Etnis.id - Terasa menyenangkan mendatangi Pulau Pannikiang yang penduduknya hanya 75 orang dengan luas 90.45 hektare. Pulau ini terletak di Sulawesi Selatan, dari daratan Kabupaten Barru, dekat kantor Desa Madello. Menuju Pannikiang, makan waktu sekira 20 menit lebih.

Di sana agak kotor. Banyak sampah plastik. Sementara di lautnya banyak daun-daun gugur dan ganggang yang mati. Untungnya ada Kepala Dusun Pannikiang, Zulkifili.

Di Pannikiang, ia menunjukkan kami bagaimana cara hidup orang-orang pulau. Gemar bekerja, memanfaatkan peralatan memasak seadanya dan hidup sederhana. Tak ada listrik langsung dari kota, kecuali memakai genset. Orang-orang pulau tidak gemar membuang sampah sembarangan.

"Sampah kebanyakan dikirim dari luar pulau," kata Zul.

Biasanya wisatawan seperti kami juga kerap membuang sampahnya di hutan bakau. Insiden terakhir yang sempat buat geger Indonesia saat terbakarnya Gili Lawa, satu pulau di Flores, di Nusa Tenggara Timur, karena kecerobohan wisatawan yang bermula dari puntung rokok.

Di Pannikiang, tumbuh menjulang pohon bakau. Data dari laman resmi Kabupaten Barru, ada 43 jenis mangrove yang daunnya hijau dan segar. Sayangnya, banyak sampah plastik botol minuman dan makanan kemasan yang terselip di akar bakau.

Zul akhirnya berpikir, dengan keterbatasan informasi, ia harus memanfaatkan sampah itu. Agak dekat dari Makassar, rasanya ia ingin belajar memahami bank sampah berikut sistem dan cara kerjanya.

Keluarganya, yang mengajakku datang ke sana, menjelaskan bagaimana mengelola sampah plastik secara sederhana. "Saya kepala dusun yang baru menjabat beberapa bulan. Saya harus banyak belajar untuk mengelola pulau ini jadi lebih baik."

Selain baru menjabat, Zul juga berusia muda. 25 tahun ke bawah. Suatu capaian yang dalam benak saya adalah, hal yang baik dengan tanggung jawab yang besar.

Zul menjelaskan, kalau daerah yang dikelolanya secara bersama sekarang, sudah terpikir akan ia kemanakan arah pembangunannya. Sebelum bercerita banyak, ia mengajak kami berkeliling dulu di sekeliling pohon bakau.

Banyak suara bangau yang terdengar. Syahdu sekali. Saat berjalan bersama, di jembatan-jembatan yang kami tapaki, banyak yang rusak. Kayu-kayunya sudah banyak yang patah.

"Beginilah situasinya. Rasanya ingin melapor lagi ke pemerintah setempat untuk memperbaiki jembatan ini. Kayunya termasuk cepat rusak."
Jembatan rusak/Rifqi Asy'ari

Saya tidak tahu, kayu itu jenisnya apa. Tapi di beberapa titik, memang terpacak kayu ulin yang kokoh berdiri. Di satu titik tempat biasanya wisatawan berfoto, di balai-balai yang tersambung dengan jembatan, kayunya hampir keok dimakan rayap.

Saya mencari beberapa foto di media sosial tentang tempat yang saya tapaki, yang muncul hanya keindahannya saja. Tak banyak yang memotret soal keburaman pembangunan jembatan, tempat wisatawan menjangkau satu tempat ke tempat lainnya.

"Bakau ini tumbuh karena kiriman juga. Jadi bakal buah bakau yang dibawa air laut dari tempat yang jauh, akhirnya singgah ke pulau ini, dan tumbuh besar sampai sekarang," terang Zul, sembari mengajak kami berkeliling.

Selain suara bangau, ada juga suara kelelawar. Sebab suaranya seperti tangisan bayi yang baru lahir, saya memberi tahu teman saya. "Oh, itu suara kelelawar," terang Yusuf, seorang keluarga dari Zul. Sebab banyak kelelawar, pulau ini dinamai Pannikiang, dari kata panniki.

Kami makan ikan selama di pulau itu. Ikan yang hari itu juga ditangkap oleh nelayan. Beberapa butir telur yang kami beli di daratan Barru, dan beberapa kilo beras yang sudah ditanak di rumah kayu milik kakek Zul.

Menyantap ikan di sana sungguh berbeda dari restoran. Kami membakarnya menggunakan peralatan sederhana yakni seng dan dibawahnya dibakar sabuk kelapa dan sedikit arang. Nikmat benar dagingnya, juicy dan gurih.

Kelelawar yang Dijerat

Kami akhirnya diajak lagi ke bakau tempat kelelawar banyak menutup sayapnya. Siang itu memang cukup terik, pukul 11.00 WITA. Ranting-ranting bakau jadi tempat kelelawar berbalik dan istirahat.

Ratusan atau mungkin ribuan kelelawar tidur dan menutupi pohon bakau. Mereka menyamar seperti daun. Semua yang tampak adalah kelelawar besar dan berbagai jenis. "Ini benar-benar luar biasa," saya membatin.

Zul tidak tahu dari mana kelelawar itu ekspansi. Sewaktu masih kecil, saat dirinya senang pulang-balik daratan Barru dan Pannikiang, kelawar bisa menutupi seluruh pohon.

