai, pada awalnya tidak memiliki nama. Muara sungai yang ada di Desa Mertasinga Cirebon Utara, dikenal dengan nama Muara Bondet. Pada masanya, sungai itu sangat dalam. Lalu lintas air ini begitu ramai. Kapal-kapal pedagang Cina banyak yang mengarungi sungai ini dan menjual dagangannya dibawah pohon jamblang atau duwet yang bernama latin Syzyium Cumini, sejenis buah jambu warna ungu kemerahan dan agak asam manis rasanya.
Nama buah jamblang (duwet) inilah yang kemudian menjadi nama Sungai Jamblang. Pedagang Cina banyak yang menetap di tempat ini. Makin lama makin ramai. Nama jamblang semakin dikenal oleh para pedagang baik Cina, Arab maupun Jawa.
Jamblang lambat laun menjadi ramai, banyak pendatang terutama dari etnis Cina yang bermukim sekitar pohon jamblang. Kemudian muncul pemukiman baru yang kelak bernama Pecinan. Kisah tak tertulis di masyarakat sekitar tempat itu menjadi Pecinan tertua di Jawa dengan adanya Kelenteng sekarang bernama Vihara Dharma Rakhita di Jamblang yang dibangun pada tahun 1400. Suatu bukti bahwa etnis Tionghoa berada di sana dan membangun tempat ibadahnya. Pembauran pun terjadi secara alamiah, lambat laut pemukiman itu pun menjadi ramai dengan sebutan Desa Jamblang hingga saat ini.
Di zaman kolonial, terutama pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Daendels yang memerintah sejak tahun 1808 hingga 1811 dan membangun Jalan Raya Pos yang membentang dari Anyer hingga Panarukan. Pembangunan jalan itu sampai ke wilayah Kabupaten Cirebon di Desa Kesugengan yang berdekatan dengan Desa Jamblang.
Sejarah mencatat nama Daendels sebagai Gubernur Jendral Belanda di Indonesia yang dikenal bersifat kejam. Rakyat dipaksa bekerja membangun Jalan Pos tanpa upah dan konsumsi. Masyarakat kemudian bergotong-royong menyediakan makanan untuk pekerja rodi pembuat Jalan Pos. Kolonial Belanda tidak hanya membangun jalan, tapi juga pabrik-pabrik gula di wilayah ini, seperti pabrik gula Gempol dan Palimanan , serta sebuah pabrik spirtus di Palimanan.
Sega Jamblang
Secara etimologis, sega berarti nasi dalam bahasa Jawa Cirebon. Sedangkan jamblang menunjuk nama suatu tempat di Kabupaten Cirebon. Bermula dari pemukiman kecil, kemudian berkembang menjadi desa dan kini akhirnya menjadi sebuah kecamatan.
Bagaimana sega jamblang menjadi kuliner yang begitu diminati masyarakat kecil di Cirebon? Berawal dari seseorang bernama Ki Antara, dikenal juga sebagai Haji Abdul Latif yang beristrikan seorang keturunan Tionghoa bernama Tan Piau Lin. Akibat kesulitan mengucapkan nama istrinya, Ki Antara menyebut Tan Piau Lin atau Piau Lin menjadi Pulung. Sejak itu, istri Ki Antara dikenal dengan julukan Nyonya Pulung.
Berawal dari kerja rodi atau kerja paksa pembuatan Jalan Pos Daendels dari Anyer hinggs Panarukan yang melewati Kabupaten Cirebon, bantuan Nyonya Pulung berupa nasi dan lauk pauk yang sederhana, yaitu ikan asin, tempe, dan tahu untuk para pekerja rodi pembuat Jalan Pos lambat laun semakin dikenal. Ki Antara yang bersedekah kepada pekerja rodi dalam bentuk nasi bungkus dengan jumlah yang banyak itu ternyata tidak tahan lama, nasi menjadi cepat basi. Sementara pekerja rodi, semakin banyak yarg didatangkan dari desa-desa sekitar seperti Bobos, Sindangjawa dan Cimara. Maka dicarilah upaya agar nasi tidak cepat basi.
Daun Jati
Sekitar tahun 1847, Belanda membangun tiga pabrik sekaligus. Dua pabrik di Plumbon dan Gempol, satu lagi pabrik spirtus di Palimanan. Penderitaan rakyat semakin meningkat dan kelaparan terjadi dimana-mana. Para pekerja kasar pembangunan pabrik gula juga mendapat pasokan makanan dari Nyonya Pulung yang sudah menemukan pengganti bungkus nasi daun pisang menjadi daun jati.
Mengapa daun jati menjadi pilihannya? Terdapat banyak versi mengenai daun jati pembungkus nasi untuk pekerja rodi. Daun jati memiliki tekstur dan pori-pori besar. Nasi yang dibungkus daun jati cenderung bertahan lebih lama (tidak basi), selain itu juga mampu membangkitkan selera makan.
Keistimewaan daun jati beredar di masyarakat. Versi pertama, bahwa Nyonya Pulung mengganti daun pisang ke daun jati lantaran nasi yang pulen tidak cepat basi. Versi kedua, pembangunan masjid Agung Sang Cipta Rasa memerlukan kayu jati. Menurut kisah masyarakat setempat, terdapat pohon jati besar di kawasan Jatiwangi yang tak dapat ditumbangkan dengan alat apapun. Hanya seorang yang bernama Njoo Kiet Tjit atau yang kemudian dikenal sebagai Ki Buyut Cigoler yang dapat melakukannya. Daun jati dari pohon keramat itulah yang kemudian digunakan untuk membungkus nasi agar tidak lekas basi.
