Etnis.id - Kita sering melihat dan mendengar hasil rekaman musik dengan begitu indahnya. Namun saat melihat pertunjukan itu secara langsung, jauh panggang dari api. Banyak hal baru yang tak ditemui dari hasil dokumentasi yang dilihat atau didengar sebelumnya.
Artinya, dokumentator (perekam) “memanipulasi” editing semata, agar hasil perekamannya tampak bagus dan ideal untuk dilihat dan didengar walaupun dengan mengesampingkan fakta-fakta natural (artistik) yang terjadi di lapangan (field).
Lihatlah hasil perekaman musik gamelan yang indah dan jernih, sementara sebenarnya ada suara-suara yang dihilangkan. Suara itu berupa getaran bunyi saron atau instrumen bonang yang sedikit pecah, suara batuk pemain rebab. Atau kempul dan kenong yang gaungnya terlalu lama, sehingga dirasa menganggu suara instrumen lainnya.
Dengan demikian, ada pertanyaan besar. Apakah dokumentator semata berpihak pada capaian kualitas hasil perekaman dengan menafikkan fakta-fakta yang ditemuinya?
Dualisme
Ada dualisme yang saling bertentangan saat dokumentasi seni pertunjukan dilakukan. Pertama, dokumentasi kesenian mengandalkan hukum-hukum perekaman yang ada.
Tujuannya agar hasil dokumentasi memenuhi kadar estetika sebagai sebuah karya dokumentatif yang layak untuk didengar dan dilihat. Dokumentator seolah berhak mengatur dan mengubah posisi pemain agar kadar kesimbangan auditif atau visual terjadi.
Sebagai contoh pada awal tahun 2000-an, dokumentasi audio seni pertunjukan Kuntulan Banyuwangi dilakukan oleh sekelompok orang. Hasilnya digunakan sebagai bahan ajar di kelas-kelas antropologi, etnomusikologi, serta di sekolah atau perguruan tinggi seni musik.
Dokumentator berusaha mengubah posisi pemain, tentu saja untuk menjaga keseimbangan kadar “stereo auditif” (kanan dan kiri). Pemain jidor yang biasanya di tengah diganti di pinggir, dan begitu seterusnya.
Terlebih editing dilakukan berulang kali, berusaha menghilangkan suara-suara “berisik” yang menganggu. Hasil akhir perekaman suara nampak jernih, layaknya perekaman itu dilakukan di studio besar dengan peralatan yang canggih.
Namun hasil akhir itu bagi sebagian pengamat ternyata dianggap tidak layak, apalagi jika digunakan sebagai bahan ajar di dunia pendidikan yang menjadikan kebenaran sebagai pijakan. Alasannya sederhana, karena tidak sesuai dengan realitas yang terjadi di lapangan.
Pada konteks inilah terminologi “kedua” menjadi penting. Perekaman idealnya dilakukan tanpa mengubah atau mengatur posisi pemain. Apa yang didengar dalam hasil rekaman, sebisa mungkin sama persis saat mendengarkan musik itu secara langsung (live).
Dokumentator tidak diperkenankan menjadi sutradara yang mengatur peran pemain. Ia bukanlah bagian dari pemain, sehingga tidak memiliki kuasa berlebih untuk menentukan kualitas estetika sebuah pertunjukan. Dengan demikian, dokumentator seni pertunjukan tradisi memiliki kaidah kerja jurnalistik, menyampaikan sebuah kebenaran.
Hasil rekaman bisa saja noise, bising serta banyak suara yang menganggu. Tapi itulah realitas yang ada. Bahkan embusan angin dan suara kerumunan penonton menjadi unsur penting yang tak boleh dianggap sebagai hambatan.
Pada titik inilah letak estetika dokumentasi seni pertunjukan yang sesungguhnya. Sama seperti tukang foto keluarga, ia sejatinya tidak diperkenankan untuk mengatur anggota keluarga yang difotonya. Biarkan keluarga itu berpose dan memilih posisi sesuai estetika personal yang diyakininya.
