Etnis.id - Barongan Blora mampu bertahan. Sewindu terakhir, kesenian ini dapat tempat istimewa di hati pelaku seni, khususnya yang memiliki kedekatan dengan Kabupaten Blora.

Kesenian ini menjadi andalan tidak lepas dari peran pemerintah. Lewat Dinas Kepemudaan Olahraga Pariwisata dan Kebudayaan, kelompok-kelompok kesenian Barong terfasilitasi untuk tampil dalam gelar kegiatan.

Dalam Barongan Blora, diadopsi hikayat Panji yang mengisahkan asmara antara Raden Panji, Dewi Sekartaji, dan Klana Sewandana. Tokoh yang ditampilkan terdiri dari Singobarong yang disebut Gembong Samijoyo, Bujang Ganong, dan pasukan berkuda.

Awalnya Barongan Blora merupakan kesenian rakyat yang marak ditampilkan dalam acara bersih desa. Seiring waktu, ia menjadi primadona untuk dipertontonkan di segala acara. Di sisi lain, Barongan Blora juga banyak dipilih sebagai materi festival atau perlombaan.

Pasukan Barongan mengelilingi desa diiringi musik/Etnis/Indah Cahyasari

Kelanjutan seni Barong ke panggung festival, berkontribusi dalam mengembangkan bentuk tekstualnya. Elemen koreografi yang semula terkesan sederhana, kini dikemas lebih artistik. Tentunya, dalam arena perlombaan, kelompok-kelompok seni Barong berupaya menyuguhkan penampilan terbaik.

Tidak sedikit dari mereka yang meluangkan waktunya untuk berlatih secara berkala demi menunjang kualitas kebertubuhan dan musikalitas. Kreativitas mereka dalam mengemas Barongan, bisa kita simak dalam acara festival yang dihelat setiap tahun.

Selama perhelatan berlangsung, tampak jelas masing-masing kelompok berusaha memikat perhatian juri melalui properti, garap gerak, dan garap musik yang dialunkan lewat demung, saron, kendhang, peking, kenong, gong, jedhor, bas drum, dan simbal. Tak ketinggalan, pemilihan warna pada rias wajah dan aksesoris diserasikan dengan warna busana yang dikenakan.

Beradu strategi merupakan hal umum dalam perlombaan Barong. Wajar, bila tiap kelompok cenderung memamerkan atraksi tak terduga lewat kelincahan gerak, ketahanan, kekuatan, dan kerampakan gerak. Hal ini sengaja dipilih sebagai ajang aktualisasi diri yang bertujuan menumbuhkan kekaguman penonton.

Di balik gemerlap pentas Barongan di arena perlombaan, terdapat hal lain yang menarik untuk dibicarakan. Karenanya, secara khusus saya mencoba membaca sisi lain Barongan Blora yang berkembang di Desa Balun Kecamatan Cepu.

Mbarong mubeng

Lazimnya kehidupan anak desa di sore hari, Rifky, Romi, Zidane dan dua anak lainnya duduk meriung di serambi rumah pak RW. Mereka berbincang santai mendiskusikan aktivitas yang akan dilakukan, sembari tertawa. Sesekali mereka melontarkan pertanyaan kepadaku yang duduk tak jauh dari mereka.

Bersantai di serambi rumah pak RW merupakan kebiasaan warga Desa Balun, sebab di sinilah tempat pelbagai acara diadakan, mulai dari latihan karawitan, latihan menari, membuat kerajinan batu akik, rapat, dan acara lainnya. Setelah beberapa menit berdiskusi, terdengar suara Rifky menyeletuk “mbarong mubeng yo!” yang artinya keliling desa dengan mempertunjukan kesenian Barongan.

Singobarong sedang menari di depan penonton/Etnis/Indah Cahyasari

Menjajakan kesenian barong keliling desa bukan hal pertama bagi Rifky dan
teman-teman. Hanya saja kegiatan ini jarang mereka lakukan, mengingat tidak semua anak-anak desa merupakan anggota group seni Barong Desa Balun. Makanya sepak bola dan vollly menjadi aktivitas alternatif yang lebih sering mereka pilih.

