Berbicara ihwal gamelan, di dalamnya terkandung nilai yang tidak habis-habisnya diperbincangkan. Gamelan sudah ada dan hidup sejak waktu silam. Karena perjalanan historikal dari gamelan yang terlampau panjang, bagi kebanyakan orang gamelan sudah dianggap “mapan”, baik dari lini tekstual ataupun kontekstualnya.

Dalam perjalanannya, perihal tekstual ataupun kontekstual seringkali berkaitan. Patut untuk ditengok ihwal pembagian ricikan yang ada dalam gamelan sebagai salah satu contohnya, yakni pembagiannya yang begitu rapid dan penuh perhitungan. Menurut Rahayu Supanggah dalam bukunya yang bertajuk “Bothekan Karawitan 1”, berdasarkan peran dan/atau kedudukannya dibagi menjadi tiga: 1) ricikan ngajeng, 2) ricikan tengah, dan 3) ricikan wingking (2002: 71).

Pembagian ini kiranya sudah diperhitungkan oleh pendahulu, sebab pembagian ini sekaligus menata visual dari penataan keseluruhan instrumen. Tidak mungkin kiranya jika alat musik gong malah ditaruh di depan, tentu akan mengganggu pandangan terhadap instrumen yang lain. Kemudian, jika diperhatikan, pembagian ricikan ini sekaligus juga menata komponen bunyi yang ada.

Dari ricikian wingking misalnya, bunyi yang dihadirkan cenderung pada frekuensi bunyi yang rendah; dari ricikan tengah cenderung pada frekuensi bunyi sedang; dan pada ricikan ngajeng cenderung didominasi oleh frekuensi bunyi yang tinggi. Tentu, amatan ini hanya dilakukan secara holistik karena urgensi tulisan ini tidak berada dalam wilayah frekuensi bunyi.

Seperti yang telah dipaparkan, pembagian ricikan ini tentu berdasarkan pada peran dan/atau kedudukannya. Dari ricikan wingking atau yang sering disebut ricikan structural, ricikan ini mempunyai peran untuk membuat jalinan permainan dengan membentuk struktur berdasarkan bentuk gendhingnya.

Selanjutnya ricikan tengah yang didominasi gamelan bilah. Ricikan ini mengampu peran sebagai pemain kerangka gendhing. Terakhir, ricikan ngajeng. Ricikan ini secara parsial mengampu peran sebagai penghias dan pengisi repertoar gendhing.

Bertatutan dengan hal tersebut, secara minostik ricikan dibagi lagi dalam pertimbangan garapnya. Menurut Supanggah, ricikan berdasar pertimbangan garap dibagi menjadi tiga, yakni: 1) ricikan balungan, 2) ricikan garap, dan 3) ricikan structural (2002: 71). Tugas dari ketiga ricikan berdasar pertimbangan garap kurang lebih sama dengan ampuan dari pertimbangan berdasar peran dan/atau kedudukan.

1) Ricikan balungan, terdiri dari ricikan-ricikan yang pada dasarnya memainkan atau permainannya sangat dekat atau mendasarkan pada lagu balungan gendhing. Ricikan yang termasuk pada kelompok ini adalah slenthem, demung, saron barung, saron penerus, dan bonang penembung; 2) Ricikan garap, terdiri dari ricikan yang menggarap gendhing. Ricikan yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya adalah gambang, siter, suling, vokal (sindhen dan gerong); dan 3) Ricikan structural, terdiri dari ricikan yang permainannya oleh bentuk gendhing. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah ricikan-ricikan kethuk-kempyang, kenong, kempul, gong, engkuk, kemong, kemanak, dan kecer (Supanggah, 2002: 71)

Atas penjelasan di atas, kita dapat menerka bahwa pembagian ricikan dalam gamelan saja sudah menyiratkan berbagai nilai, mulai dari penataan visual, penataan frekuensi bunyi, juga peran dan/atau kedudukannya. Kiranya, pembagian ricikan berdasarkan pertimbangan garap tidak hanya bermuara pada garap itu sendiri. Melainkan terdapat perisitiwa lain yang secara kontektual melekat atas pembagian ini.

Fenomena

Berdasar pengalaman empirik, saya mengamati ihwal pembagian ricikan berdasarkan pertimbangan garap ini. Untuk kepentingan sajian repertoar gendhing, sudah tentu pembagian ini didasarkan pada garap itu sendiri. Namun, berdasar pada pengalaman saya, terdapat setidaknya dua hal yang juga melekat atas pembagian ini: 1) tanggungjawab dan 2) ongkos. Dua hal ini saling bertaut satu dengan lainnya, khususnya pemain.

Tanggung jawab

Permainan karawitan memang membutuhkan jumlah pemain yang tidak sedikit. Atas banyaknya jumlah ini, tentu pembagian tugas menjadi penting. Berkat adanya pembagian ricikan berdasar pada pertimbangan garap, tentu menjadi faktor yang membantu dalam membagi tugas para niyaga. Sang komposer/pengrawit tidak akan kebingungan dalam menentukan tanggung jawab niyaga.

Dalam pembagian ricikan berdasar pertimbangan garap; terdapat tiga pembagian yang sudah terpapar sebelumnya. Pembagian ini juga menunjukkan tanggung jawab niyaga. Secara subjektif, tingkat kesulitan dari pola permainan gamelan ditentukan juga dari sudut pembagian ricikan. Mulai dari ricikan structural, dalam ricikan ini kerumitan yang didapat oleh niyaga tidaklah berat. Sebab, tabuhan yang ada pada ricikan structural dapat dikatakan sudah pasti. Sehingga, tingkat pelafalannya pun relatif rendah.