"Daun bakau bisa tidak terlihat saking banyaknya kelelawar saat itu. Sekarang sudah berkurang."

Saya kira Zul bercanda, karena saya melihat dengan kasat mata, kelelawar masih banyak bergelantungan.

Menurut Zul, banyak tangan-tangan jahil yang menjerat kelelawar itu. Ia tidak bisa mendeteksi siapa orang yang memasang perangkap di beberapa pohon bakau. Soal khasiat, ia belum paham, apa guna orang-orang itu menangkap kelelawar.

"Kayaknya bukan orang sini pelakunya. Saat siang, kami hanya dapat perangkapnya saja. Padahal bagus kalau kelelawar di bakau ini tidak berkurang drastis. Pulau ini bisa dikunjungi menjadi tempat wisata yang menarik."
"Seharusnya pemerintah juga bikin peraturan yang mengikat tentang masalah ini."
Jembatan/Rifqi Asy'ari

Banyak orang yang percaya bahwa memangsa kalong sama dengan menyembuhkan diri dari penyakit-penyakit yang serius. Meski begitu, kepercayaan tersebut belumlah terang penjelasan ilmiahnya dari sisi akademik.

Dalam jurnal yang berjudul Kandungan Mikrob Daging Kelelawar yang Diolah sebagai Bahan Pangan Tradisional (Tiltje Andretha Ransaleleh, 2013). Disebutkan kalau kelelawar memang bisa diolah menjadi bahan makanan.

Ia mengambil sampel di Manado. Di sana, orang-orang percaya akan khasiat kelelawar. Masyarakat di sana kerap mengolah daging kelelawar menjadi kelelawar rica-rica dan kelelawar kari.

Yang jadi titik penelitiannya adalah, cara mengolah kelelawar. Jika tak paham hal-hal yang teknis, makanan itu bisa memunculkan bakteri dan membuat tubuh yang memakan daging itu akan dijangkiti penyakit yang berbahaya.

Didapat kesimpulan, jika penyimpanan daging kelelawar tanpa pengeluaran isi saluran pencernaan, bisa menyebabkan kontaminasi mikrob yang melampaui batas ambang maksimum. Akhirnya ia tidak layak dikonsumsi.

Sementara Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Prof drh Agus Setiyono, menyarankan agar masyarakat sebaiknya tidak mengonsumsi kelelawar sebab berpotensi membawa penyakit zoonosis.

"Kelelawar merupakan reservoir utama atau agen pembawa penyakit dari hewan yang menyerang manusia," ujarnya di Bogor, dikutip dari laman Antara.
"Risiko penularan dari kelelawar ke manusia semakin tinggi karena kebiasaan konsumsi daging kelelawar oleh masyarakat di beberapa daerah di Indonesia."

Koe dan Pannikiang

"Jangan ikat sarung di pundak, kalau di sini. Leluhur percaya, itu sebagai hal yang kurang baik."

Hal itu dituturkan Zul dengan ramah saat memberi kami informasi menarik sewaktu mengunjungi makam leluhur Pannikiang.

Mencapai daerah pekuburan orang-orang tua dulu yang berasal dari Pannikiang, butuh waktu sekira 15 menit dari dermaga tempat kami menginap--titik awal sampai para wisatawan yang mengunjungi Pannikiang.

Nama orang yang pertama menginjakkan kakinya di Pannikiang adalah Koe. Ia perempuan. Warga sekitar percaya hal itu dari mimpi seorang warga, yang turun-temurun ceritanya.

Konon, Koe berujar dalam mimpi seorang tetua di Madello, agar mendatangi seonggok tanah sesuai titik yang sekarang jadi kuburannya.

"Tidak jelas juga bagaimana sejarahnya. Kami hanya diberitahu informasi dari para tetua. Tetapi, diperkirakan sudah ratusan tahun meninggalnya beliau."

Di sebelah Koe, ada kuburan juga. Itu kuburan dari suami Koe. Namanya tidak jelas. Hanya dinamakan Suami Koe saja di nisannya. "Itu juga lewat mimpi. Tetua menguburkannya di samping Koe. Tidak jelas namanya. Tidak ada fakta sejarah yang kuat."

Sampai sekarang, mereka hanya percaya satu pesan yang juga disampaikan lewat mimpi, kalau pulau Pannikiang, tak boleh ada seorang yang mengikat sarung di pundaknya. "Efeknya bisa sakit. Koe tidak suka orang yang seperti itu."

Sejauh mata saya melihat sekelilingnya, ada satu kuburan yang disimpan mangkuk kemenyan dari besi yang tua dan tampak sudah berkarat. Saya bertanya pada Zul, itu kuburan siapa. "Itu kuburan orang tua dari Desa Madello."

"Ada banyak orang-orang yang sering datang ke sini bawa sesajen dan kemenyan. Saya pernah lihat orang simpan buah-buahan di bawah pohon. Saya tidak tahu itu maksudnya apa?"

Kepercayaan seperti itu akan tetap ada. Saya tidak ingin melanjutkan atau menjawabnya. Siang itu cukup terik. Ikatan kapal di sebuah kayu besar dibuka. Setelah berkunjung di pekuburan itu, kami kembali ke daratan Barru.

Daerah pekuburan Koe dan suaminya/Rifqi Asy'ari