Dibalik kesederhanaan bentuknya, alat musik berbahan dasar bilah bambu ini menyimpan beragam filosofi dan keunikan yang cukup mendalam. Namun sayang, eksistensinya semakin hari semakin surut.

Sebagian besar masyarakat di Desa Minggarharjo, Kabupaten Wonogiri, menjalani kehidupannya sebagai seorang petani. Pematang demi pematang mereka lalui setiap hari. Cangkul dan capil seakan jadi alat berperang demi melawan teriknya matahari. Dari situlah sebuah gubuk digunakan sebagai tempat melepas lelah. Teh tubruk dan sebatang rokok membersamai. “Ayo mulih ! ayo mulih ! (ayo pulang ! ayo pulang !) ”, seruan salah seorang petani ketika cahaya semesta mulai redup.

Derap langkah mengiringi mereka sambil memikul setengah karung palawija hasil tuaian, buah tangan yang dibawa ke rumah. Kadang kala petang juga tak menjadi batasan waktu untuk mereka pergi ke ladang. Bahkan untuk sekedar memastikan apakah tanaman mereka aman dari serangan hama di malam hari.

Bagi para petani, tanaman bak anak kandung. Dirawat dan disayang sejak benih hingga tiba waktunya dituai. Apapun mereka lakukan demi tanamannya tumbuh sehat dan subur. Seringkali merelakan diri mereka terjaga di tepi ladang. Karena itulah, rasa jemu menjadi hal yang lumrah. Namun mereka juga memiliki penawarnya, yakni dengan sebuah alat musik. Rinding ko pring namanya.

Alat ini dimainkan oleh para petani di gubuk miliknya pada siang hari dan di pematang sawah di malam hari. Bentuknya yang sederhana membuatnya mudah dibawa dengan mengikatkannya pada kancing baju mereka supaya tak mudah lepas. Dibalik kesederhanaan bentuknya, alat musik berbahan dasar bilah bambu ini menyimpan beragam filosofi dan keunikan. Namun sayang, alat musik rinding ko pring kini tak lagi populer.

Secuplik Sejarah

Rinding ko pring. Nama tersebut diambil dari bahasa Jawa. Rinding berarti bambu. Sedangkan pring memiliki nama lain yaitu wot yang memiliki dua pengertian. Pertama, wot sebagai sebuah jembatan yang terbentang atau satu jalan yang ada pada sungai. Pemaknaan ini mencerminkan sebuah rintangan ketika kita berusaha mencapai tujuan tertentu dalam hidup. Pengertian kedua, wot merupakan tembung sekecap (kata yang diucapkan satu kali).

Kata "sekecap" berhubungan dengan anatomi tumbuhan bambu yang setiap diucapkan dalam bahasa Jawa, hanya satu kali. Dimulai dari batang, ketika masih muda bernama bung dan ketika tua bernama pring. Kemudian pang yang merupakan bagian dahan dari tumbuhan bambu. Berlanjut ke bagian lain yakni ri atau duri, dan yang terakhir ialah dong atau daunnya. Tembung sekecap ini memiliki makna bahwa ketika manusia berucap atau berbicara akan menentukan bagaimana nasib hidupnya. Peribahasa dalam bahasa Jawa ialah becik cilaka gumantung saka kandha (nasib baik maupun buruk ditentukan dari perkataan).

Tentang Eksistensinya

Alat musik ini sempat menjadi primadona sekitar tahun 1960an. Pada masa itu, masih banyak kalangan muda tertarik untuk menjadi pelestari alat musik rinding ko pring. Berbanding terbalik ketika zaman semakin maju dan semakin kuat dampak modernisasi, membuat pelestari dari alat musik ini hanya tersisa sedikit. Namun, hal ini tak membuat Mbah Suliyo patah semangat. Pria berkaca mata ini adalah salah satu pelestari rinding ko pring di Desa Minggarharjo yang masih setia menggeluti alat musik ini.

Sebelum masa pandemi, beliau dan beberapa pelestari lainnya sering meluangkan waktu untuk memainkan rinding bersama-sama. Selain rinding, terdapat alat musik lainnya seperti gembung gung kluwung yang berasal dari batang bambu dengan panjang kurang lebih satu meter, dan gentoworo yang berbahan dasar tanah liat (gerabah).

Sekelompok pemusik ini membentuk sebuah grup kesenian, yakni kesenian rinding. Nama tersebut diambil dari alat musik yang paling dominan, yaitu rinding ko pring. Bagi Mbah Suliyo, alat ini merupakan harta warisan dari sesepuh yang tak ternilai harganya.

Memikat Hati Wanita

Mbah Suliyo memainkan alat musik rinding ko pring/Rachel Sukma Haristana

Wanita adalah insan yang mudah terpikat oleh keindahan. Dari situlah, alat musik rinding diciptakan selain menjadi musik penghibur. Dahulu, alat musik ini digunakan oleh para bujangan untuk menarik perhatian lawan jenis.