Selanjutnya, pada ricikan balungan. Sesuai tanggung jawabnya, ia akan memainkan lagu yang ada dalam gendhing. Kerumitan yang diperoleh dalam ricikan ini kiranya sedang. Sebab, ia harus melafalkan lagu yang mendasari daripada gendhing. Secara parsial, tabuhan dalam karawitan Jawa tidak begitu cepat (tidak seperti gamelan Bali, Banyumas, ataupun Banyuwangi) sehingga tingkat kerumitannya juga relatif dalam jangkauan.

Terakhir, ricikan garap. Dilansir dari artikel yang bertajuk “Fungsi Instrumen Gamelan dalam Karawitan (Jawa)” karya Saptono, ricikan garap ialah ricikan yang menggarap balungan gendhing dengan cara menafsirkan yang kemudian menerjemahkan lewat vokabuler (konvensi) garapan.

Atas tanggung jawab tersebut, ricikan garap menjadi ricikan yang mengampu tanggung jawab paling besar. Tingkat kerumitan dalam ricikan garap dapat diartikan tinggi. Niyaga dalam ricikan ini ialah niyaga yang mempunyai keahlian pada instrumennya masing-masing. Belum lagi atas kultur notasi stimulan yang ada pada karawitan Jawa.

Dalam ricikan structural dan ricikan balungan, para niyaga terbekali oleh notasi yang sudah pasti membantu dalam proses pelafalannya. Berbeda dengan niyaga dalam ricikan garap. Secara parsial, mereka harus bekerja lebih dalam pelafalannya.

Dalam pembagian ini, nampak adanya kelas kerumitan dalam setiap ricikan. Dengan begitu, pembagian ricikan berdasarkan pertimbangan garap ini dapat diartikan juga membagi kelas kerumitan serta ampuan tanggung jawab bagi niyaga. Barangkali, salah satu sebab yang menjadikan adanya kelas Praktik Instrumen Tunggal di beberapa kampus seni adalah faktor kerumitannya. Instrumen yang ada dalam ricikan garap menjadi instrumen yang cenderung ditawarkan. Jarang ada kelas yang menawarkan pilihan gong, saron, atau instrumen yang ada dalam ricikan structural dan ricikan balungan.

Ongkos

Dalam dunia karawitan, peristiwa yang sering saya temui ialah tidak adanya transparasi awal mengenai ongkos niyaga. Biasanya, ketika tanggapan sudah usai, akan datang penanggap (dalang, komposer/pengrawit) atau utusannya yang kemudian memberikan amplop langsung ke saku atau saat berjabat tangan dilakukan. Peristiwa ini tidak sekali ataupun dua kali saya temui. Juga, peristiwa ini tidak hanya berlaku pada saya, melainkan rekan-rekan saya juga mengalaminya. Saya kira, memang iklim dari masyarakat karawitan di daerah saya semacam ini. Jadi, saya juga akan menghormatinya.

Secara empirik, saya pernah menjadi niyaga di beberapa grup karawitan di Klaten, bahkan hingga kini. Di setiap grup, saya mengampu tanggung jawab yang berbeda-beda, mulai dari penabuh kenong untuk ricikan structural di grup A, penabuh saron penerus ataupun demung di ricikan balungan di grup B, juga pemain siter untuk ricikan garap di grup C. Di setiap tanggungjawab dari berbagai ricikan ini, saya mendapatkan ongkos yang berbeda-beda.

Setelah saya amati, perbedaan ongkos ini dipengaruhi oleh tanggung jawab ricikan yang dimainkan. Kiranya ihwal kelas ongkosnya bisa diterka sendiri. Poin yang ingin saya tekankan ialah pembagian ricikan berdasar pada garapnya mempengaruhi atas ongkos yang diterima niyaga. Secara subyektif, peristiwa ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Terdapat sebuah “keadilan” yang secara eksplisit didapatkan oleh niyaga. Selain itu, dalang-komposer-pengrawit juga tidak akan kebingungan dalam menentukan ongkos terhadap niyaga-nya.

Barangkali, peristiwa inilah yang mendasari adanya ketidaktransparanan dalam iklim karawitan di daerah saya. Patut disadari bahwa masyarakat Jawa memiliki sifat pekewuh yang tidak enakkan-takut mengecewakan. Jika pembayaran disamaratakan, tentu akan mengurangi nilai apresiasi dan keadilan dari si niyaga. Namun, jika tidak sama rata, tentu pemberian amplopnya tidak transparan di depan semua niyaga.

Kiwari, peristiwa ini barangkali sudah sedikit menyusut, sebab dalam beberapa kesempatan, saya juga menemui transparansi ongkos. Bahkan jika peristiwa ini masih terjadi, saya akan tetap menghormatinya. Sebab, karawitan memanglah permainan komunal, yakni terdapat sisi sosial yang harus tetap dijaga. Selain itu, iklim semacam ini telah diwariskan dan masih dinunaikan oleh sebagian orang, apalagi di desa-desa.

Gamelan kiranya memang bisa dikatakan “mapan”. Ia tidak hanya menyentuh aspek tekstual, namun juga menyentuh aspek kontekstualnya. Gamelan tidak hanya mewujud sebagai sebuah benda, namun mampu menubuh ke dalam masyarakatnya. Pola semacam inilah yang kiranya menjadikan gamelan tetap lestari, sebab kedudukannya tidak berada di luar diri masyarakat, melainkan menjadi bagian masyarakat.

Ilustrasi: Gamelan di Anjungan ISI Surakarta oleh Yogi Candra/Dokumen Pribadi

Penyunting: Nadya Gadzali