Dinginnya tetesan embun membawa hawa sejuk pagi itu. Terlihat seorang petani sedang mematun tanah sawah miliknya. Di seberang sawah terdengar bunyi kayuhan sepeda dan putaran roda yang saling berkaitan, seakan menggiring rasa semangat. Capil, tomblok, dan kain gendong sudah menjadi elemen wajib untuk dikenakan. Suara gemericik air diiringi kicauan burung membawa suasana damai. Desa Sidowayah, desa yang aman, tenang, dan damai. Selaras dengan ketenangan yang dimilikinya, terdapat kisah yang menarik.

Segelintir Cerita di Balik Nama Sidowayah

Sidowayah ialah desa yang terletak di Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dengan 3.168 jiwa di dalamnya. Terdapat dua versi cerita tentang sejarah berdirinya Desa Sidowayah. Cerita pertama menurut Bapak Mujahid selaku kepala Desa Sidowayah saat ini, Sidowayah mulai ada sekitar tahun 30-an. Pada zaman itulah adanya kepala desa pertama kali yang dipimpin oleh Gus Raden Ngabei Gusti Purbontari atau biasa dipanggil warga sekitar dengan sebutan Ndoro Bei.

Pihak Keraton Yogyakarta sering mengadakan sayembara. Suatu ketika, keraton memberikan imbalan kepada pemenang, yakni perjodohan dengan seorang putri cantik dari keraton, bernama Gusti Ngatirah. Syahdan, pemenang dari sayembara tersebut bernama Purbantani yang kemudian dijodohkan dengan Gusti Ngatirah.

Hal ini menjadi sebuah kebanggaan tersendiri, ketika warga asli desa tersebut akan dijodohkan dengan putri keraton. Dari situlah pihak keraton memberikan jawaban sido yang artinya jadi, dan wayah yang dalam bahasa Jawa artinya cucu. Maka, nama Sidowayah memiliki arti sido tak olehne wayahku (jadi tak jodohkan dengan cucuku). Cerita kedua, dahulu sebelum bernama Sidowayah, desa ini bernama Desa Nglunggi. Lantaran pada sekitar tahun 60-an terjadi kerusuhan, maka nama desa diubah menjadi Sidowayah. Nama tersebut diambil dari nama salah satu tokoh desa tersebut yaitu Pangeran Sido Topo.

Destinasi Wisata Kreatif

Desa Sidowayah kaya akan sumber mata air. Maka, penggunaan mata air di sana tak hanya sebatas kebutuhan pokok penduduk desa saja. Menurut seorang kepala BUMDes Desa Sidowayah yakni Pak Wawan, jauh sebelum terbangunnya tempat-tempat wisata seperti saat ini, dulunya terdapat kesulitan dari pihak BUMDes untuk menyatukan stigma masyarakat Sidowayah.

Setelah berjibaku melewati hal tersebut, akhirnya masyarakat memiliki kesadaran dan empati untuk turut serta bergotong-royong dalam pembangunan tempat wisata mata air. Wisata mata air di Desa Sidowayah ini antara lain Umbul Si Blarak, Umbul Manten, dan Umbul Pelem. Setiap harinya, tempat tempat ini selalu ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai daerah. Selain karena tempatnya yang nyaman, di sini wisatawan juga disuguhkan oleh pemandangan yang menarik.

Destinasi wisata kreatif lainnya adalah kampung dolanan dan kampung lalu lintas. Untuk kampung dolanan, ide ini muncul karena adanya sebuah kegelisahan masyarakat pada anak-anak yang terdampak modernisasi. Dapat dilihat dari mayoritas anak-anak zaman sekarang yang lebih memilih memainkan game online dibandingkan permainan permainan tradisional. Di dalam kampung dolanan, terdapat berbagai macam mainan tradisional, seperti congklak, lompat tali, jembatan melayang, dan masih banyak lagi. Ditambah dengan lahan yang luas serta banyaknya mainan berwarna-warni, membuat kampung dolanan ini semakin menarik dan ramai dikunjungi anak-anak.

Sedangkan kampung edukasi lalu lintas, sudah berdiri sejak tahun 2016. Tujuan didirikannya kampung ini ialah untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pengetahuan dalam berlalu lintas. Gambarannya, di dalam kampung ini terdapat miniatur berbagai jenis rambu-rambu lalu lintas yang ditempatkan di tepi jalan. Meskipun pengunjung dari kampung lalu lintas didominasi oleh anak-anak, namun semua tidak terlepas dari pengawasan orang dewasa.

