Di Klaten, kesenian janthilan kiranya sudah karib di benak kebanyakan masyarakatnya. Kesenian janthilan bagi kebanyakan orang sudah dianggap ‘melegenda’, alhasil setiap kali ada pesta desa, kesenian ini seringkali dipertontonkan. Rampak dan atraktif menjadi ciri khas kesenian janthilan. Dalam kesenian beraliran totemisme ini, terdapat fase yang ditunggu oleh penonton dalam repertoar sajiannya, yakni ketika ndadi (trance).
Saat peristiwa ndadi, penari janthilan berada di luar kesadarannya. Sehingga, gerak-gerik para penari menjadi tontonan yang menarik. Bahkan, seringkali melakukan aksi nyentrik nan menyeramkan, seperti memakan pecahan piring, memanjat pohon yang tinggi, memakan ayam mentah, dan lain sebagainya. Alih-alih penonton bubar karena “ketidak-manusiawian” dari sajian, peristiwa ini justru menjadi yang dinanti-nantikan oleh para penikmatnya.
Peristiwa menarik lain yang krusial bagi saya ialah musiknya. Selain faktor kepercayaan lokal, tampaknya musik janthilan juga menjadi salah satu faktor terjadinya ndadi. Secara subjektif, ketika saya menonton pertunjukan janthilan, saya mencoba untuk mendengarkan repertoar musiknya tanpa melihat pertunjukan geraknya. Dalam beberapa waktu saya melakukan hal ini, saya terhanyut pada bunyi yang saya dengar. Ketika saya membuka mata, kepala saya terasa mengambang.
Sebelumnya, saya juga pernah mengalami peristiwa yang sama ketika tengah mengerjakan transkripsi bunyi bundengan. Saat itu, rekaman bundengan klasik dari Pak Munir bertajuk “Sulasih-Sulandono”. Ketika saya tengah fokus memerhatikan bunyi dawai bundengan, di dalam kepala saya terasa mengambang; saya terhanyutkan olehnya. Kedua peristiwa ini saya rasakan tidak hanya sekali, melainkan beberapa kali, bahkan dengan musik yang sama.
Dari kedua peristiwa itu, saya berasumsi bahwa terdapat kesamaan pola musikal yang mampu melahirkan repetisi bunyi. Bunyi dari ansambel janthilan cenderung memiliki pola ritme yang statis dan diulang terus-menerus. Dalam bunyi dawai bundengan, ditemui juga pola yang sama. Barangkali karena memang dawai bundengan mengadaptasi bunyi ricikan struktural dalam gamelan, sehingga bunyi yang dihasilkan memang terstruktur dan repetetif. Kiranya, masih banyak peristiwa serupa di kesenian yang lain dengan pola yang sama.
Repetisi dan Trance
Repetisi dalam sebuah repertoar sajian musik agaknya mempunyai pengaruh terhadap kondisi yang saya alami itu. Dalam janthilan, peristiwa ndadi tentu tersebabkan oleh berbagai faktor: sesaji, kepercayaan lokal, dan faktor lainnya. Namun, atas peristiwa yang saya alami, kiranya musik juga mengampu peran besar atas kondisi ndadi atau trance tersebut.
Menurut Nur Salim, “dua buah karakter gendhing janthilan di atas (ostinato dan (stropich) menunjukan karakter pokok lain, yaitu repetisi” (2014: 93). Lanjutnya, “Bentuk ini terlihat dari melodi atau lagu pendek yang dimainkan secara berulang-ulang”: stropich (2014: 92); sedangkan ostinato, “menunjuk pada pola ritmik yang dilakukan secara berulang-ulang” (2014: 92). Dalam jurnal tersebut, Nur Salim menyimpulkan bahwa “Gendhing janthilan menjadi sebuah stimulus atau perangsang untuk memunculkan suatu perilaku yang disebut dengan ndadi” (2014: 95).
Repetisi menjadi sebuah kunci atas tulisan terpapar. Entah itu pola ritmenya atau pola melodinya. Kedua pola tersebut menunjukan pola repetitif. Kemudian, dalam lagu-lagu Taize yang dianggap sebagai musik meditatif. Secara parsial, lagu-lagu Taize ini sering membawa para jemaat berada dalam situasi transendental. Selain karena fungsinya sebagai sarana ibadah, pola stropich juga menjadi salah satu faktor penyebabnya. Pasalnya, syair-syair yang digunakan dalam peribadatan ini dilantunkan secara terus-menerus.
Menurut Scoot, “Saat kata-kata dinyanyikan berkali-kali, kenyataan ini menembus ke seluruh makhluk yang ada. Dalam konteks inilah nyanyian meditatif menjadi cara mendengarkan Tuhan” (2013: 6). Pola stropich dalam sajian syair yang ada dalam lagu-lagu taize kiranya menjadi pengantar atau dalam bahasa yang sama menjadi stimulus bagi jemaat dalam mengantarkan menuju kondisi transendental.
