Etnis.id - Hubungan antara budaya dan politik ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Politik berakar dari budaya, sejarah, dan ideologi dari suatu bangsa. Makanya warna dan arah politik suatu bangsa bisa dilihat dari budaya negaranya.
Perancis misalnya, terkenal dengan budaya liberal dan kesetaraannya. Hal ini menjadi landasan sikap politiknya yang cenderung terbuka dan tidak segan bersitegang dengan lawan-lawannya.
Di Indonesia, contoh bagaimana budaya mempengaruhi sikap politik bisa dilihat dari mekanisme musyawarah-mufakat, yang bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia. Namun, hal sebaliknya pun bisa terjadi, di mana politik membentuk budaya.
Bisa dilihat dengan jelas dalam kasus G30SPKI. Pergolakan politik itu berimbas cukup signifikan dalam kehidupan berkebudayaan di Indonesia. Sentimen terhadap kebudayaan yang dipicu politik merebak dan membunuh banyak sekali kebudayaan. Seperti Srandul, kesenian yang berasal dari Kota Gede yang mesti dibekukan oleh pemerintah orde baru hanya karena pengelolanya berada di desa yang didominasi oleh kaum “kiri”.
Pada era demokrasi seperti sekarang, masih banyak kebijakan politik yang berdampak buruk bagi kehidupan atau keutuhan kebudayaan. Salah satu dari kebijakan tersebut adalah pemekaran wilayah. Meski disebutkan Simanjuntak (2013 :xiii), pemekaran wilayah memberikan pembaruan hidup bagi masyarakatnya, namun sering kali mengabaikan aspek kebudayaan dan hanya berfokus pada aspek ekonomi saja.
Hal ini menjadi runyam karena keutuhan kebudayaan suatu etnis bisa teriris-iris oleh batas administrasi wilayah. Mungkin saja terjadi sebab pada dasarnya, geobudaya takluk pada geopolitik. Hal inilah yang diangkat oleh Sahidin dalam disertasinya yang berjudul Katingka dan Zikir dalam Tradisi Ritual Meagoliwu pada Masyarakat Koroni Desa Lasiwa, Kecamatan Wakorumba Utara, Kabupaten Buton Utara.
Sahidin menganalisis dampak pemekaran wilayah Sulawesi Tenggara terhadap keutuhan budaya masyarakat Koroni, yakni ritual Meagoliwu. Tulisannya diawali dengan pendeskripsian ketat soal apa dan siapa itu Koroni.
Koroni ialah etnis yang mendiami wilayah utara pulau Buton dan berasal dari Kaili Sulawesi Tengah. Secara historis, persebaran Meagoliwu mencakup beberapa wilayah yang saat ini telah dibagi menjadi beberapa wilayah desa, sebagai dampak dari kebijakan pemekaran wilayah.
Keberadaan geopolitik ini secara signifikan mempengaruhi eksistensi dari Meagoliwu. Desa menjadi tembok antara ritual satu dengan yang lain. Tidak ada kolektifitas etis lagi. Adanya individualisme yang dibentuk oleh garis administrasi desa.
Sebelum lebih jauh berbicara tentang dampak pemekaran wilayah, mari membicarakan Meagoliwu yang berakar dari kepercayaan masyarakat terhadap mahluk gaib penunggu hutan. Hutan yang belum pernah dijamah manusia dipercayai dihuni dan dijaga oleh makhluk tak kasat mata.
Olenya, mereka membuat sesajen dengan menggunakan rumah-rumahan kecil yang disebut Katingka, sebagai simbol negosiasi masyarakat dengan makhluk gaib tersebut. Hal ini dilakukan sebelum mereka membuka hutan untuk keperluan lahan pertanian mereka.
Seiring perkembangan zaman, masyarakat tidak hanya menggunakan ritual ini untuk keperluan membuka lahan. Untuk memohon keselamatan desa pula. Ritual yang dilakukan di dalam desa inilah yang disebut Meagoliwu, sedangkan ritual yang
dilakukan untuk keperluan membuka lahan disebut Kaago-ago.
