Etnis.id- Di Sulawesi Selatan, kita mengenal ritual mappalili' sebagai ritual yang dilakukan sebelum masyarakat menyambut dan menggelar musim bertanam padi. Hal demikian dilakukan agar hasil panen nantinya melimpah. Dalam tradisi masyarakat Jawa, ritual serupa juga dilakukan. Tepatnya di Kabupaten Banyuwangi, masyarakatnya menggelar ritual Kebo-keboan yang dilakukan setiap tahun demi mendapatkan kesuburan tanah dan keberkahan dari alam. Salah satu daerah di Kabupaten Banyuwangi yang masih rutin menggelar ritual leluhur itu, yakni Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh.

Upacara tradisional Kebo-keboan disebut juga dengan upacara bersih desa yang dirangkaikan dengan ritual slametan. Tujuannya adalah memohon kesuburan tanah, panen melimpah, keamanan lingkungan, ketenangan hidup, dan dijauhkan dari malapetaka. Upacara tradisional ini dilaksanakan antara tanggal 1 sampai dengan 10 Sura dan dipilih pada hari Minggu, tanpa melihat hari pasaran. Hari itu dipilih sebab masyarakat Alasmalang  bekerja setiap hari, kecuali di hari minggu. Sementara itu, dipilihnya bulan Sura sebagai bulan pelaksanaan upacara Kebo-keboan dengan pertimbangan bahwa menurut kepercayaan orang Jawa, bulan Sura dianggap sebagai bulan keramat.

Kebo-keboan diawali oleh beberapa persiapan, misalnya satu minggu sebelumnya diadakan kegiatan gotong-royong membersihkan lingkungan rumah dan desa. Selanjutnya, satu hari menjelang dilaksanakannya ritual Kebo-keboan, para ibu
bersama-sama mempersiapkan sesaji yang terdiri atas: tumpeng, peras, dan ingkung. Selain itu, dipersiapkan pula berbagai perlengkapan upacara seperti para bungkil, singkal, pacul, pera, pitung tawar, beras, pisang, kelapa dan bibit tanaman padi. Malam harinya para pemuda menyiapkan berbagai macam hasil tanaman palawija seperti pisang, tebu, ketela pohon, jagung, pala gumantung, pala kependhem, pala kesimpar. Tanaman tersebut ditanam disepanjang jalan. Selain itu dipersiapkan pula bendungan air yang digunakan untuk mengairi tanaman palawija.

Pagi hari sebelum ritual digelar,  setiap rumah warga telah disiapkan sesaji berupa golong, kupat lepet, dan aneka jenang. Selain itu disiapkan pula sesaji yang dipakai untuk selamatan desa. Sesaji tersebut ditempatkan di ujung perempatan Desa Krajan. Adapun sesajinya berupa tumpeng, peras, air kendhi, kinang ayu, ayam panggang, aneka jenang dan kelengkapannya. Kemudian satu jam menjelang puncak acara, masyarakat menggelar tikar di depan rumah masing-masing dan sesaji diletakkan di tikar.

Sebelum ritual dimulai, masyarakat melakukan ikrar dan doa yang dipimpin oleh sesepuh desa. Acara selanjutnya menyantap sesaji yang menurut kepercayaan mereka makan sesaji akan mendapatkan keberkahan. Setelah itu dilakukan pawai ider bumi, yaitu arak-arakan mengelilingi Dusun Krajan dengan membawa lambang Dewi Sri beserta pengiringnya serta warga yang akan melakukan ritual kebo-keboan, pawang, para petani pembawa sesaji, musik hadrah, dan barongan. Pawai ider bumi dimulai di Petaunan. Pawang membaca mantra dan mengusap pitung tawar dan diusapkan pada semua Kebo-keboan dan pengiringnya sebagai tolak bala. Kemudian arak-arakan menuju bendungan air,  yang kemudian air dialirkan di sepanjang jalan dusun yang telah ditanami pohon. Selanjutnya dilakukan pawai ider bumi mengelilingi dusun yang berakhir di persawahan sebelah utara Dusun Krajan. Di persawahan itulah Kebo-keboan memulai perilakunya seperti kerbau yang membajak sawah dan berkubang di sawah. Setelah dirasa cukup waktu untuk berkubang, dilanjutkan dengan pelaksanaan membajak sawah oleh Kebo-keboan. Setelah itu kemudian dilanjutkan dengan menanam benih padi. Di area persawahan ini, Kebo-keboan biasanya kesurupan dan mengejar siapa saja yang mengganggu dan mengambil benih padi yang baru ditanam di sawah. Acara selanjutnya yaitu digelar pagelaran wayang kulit dengan lakon Sri Mulih dengan harapan agar warga Dusun Krajan mendapatkan hasil panen padi yang melimpah.

Ritual Kebo-keboan sampai hari ini masih terus dilaksanakan. Konon, jika tidak dilakukan maka warga desa akan tertimpa bencana. Menurut penulusuran Ernawati Purwaningsih, dalam tulisannya Kebo-Keboan, Aset Budaya di Kabupaten Banyuwangi menyebutkan bahwa dalam sejarah perjalanan upacara
tradisional Kebo-keboan, pernah ketika tahun 1967-an, lurah masa itu pernah
mencoba menghilangkan dan hanya membuat selamatan saja. Ternyata ada
beberapa kejadian, di mana banyak penduduk yang kesurupan, banyak rumah
rusak. Beberapa tahun sebetelahnya, ritual ini pernah dihilangkan dan kejadian serupapun terjadi. Atas dasar itu, ritual ini masih terus lestari hingga saat ini bahkan dijadikan sebagai komoditas budaya oleh pemerintah Kabupaten Banyuwangi.