Mbah Suliyo mengatakan, cara para bujangan menarik perhatian adalah dengan memainkan rinding di depan rumah seorang remaja perempuan pada sore hari. Dengan cara tersebut, ia akan berpikir bahwa bujangan yang memainkan alat musik adalah orang yang hebat, dan menarik. Dengan demikian, dari situlah asal muasal adanya ketertarikan antara laki-laki dan perempuan di masa itu.

Filosofi Alat Musik Rinding

Sebuah alat musik tentunya tak terlepas dari penamaan di setiap bagiannya. Penamaan bagian alat musik rinding yang disamakan dengan anatomi tubuh manusia ini bermakna bahwa dalam memainkan alat musik ini tidak terlepas dari peran raga manusia.

Bagian pertama pada permukaan atas terdapat lamben. Dalam bahasa Jawa, lamben diartikan sebagai mulut. Tak terlepas dari bagian itu saja, di bagian tengah permukaan rinding terdapat celah yang membedakan antara bagian lamben dan juga ilat-ilatan. Ilat-ilatan diartikan sebagai lidah. Lidah merupakan bagian yang menentukan segalanya ketika kita berbicara. Dalam bahasa Jawa disingkat menjadi tata krama pinangka pangruwating rubeda.

Bergeser ke kanan, setelah ilat-ilatan terdapat bagian menonjol yaitu sentil yang artinya nula pada mulut manusia. Pada bagian ini adalah analogi batasan antara mulut dan tenggorokan manusia. Selanjutnya bergeser ke bagian terpenting dari alat musik ini sebagai sumber bunyi, yaitu pita suara. Pita suara terletak sejajar dengan ilat-ilatan dan juga sentil. Hanya saja permukaannya jauh lebih lebar.

Tak hanya bambu yang mengambil peran pada alat musik ini, di ujung bilah terdapat tali yang diikatkan bernama otot-ototan. Bagian ini mengandung arti bahwa dalam memainkan alat musik ini, dibutuhkan tenaga yang melibatkan otot. Di ujung otot-ototan tersebut terdapat kayu berukuran kurang lebih 5 cm dengan diameter kurang lebih 3 inci yang berfungsi sebagai pegangan. Bagian pegangan ini pun memiliki makna yang unik, yaitu tentang kepercayaan yang teguh pada pencipta alam semesta.

Suara yang Sarat Makna

Terlepas dari bagian-bagian alat musik rinding yang memiliki filosofi dan korelasi dengan tubuh manusia, ternyata suara yang dihasilkan dari alat musik rinding memiliki filosofi yang begitu erat dengan alam.

Alam dalam pengertian kali ini dikaitkan pada tumbuhan padi. Suara yang dihasilkan meliputi huruf vokal A yang berarti arang atau jarang. Dalam hal menanam di lahan sawah, padi harus ditanam dengan jarak tertentu agar padi dapat tumbuh dengan sehat.

Selanjutnya huruf I yang berati iwir. Iwir memiliki arti bahwa dalam menanam padi haruslah satu batang demi satu batang. Kemudian U yang berarti urut. Arti urut yaitu dalam tata letak menanam padi tidaklah sembarangan, melainkan harus tertata rapi sesuai jarak yang ditentukan. Kemudian yang terakhir adalah vokal rangkap yakni O dan E yang jika dibunyikan akan berbunyi OE. Vokal O berarti oleh-olehane (hasilnya) dan E yakni elok yang berarti hebat. Maka jika disatukan, OE berarti hebat hasilnya. Bunyi vokal yakni A, I, U, dan OE merupakan kesatuan yang jika dibunyikan, mencerminkan sifat dari tanaman padi. Ketika memainkan alat musik rinding, penggunaan huruf vokal ini harus dilakukan supaya memiliki hasil yang luar biasa.

Mengusir Hama Dengan Rinding

Rinding ko pring: alat musik serbaguna yang digunakan untuk hiburan, memikat lawan jenis, hingga pengusir hama di lahan pertanian/Rachel Sukma Haristana

Selain sebagai alat musik hiburan dan pemikat hati wanita, rinding juga dipercaya oleh masyarakat Desa Minggarharjo sebagai pengusir hama di sawah. Namun, hal ini tak sebatas kepercayaan saja. Pada saat hama menyerang, para petani memainkan alat musik ini di pemantang sawah pada malam hari.

Dalam durasi tertentu, hama-hama di sawah seperti tikus, wereng, dan hama-hama lainnya merasa terusik dan akhirnya pergi meninggalkan sawah. Menurut Mbah Suliyo, dari suara rendah yang dihasilkan rinding, hama-hama menjadi enggan mendekat. Meskipun demikian, seiring berjalannya waktu penggunaan alat musik rinding untuk mengusir hama semakin jarang digunakan. Mbah Suliyo berharap alat musik ini tetap lestari dan tak hanya menjadi sebuah cerita.

Penyunting: Nadya Gadzali