Meagoliwu terdiri dari dua kata, yakni Maego dan Liwu dan berasal dari bahasa Taaloki. Meagoliwu bermakna pengobatan kampung atau negeri yang dilakukan dua kali dalam setahun. Setiap pergantan musim timur ke barat dan sebaliknya.
Ritual, yang dipimpin oleh imam desa atau bisa ini diadakan sebagai wujud komunikasi terhadap yang gaib dan dilakukan untuk menolak malapetaka. Ritual ini dapat disejajarkan dengan ritual bersih desa di Jawa.
Soal pemekaran wilayah yang menghasilkan desa-desa baru ini, pada akhirnya mendorong kemunculan lembaga-lembaga pendukung pemerintahan seperti sara. Sara adalah alat kelengkapan desa yang bertugas untuk menjaga tradisi di dalam desa.
Karena sara adalah alat kelengkapan desa, maka wilayah kerja mereka dibatasi oleh garis administrasi desa itu sendiri. Desa dianggap sebagai rumah tangga dan menjadi tabu bila rumah tangga satu berusaha ikut campur dalam urusan rumah tangga lainnya.
Hal yang sama juga berlaku dalam ranah kebudayaan. Meagoliwu yang merupakan ritual milik etnis Koroni menjadi seolah-olah milik desa tertentu. Sehingga otomatis, desa yang masih memiliki tetua adat bisa melaksanakan Meagoliwu, sedangkan desa tanpa tetua, akan kehilangan ritual berumur ratusan tahun ini.
Sara juga harus mendapatkan dukungan dan persetujuan dari pemerintah setempat. Ini memaksa mereka untuk bernegosiasi kultral demi mendapatkan izin dari pemerintah desa. Hal ini bisa membuat ritual amat berbeda antara desa satu dengan desa yang lain, sebab kebijakan tentang bagaimana ritual diadakan bergantung pada kepala desa.
Apabila kepala desa kebetulan mempunyai pandangan politik sendiri, misalnya punya kecenderungan pemahaman agama terntentu yang kaku, maka hal itu akan mempengaruhi warna Meagoliwu.
Di desa Lasiwa, salah satu desa hasil pemekaran wilayah, Sahidin menemukan ritual Meagoliwu dilaksanakan dengan dua cara, yakni Katingka yang kental dengan aroma Hindu dan zikir yang telah mendapatkan pengaruh Islam.
Ada dua hal unik terkait dengan ritual ini. Pertama, meski seolah dua ritual ini bertolak belakang, namun dalam pelaksanaannya tidak terjadi gesekan antara keduanya. Bahkan dalam Katingka, ritual ini mengundang imam desa untuk memimpin doa.
Hal unik selanjutnya adalah bahwa zikir yang merupakan varian dari Meagoliwu tidak berasal dari kesadaran masyarakat tentang agama Islam, melainkan dari ingatan traumatis masyarakat sekitar terhadap kekerasan yang dilakukan oleh DI/TII.
Kedua bentuk ritual yang berbeda ini pada dasarnya menunjukkan sifat adaptatif budaya dalam merespons derasnya arus perubahan. Namun, di antara desa-desa bekas wilayah Koroni lainnya, hanya Desa Lasiwa yang berhasil mempertahankan ritual peninggalan nenek moyang mereka. Namun sekali lagi, karena desa dianggap rumah tangga, maka sara dari desa hanya berkewajiban mengurus kebudayaan di desa masing-masing.
*
Dari uraian singkat di atas, bisa kita lihat bagaimana politik (pemekaran wilayah)
mempengaruhi kebudayaan. Pemekaran wilayah yang abai terhadap budaya seingkali membuat budaya tersegregasi bahkan terisolasi.
Budaya yang menjadi satu kesatuan dengan masyarakatnya dan menjadi identitas kultural, harus terbelah oleh garis administrasi politik yang berpotensi mematikan budaya.
Editor: Almaliki