“Menguning sudah padi-padi di sawah, pancaroba menjadi situasi yang terkadang membuat gerah, ditambah lagi pandemi yang sedang menggubah, ekonomi dan kebutuhan menjadi tergoyah. Hasil panen sangat diharapkan, ditujukan untuk menopang kebutuhan yang tergoyahkan, doa kepada Dewi Sri selalu dilantunkan, untuk pencapaian yang digantungkan.” Mei, 2020.
Terik matahari sedang panas-panasnya, nampak seorang petani yang sedang menjaga bakal hasil panennya dari serangan burung pemakan padi. Terlihat juga barisan tali yang silang-menyilang tak beraturan dengan centelan kaleng-kaleng bekas. Sekali guncangan saja, getaran merambat ke seluruh untaian tali itu. Kemudian, terciptalah laras yang mengejutkan burung-burung pemakan padi.
Di Klaten, Jawa Tengah, rentetan utas tali yang jalin-menjalin dengan kaleng bekas atau yang disebut dengan ombyokan, cukup mudah ditemui di sepanjang area pesawahan. Tak hanya menghasilkan nada, ombyokan terkadang disertai orang-orangan sawah sebagai bentuk visual tubuh petani. Dengan begitu, kiranya burung tidak mendekat untuk memakan padi yang ditanam oleh para petani.
Ombyokan dan Irama Musik Alam
Pada awalnya, musik tercipta sebagai pengejawantahan ide-ide untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas hiburan. Namun, hal ini tak lantas membuat ombyokan menjadi bagian dari musik. Padahal, ditinjau dari kacamata etnomusikologi, ombyokan justru dapat digolongkan menjadi musik. Dengan demikian, bunyi suling rattle, suara bel besi, gegar otak batu, bunyi denting tongkat, suara biji di dalam buah-buahan dan suara injakan kaki berpotensi menghasilkan suara musik yang dapat digolongkan sebagai kreatifitas, meski awalnya tak ditujukan untuk menyusun irama musik.
“Dengan demikian bunyi suling rattle, suara bel besi, gegar otak batu, bunyi denting tongkat, suara biji di kulit buah, suara injakan kaki— semua ini berpotensi memberikan suara musik yang dapat dimanfaatkan oleh kreatifitas per kondisi yang tidak ditentukan sebelumnya. Itu mengatakan, suara masuk ke dalam musik termasuk musik bukan hanya suara dengan nada yang jelas tetapi juga dengan nada yang tidak ditentukan. Mereka termasuk suara yang dapat dipertahankan serta yang tidak dapat dipertahankan.” (Nketia dalam Alan P. Merriam, 1964:66)
Musik tidak selalu mempunyai nada yang teratur dengan hitungan ketukan metronom, musik juga tidak selalu berpatok pada tatanan estetis yang lahir dari perspektif penikmat bunyi. Namun, secara kontekstual, aktivitas kebudayaan agraris yang timbul dari ombyokan dapat ditinjau dari kacamata etnomusikologi.
Mencegah Kerusakan Lingkungan Dengan "Ombyokan"
Pada konteks kiwari, kebanyakan petani mengupayakan hasil panen yang maksimal dengan menggunakan metode yang lebih praktis, namun terkadang luput mempertimbangkan dampak bagi lingkungan. Salah satunya, dengan menggunakan media pestisida.
Maraknya penggunaan pestisida menjelma keprihatinan tersendiri. Disamping menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem, unsur tanah dan air juga ikut tercemar. Barangkali, tidak langsung dirasakan dampaknya, namun seiring berjalannya waktu akan menampakkan ciri-ciri kerusakan lingkungan, di antaranya: ikan-ikan mati, serta tanah yang tak lagi subur.
Sejumlah upaya dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengurangi dampak dari pestisida, mulai dari penggunaan pupuk organik, sosialisasi tentang dampak penggunaan pestisida dan lain sebagainya. Namun, cara ini masih belum membuahkan hasil yang optimal. Dalam hal ini, ombyokan menjadi alternatif yang efektif, sebab sama sekali tak menggunakan unsur kimia. Dengan begitu, kerusakan ekosistem dapat dicegah lewat pemanfaatan sampah kaleng dan berbagai jenis tali yang dirangkai sedemikian rupa, sehingga menjadi media pengusir burung pemakan padi.
Kearifan lokal semacam inilah yang diwariskan oleh leluhur. Pasalnya, orang-orang terdahulu menjalin hubungan dengan alam selayaknya membangun relasi dengan sesama manusia. Cara-cara yang dibenarkan dalam memanfaatkan alam, menjaga manusia agar tak hanyut dalam keserakahan atau ambisi untuk memacu hasil panen dengan cara yang instan. Ombyokan merupakan salah satu cara yang memungkinkan para petani menerima hasil panen tanpa merusak lingkungan. Selain itu, ombyokan merupakan cara terbaik yang bisa dilakukan saat ini, untuk melanggengkan sumber daya alam agar tetap berada dalam kemurnian dan kondisi terbaiknya.
Penyunting: Nadya Gadzali