Foto kemudian tidak hanya berisi tentang gambar, namun juga merekam sebuah peristiwa berujud kejujuran sebuah subjek foto. Pada tahap ini, dokumentator idealnya mengambil laku kerja seorang pelukis.
Pelukis tidak berusaha mengatur sosok manusia yang dilukis untuk tersenyum atau berpose menuruti kehendaknya. Biarkan pose dan ekspresi wajah itu natural tanpa dibuat-buat. Ia menempatkan sosok yang dilukis sebagai subjek bukan objek.
Kadang kita bisa merasakan beban persoalan, keluguan, kekonyolan, kepolosan dari wajah yang dilukis. Merekam dengan demikian membekukan sebuah kisah berbasis kebenaran.
Salah
Di televisi, kita seringkali menjumpai seorang penyanyi dengan suaranya yang bagus, jernih, indah dan memukau. Namun suara itu adalah hasil rekaman yang diputar kembali.
Sementara penyanyi hanya menggerakkan bibir dan tubuh sesuai irama dan teks lagu (lip sync). Jangan kaget kemudian jika penyanyi itu bernyanyi secara langsung dan suara yang dihasilkan jauh dari kata layak, alias cempreng, falsh alias sumbang.
Atau saat menjumpai foto teman di akun facebook dan twitter dengan wajah rupawan, halus, putih dan mulus. Namun saat bertemu, jerawat dan bekas luka ada di hampir seluruh wajahnya.
Sebenarnya rekayasa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi, mengubah sesuatu sehingga berjarak dari realitas. Begitu juga dalam perekaman seni pertunjukan. Dokumentator seringkali hanya memiliki ilmu perekaman, namun tak dibekali kesadaran dalam memperlakukan subjek perekaman.
Pada konteks ini, perlu adanya pengamatan dan penelitian dalam mendokumentasi seni pertunjukan. Artinya, dokumentator bertindak dengan mengamati dan mencatat setiap fenomena yang terjadi di seputar seni pertunjukan itu.
Kadang kala suara atau gambar yang awalnya tidak dianggap penting, justru menjadi poin utama yang menandakan ciri khas sebuah pertunjukan. Merekam pertunjukan gamelan sekaten secara auditif misalnya.
Suara kegaduhan pasar malam dan keramaian lalu-lalang manusia menjadi hal penting yang tak boleh diabaikan. Sekaten hidup dan bertahan di tengah kebisingan itu. Dengan mendengar hasil rekaman, kita seolah berada di pertunjukan gamelan sekaten yang sebenarnya dengan berdesakan di tengah banyaknya manusia.
Artinya, rekaman tidak berjarak dari realitas. Namun tentu saja, kembali lagi, untuk apa rekaman itu harus dilakukan adalah pertanyaan penting yang menentukan cara, konsep dan metodologi.
Jika rekaman digunakan untuk sarana pembelajaran praktik di sekolah musik gamelan, kejernihan suara adalah hal mutlak. Dengan demikian, merekam seni pertunjukan, terutama berbasis tradisi, bukanlah persoalan sepele. Ada tujuan yang harus diungkap dan tak boleh disembunyikan.
Dokumentasi tidak hanya berisi penggalan peristiwa kesenian, namun juga menjadi telisik sebuah ekspresi budaya. Kadang kita kehilangan “jejak sosial” seni pertunjukan tradisi yang hidup di Indonesia.
Sementara hasil rekaman yang ada, semata berkisah tentang bunyi atau gambar, tanpa mampu memotret hegemoni kultural yang melingkupi kesenian itu. Kita kemudian tak lagi bisa merasakan keanggunan sekaten dengan pasar malamnya, gamelan dengan suara gaungnya, gandrung dengan kehidupan para tukang paju yang eksotis, tayub dengan minuman kerasnya serta reog dengan kesakralannya.
Dokumentasi pertunjukan adalah kerja kebudayaan. Mendokumentasikan seni pertunjukan tradisi adalah jembatan yang menghubungkan manusia lintas generasi. Kita tak pernah tahu, mungkin esok atau lusa seni pertunjukan tradisi itu segera berpamit mati.
Editor: Almaliki