Mitos Umbul Manten

Di balik eloknya tempat wisata ini, terdapat secuplik mitos yang melatari. Menurut Bapak Mujahid selaku kepala desa saat ini, nama Umbul Manten dilahirkan dari sebuah cerita. Cerita ini tentang mitos di balik nama Umbul Manten. Alkisah, dahulu kala terdapat aturan untuk calon pengantin. 40 hari menjelang pernikahan, calon pengantin tidak diperbolehkan untuk keluar rumah alias dipingit.

Suatu ketika, sepasang pengantin tersebut penasaran dan mencoba untuk melanggar aturan tersebut. Keduanya pun memutuskan untuk mandi di sebuah umbul kemudian hilang. Itulah mengapa tempat tersebut dinamakan Umbul Manten.

Mitos kedua adalah tentang binatang kecil di Umbul Manten. Pada saat itu, salah satu cucu dari sinuwun keraton yang berenang di Umbul Manten tak sengaja menginjak sebuah siput kecil bernama sompil. Sompil tersebut berhasil melukai kaki dari cucu sinuwun, maka sinuwun atur sabda (menyumpah) seluruh sompil di sana agar memiliki ujung yang tumpul.

Sejak saat itu, seluruh sompil yang ada di Umbul Manten sebelah timur terlihat tumpul. Padahal, sompil yang ada di sebelah barat masih runcing. Benar atau tidaknya cerita ini cukup membingungkan warga Desa Sidowayah.

Sosial Budaya

Masih dari tempat wisata, Desa Sidowayah juga memiliki sebuah tempat yang digunakan oleh anak-anak sekitar untuk belajar kesenian. Tempat itu bernama Rumah OASSE (Omah Seni dan Satwa Desa Sidowayah). Tempat ini mulai diresmikan oleh bupati pada tanggal 18 Desember 2011. Jauh sebelum menjadi tempat belajar, tempat ini merupakan rumah milik saudagar yang disewakan untuk kandang ayam. Kotor dan tidak terawat.

Namun, ide kreatif dari masyarakat, tempat ini kemudian difungsikan menjadi rumah seni dan satwa yang bersih. Sejak saat itu, anak-anak menjadi gemar menjadikan rumah OASSE sebagai tempat belajar kesenian. Tidak hanya itu, beberapa pertunjukan juga sering digelar di tempat ini. Selain luas, angkringan dan warung makan juga tersedia di sana, sehingga rumah OASSE semakin nyaman untuk dijadikan tempat belajar atau hanya sekedar bersantai.

Situs Peninggalan Bersejarah

Desa Sidowayah memiliki sebuah situs peninggalan bersejarah, yakni makam Si Kembang. Makam Si Kembang memiliki dua versi cerita. Cerita pertama dari seorang sesepuh bernama Mbah Suhadi. Menurutnya, sebutan Si Kumbang diambil dari nama seekor macan milik Paku Alam ke VIII Yogyakarta, bernama Si Kumbang yang dimakamkan di sana. Setiap tanggal 15 ruwah dalam sistem penanggalan Jawa diadakan tahlil bersama.

Cerita kedua berasal dari Wawan, kepala BUMDes Desa Sidowayah. Dulunya, Pangeran Sido Topo memiliki kuda bernama Si Kumbang yang dimakamkan di makan tersebut. Namanya menjadi cikal bakal makam Si Kembang.

Potensi Kesenian

Desa dengan status desa wisata ini juga memiliki 3 potensi kesenian. Kesenian tersebut antara lain seni karawitan yang bertempat di Dukuh Janjir yang mayortitas diikuti oleh anak-anak muda. Kedua, seni hadrah. Kelompok kesenian ini rutin berlatih di masjid yang juga digiati oleh anak-anak muda. Ketiga, seni kentongan. Seni kentongan dirasa cukup unik. Melalui kentongan, masyarakat mampu menciptakan sebuah musik. Seni kentongan ini dimainkan oleh anak-anak. Biasanya, mereka juga menyanyikan sebuah lagu sembari memukul kentongan.

Penyunting: Nadya Gadzali