Sebuah kerepetisian kiranya menjadi sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Dalam konteks musik, salah satu fungsi repetisi menjadi sebuah stimulus menuju kondisi transendental. Tentu, pertimbangan fungsi dari musik menjadi perhitungan. Namun, dalam hal janthilan, repetisi musikal menjadi penting. Ihwal repetisi yang memengaruhi kesadaran, Kartomi menunjukan kesependapatan, “penari trance meninggalkan dirinya menuju pada ‘ketidak-teraturan’ pada ketukan teratur, ‘sihirnya’ seperti frase pengulangan melodi” (166: 1973). Hal serupa juga diungkapkan oleh Pilch, “Musik yang paling membantu dalam menginduksi trance memiliki regulasi denyut dan pola nada berulang berdasarkan jumlah yang terbatas” (14: 2004).
Kiranya, uraian penelitian di atas menjadi penguat atas peristiwa yang saya alami. Repetisi menjadi sebuah pola musikal yang mampu mengantarkan menuju kondisi transendental. Meski masih dalam ambang sadar dan tidak sadar, lambat laun repetisi akan membukakan gerbang menuju pintu trance atau ndadi. Peristiwa musikal ini agaknya penting untuk dituliskan. Pasalnya, banyak pola repetetif yang ditemui dalam kesenian daerah nusantara. Dengan pola peristiwa yang serupa, agaknya pengetahuan mengenai repetisi musik patut untuk disebarkan.
Estetika Bunyi
Repetisi bunyi dapat dijumpai dalam kultur musik berbagai daerah di Nusantara. Di Klaten saja, selain janthilan, pola repetisi juga dijumpai dalam kesenian Gejog Lesung, kesenian Ciblon, kesenian Ganjuran, Kothekan, dan lain sebagainya. Tentu, repetisi ini mempunyai maksud sendiri-sendiri dari masing-masing kesenian. Namun, dalam hal janthilan, repetisi agaknya menjadi peristiwa musikal yang identik sekaligus menjadi wujud estetikanya.
Jika ada yang menengarai sifat monoton dari musikal janthilan, agaknya pandangan ini patut untuk dicerna kembali. Dalam pertunjukan janthilan, puncak dari rentetan dan juga bagian yang ditunggu-tunggu ialah peristiwa ndadi-nya. Dalam peristiwa ndadi, penari melepaskan tanggung jawab kerampakan gerak juga menjadi sebuah ruang kebebasan kesadaran baginya.
Sedangkan, bagi penonton peristiwa ndadi menjadi sebuah ruang menyaksikan gerak-gerik “yang tidak nampak” ke dalam sebuah medium manusia. Menjadi sebuah kelaziman ketika para penari bertingkah laiknya unsur yang merasukinya: kera, kuda, orang tua, anak kecil, dan lain sebagainya. Syahdan, dalam mencapai ke ruang ini diperlukan sebuah stimulus, salah satunya bunyi repetetif itu sendiri.
Instrumen dalam musik janthilan tentu bervariasi, tergantung pada kreasi dari pemusiknya. Namun, yang dapat ditengarai ialah bunyi bonang dan kempul gong yang begitu dominan mengumandangkan repetisi bunyi. Dari berbagai kesempatan yang saya saksikan, kebanyakan ketiga instrumen ini menjadi instrumen yang kiranya tiada hentinya berbunyi. Dalam bagian apapun, ketiganya tetap menggema, meskipun terjadi perubahan pola tabuhan.
Syahdan, hal ini bertautan dengan peristiwa trance. Bonang dan kempul gong menjadi sebuah penjaga atmosfer bunyi sekaligus atmosfer kerepetisian. Meskipun pola lambat ataupun cepat. Meskipun pola tabuhan berganti-ganti. Meskipun penari tengah berhenti (berganti babak), alunannya tidak berhenti. Bahkan, seringkali terdapat pemain pengganti dalam ketiga instrumen ini.
Barangkali, penjagaan bunyi agar tetap mengalun dengan kerepetisian menjadi sebuah maksud yang penting. Dengan tidak berhenti, bunyi bonang dan kempul gong akan terus mengisi telinga para penari hingga mengantarkannya ke gerbang transendental. Juga, tautannya dengan tujuan pertunjukan, agaknya bunyi repetisi yang disuarakan oleh bonang dan kempul gong menjadi sebuah unsur fundamental dari keseluruhan bunyi repertoar. Jika saja musik janthilan monoton, biarkan saja. Karena memang estetika bunyi dan pertunjukannya semacam itu.
Penyunting: Nadya Gadzali