Konsumsi Kaum Pinggiran
Sega jamblang yang semula merupakan sedekah dari Nyonya Pulung dan suaminya, Haji Abdul Latif atau Ki Antara, diberikan kepada para pekerja rodi yang membangun Jalan Pos Daendels. Karena pekerja rodi tidak mendapat upah, maka Nyonya Pulung membuat nasi dengan lauk pauk yang sederhana dan murah meriah: tahu,tempe, dan ikan asin, ditambah sambal goreng khas Cirebon. Konsumsi pekerja rodi ini kemudian dilanjutkan dengan pemberian sedekah kepada buruh yang membangun pabrik Gula Gempol.
Kaum buruh pekerja kasar mengonsumsi nasi yang dibungkus daun jati, bentuk sedekah Haji Abdul Latif dan Nyonya Pulung. Kaum buruh atau pekerja rodi lama kelamaan merasa kasihan kepada Haji Abdul Latif dan Nyonya Pulung yang setiap hari menyediakan ratusan mungkin juga ribuan bungkus nasi jamblang.
Kaum pekerja kemudian memberinya uang, kendati tak seberapa namun ditujukan untuk membeli bahan baku nasi jamblang. Sega jamblang semakin hari semakin diminati. Pangsa pasarnya bukan hanya buruh atau kaum marjinal Kota Cirebon. Kaum pekerja kantoran pun mulai melirik sega jamblang, terutama pekerja kantoran lapisan bawah. Sega jamblang akhirnya menjadi ikon kuliner khas Cirebon karena mampu bertahan sejak masa kolonial hingga Indonesia merdeka.
Ikon Cirebon: Nasi Jamblang
Panjangnya sejarah perjalanan sega jamblang, agaknya tidak berlebihan jika kuliner ini menjadi ikon wisata kuliner Cirebon. Bahkan tidak lengkap berwisata ke Cirebon jika belum mencicipi sega jamblang yang murah meriah dan memiliki rasa yang lezat.
Mencari sega jamblang tidaklah sulit. Sepanjang Jalan Tentara Pelajar berjajar pedagang nasi jamblang sampai larut malam. Penjual sega jamblang hampir dapat ditemui di setiap sudut Kota Cirebon. Di kompleks pelabuhan, di pusat Kota Cirebon, bahkan hingga merambah seputar hotel berbintang.
Kuliner khas sega jamblang terdiri dari paru goreng, sambal goreng, sate kentang, goreng, tempe, ikan asin panjelan, tahu bumbu kecap, dan perkedel kentang atau dendeng daging. Menu ini selalu ada dan menjadi ciri khas Cirebon. Dulu, pedagang sega jamblang berkeliling memikul keranjang besar (bahasa lokal Cirebon disebut dengan oblok).
Kini, pedagang sega jamblang lebih banyak mangkal atau menetap, baik di ruko ataupun kaki lima. Pedagang sega jamblang cukup variatif, dari yang berskala besar hingga kaki lima. Seorang bandar (juragan sega jamblang) mampu mempekerjakan hingga 50 orang bahkan lebih, mulai dari juru masak hingga pedagang yang menjual sega jamblang dengan cara berkeliling atau mangkal.
Dari waktu ke waktu, sega jamblang terus bertahan dan berkembang. Kini, hotel berbintang di Cirebon juga menyediakan sega jamblang, walau sudah tidak otentik lagi lantaran penyajiannya yang tidak menggunakan daun jati.
Sega jamblang memang murah meriah, dua bungkus nasi pulen yang dibungkus daun jati lengkap dengan sambel goreng khas Cirebon, ditambah lauk pauk tanpa daging, hanya dibandrol dua puluh ribu rupiah dan dijamin perut terisi kenyang. Karena harga lauk pauknya yang relatif murah, sedangkan harga untuk lauk pauk seperti semur rempela, sate telur puyuh, paru goreng, atau dengdeng daging terdapat perbedaan, namun masih dapat dijangkau oleh masyarakat.
Sega jamblang yang digagas sebagai nasi sedekah untuk pekerja rodi, hingga kini masih tetap bertahan. Kendati kondisi ekonomi negeri ini belum stabil, terlebih di masa pandemi seperti ini, sega jamblang masih tetap eksis. Bahkan para juragan sega jamblang mampu menciptakan lapangan pekerjaaan bagi masyarakat sekitarnya. Sega jamblang kuliner khas Cirebon dari masa kolonial ini mampu bertahan dan begitu dengan masyarakat.
Nilai historis mendefinisikan sega jamblang. Masyarakat Cirebon begitu bangga terhadap sega jamblang yang terus tumbuh menjadi bisnis berskala besar maupun kecil. Di samping telah jadi ikon Cirebon seperti halnya Gudeg yang menjadi ikon Yogyakarta, sega jamblang terus merambah pangsa pasarnya. Menurut Akbar Sucipto, sega jamblang tetap bertahan, tetapi mampukah pedagang mempertahankan tradisi daun jati?, lanjutnya lagi. Lebih jauh Akbar Sucipto memaparkan, tanpa daun jati, sega jamblang tidak lagi orisinal.
Penyunting: Nadya Gadzali