Mendengar kata mbarong mubeng membawa fantasi saya pada pertunjukan jalanan yang biasa ditemui di pinggir lampu merah. Namun saya tidak dapat membayangkannya lebih jauh, karena ini pengalaman baru bagi saya. Tanpa berpikir panjang, saya bergegas ikut konvoi mereka.

Sebelum mengitari desa, Romi dan Zidane mendatangi rumah pemusik dan penari yang tidak ikut berdiskusi, sedangkan Rifky dan dua teman lainnya mengeluarkan properti dan alat musik yang disimpan di rumah pak RW.

Setelah semua penari dan pemusik berkumpul, mereka segera menyuarakan alat musik kendhang, simbal dan bass drum sambil berjalan. Suara alat musik menyedot animo masyarakat. Seketika orang-orang datang menghampiri, mengakibatkan pasukan konvoi mbarong mubeng semakin banyak.

Rifky memerankan tokoh Bujang Ganong/Etnis/Indah Cahyasari

Alat musik yang terus ditabuh tanpa henti membuat warga lain yang mendengar, segera keluar rumah.  Mereka tampak menuggu kesenian ini melewati depan rumahnya. Pemandangan yang demikian sering saya lihat selama perjalanan. Apabila warga yang berkerumun berjumlah banyak, maka secara khusus penari akan berhenti dan menyuguhkan tari yang lebih rumit dalam waktu yang lebih lama.

Semua aksi penari menjadi daya pikat tersendiri bagi penonton, hal tersebut
ditandai dengan komentar maupun kehebohan yang ditimbulkan selama pertunjukan berlangsung.

Sisi lain mbarong mubeng

Mbarong mubeng dapat dikatakan sebagai respons pelaku seni Barong Desa Balun atas kompleksitas menari di forum perlombaan, yang mementingkan standardisasi. Dengan berkeliling desa, mbarong mubeng seolah ingin menawarkan
cara pentas yang berbeda dengan jalan sebagai panggungnya.

Spontanitas yang kerap muncul saat mbarong mubeng menjadi sensasi tersendiri yang tidak dapat dihadirkan difestival. Kegiatan berkeliling desa dengan Barongan tidak hanya menyuguhkan bentuk teksnya saja (elemen-elemen yang terkandung dalam tari dan musik), melainkan relasi antara kesenian dengan kehidupan sosial masyarakat setempat (konteks) juga menjadi kekhasan yang unik. Seolah menyuratkan bahwa apapun yang dilakukan seperti tawar-menawar, candaan, dan lainnya adalah bagian dari pertunjukan itu sendiri.

Menyaksikan warga dalam menyambut kesenian Barong menjadi jawaban sekaligus bukti diterimanya kesenian Barong. Dengan perkataan lain, adanya mbarong mubeng menjadi hiburan pelaku seni dan warga yang menonton.

Romi sedang mengenakan topeng Bujang Ganong/Etnis/Indah Cahyasari

Menurut penari dan pemusik, mbarong mubeng adalah wadah yang efektif untuk mereka berlatih. Suasana santai mendorong mereka lebih leluasa dalam
berekspresi. Mereka dapat tampil tanpa dibayang-bayangi rasa cemas. Bahkan mereka secara bebas dapat berimprovisasi gerak sesuai keinginan.

Hal menarik lain yang saya dapati adalah, saya benar-benar diajak untuk menyelami kehidupan seni Barong yang merakyat. Kedekatan, keterbukaan, dan kejujuran tertanam jelas. Apabila saat menyaksikan sebuah festival tidak semua penonton diizinkan untuk melihat proses persiapan dan kegitan di belakang panggung. Di mbarong mubeng, semua itu dipertontonkan.

Terlebih saya dapat sesuka hati melihat atraksi penari dari bermacam sudut: Depan, belakang, maupun samping, secara berpindah-pindah. Pentas yang terkesan lebih sederhana tidak melulu miskin sensasi. Justru dengan dengan mbarong mubeng, kesan-kesan yang semula tak dapat muncul di acara festival, dapat hadir dengan konteks yang utuh. Agaknya dengan cara inilah mbarong mubeng membuat saya merasakan nikmat hingga berakhir pada kekaguman.

Editor: Almaliki