Etnis.id - Sejak dahulu hingga saat ini masyarakat Sulawesi-Selatan (Sulsel) khususnya suku Bugis-Makassar telah mengenal sebuah tradisi yang cukup ekstrem yakni, saling tikam dalam sarung. Tradisi saling tikam dalam sarung pada bahasa Bugis dikenal dengan sebutan sigajang laleng Lipa. Sementara, di suku Makassar masyarakat lebih sering menyebutnya sitobo laleng lipa.

Tradisi saling tikam dalam sarung sendiri merupakan pilihan terakhir jika suatu persoalan yang menyangkut siri' atau malu tak menemui penyelesaian lewat musyawarah dan mufakat. Maka jalan terakhir jika musyawarah dua keluarga gagal menemui kata sepakat adalah dengan merestui duel dua orang dari masing-masing perwakilan keluarga (laki-laki) untuk diselesaikan dalam satu sarung.

Penyelesaian persoalan dalam sarung ini menggunakan senjata tradisional suku Bugis-Makassar, yaitu badik. Dua laki-laki yang mewakili masing-masing dari pihak keluarga akan bersenjata badik lalu terlibat saling tikam dalam sarung. Persoalan kemudian dianggap selesai jika pertarungan hidup dan mati tersebut juga usai.

Pada berbagai kejadian, tradisi sigajang laleng lipa sering berlangsung lama. Dan hasilnya kerap imbang jika dua laki-laki yang bertikai tetap hidup ataupun sama-sama meninggal.

Adat telah mengatur jika hasil akhir dari sigajang laleng lipa tidak akan melahirkan dosa warisan, ataupun persoalan lain yang ditimbulkan akibat pertarungan tersebut. Sehingga takkan ada pertikaian lanjutan usai berakhirnya pertarungan sigajang laleng lipa.

Seiring waktu, tradisi sigajang laleng lipa telah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Bugis-Makassar. Masyarakat saat ini akan lebih mudah menjumpai tradisi warisan leluhur ini dari atas panggung budaya. Sigajang laleng lipa tetap dilestarikan sebagai salah satu warisan budaya asli di Sulsel. Sehingga atraksi dua laki-laki dalam satu sarung akan kerap dijumpai dalam pentas seni dan budaya.

Persamaannya dengan Carok

Jika di Sulsel mengenal istilah sigajang laleng lipa, maka di Jawa Timur (Jatim), tepatnya di Pulau Madura akan dikenal tradisi carok. Sama dengan sigajang laleng lipa di Sulsel, carok di Madura juga merupakan cara terakhir menyelesaikan masalah lewat duel sesama laki-laki. Carok terjadi juga karena hal yang sama yakni, jika penyelesaian masalah dengan cara baik-baik tak menuai hasil. Dan cara ini juga merupakan budaya dalam masyarakat Madura.

Tak hanya persamaan antara carok dengan sigajang laleng lipa, tetapi juga ada perbedaan. Carok berbeda soal jumlah laki-laki yang terlibat dalam duel. Sigajang laleng lipa hanya melibatkan duel dua laki-laki dalam satu sarung.

Sementara pelaku carok tidak harus dua orang, dan biasanya duel terjadi dengan banyak orang atau carok massal, dan terjadi di suatu tempat yang telah disepakati. Biasanya, carok massal terjadi karena sesuatu yang dilakukan oleh satu orang telah melukai harga diri lebih dari satu orang.

Ada beragam sebab sehingga carok kerap terjadi. Selain soal hutang-piutang, fitnah, dan masalah lainnya. persoalan terbesar yang menimbulkan carok karena perempuan dan perselingkuhan. Sementara senjata yang kerap digunakan adalah celurit.

Carok sendiri juga kerap berakhir dengan korban yang meninggal. Ada dua pilihan bagi pelaku, biasanya akan menyerahkan diri ke polisi usai terlibat carok ataukah menyembunyikan diri. Itulah sekilas persamaan dan perbedaan sigajang laleng lipa di suku Bugis-Makassar dan carok di Madura.

Keberagaman budaya nusantara memang selalu menarik untuk dipelajari. Karena selain punya banyak perbedaan tetapi juga akan banyak persamaan. Inilah salah satu kebanggan kita di Indonesia yang bersatu dalam Bhineka Tunggal Ika.