Sering kita mendengar kabar duka dari orang-orang yang kita sayangi, baik sanak famili maupun kerabat dekat. Kabar itu membuat kita terkejut, terlebih jika kemarin kita masih berjumpa. Sedangkan hari ini, orang-orang yang kemarin dijumpai itu sudah tiada.

Suatu ketika, adik kandung bapakku meninggal dunia, tepatnya pada 25 Juli tahun lalu. Penyebabnya, komplikasi beragam jenis penyakit. Aku yang menyaksikan detik-detik pamanku menghembuskan nafas terakhirnya, teramat ingin melihatnya terbebas dari rasa sakit yang ia derita.

Hari Kamis, tepatnya pukul 10.00 WIB, ia menghembuskan nafas terakhir di hadapan keluarga besar. Isak tangis orang-orang yang hadir tak terhindarkan. Sembari menahan pilu, aku mengirimkan berita duka itu kepada saudara-saudaraku di Kampung bapak dan ibuku— mengingat almarhum berasal dari Huta Pasar Simangambat Saipar Dolok Hole, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Aku meraih telepon seluler dan memberitahukan bahwa uda’ku atau pamanku dari bapak telah meninggal dunia. Aku berharap ada perwakilan dari keluarga besar bapakku yang datang untuk melayat.

Wajah jenazah uda’ku ditutup dengan kain selendang berwarna krem dengan motif kotak-kotak. Sementara orang-orang yang berada di dalam ruangan mulai membaca surat yasin bersama-sama, dipimpin oleh seorang ustadz. Sesekali terdengar sedu sedan dari para pelayat. Sebab melepaskan orang-orang yang kita cintai bukanlah perkara mudah, meski pada akhirnya kita harus ikhlas jua.

Tepat pukul 11.00 WIB jenazah dimandikan oleh pihak keluarga terdekat. Selepas salat dzuhur berjemaah dan salat jenazah dua rakaat, pihak keluarga menyampaikan sepatah dua kata. Berikut kutipannya, “kami dari pihak keluarga besar, apabila terdapat kesalahan, baik disengaja ataupun tidak disengaja, mohon di maafkan. Begitu juga dengan permasalahan utang piutang, jika masih ada tolong hubungi pihak keluarga, agar beliau lapang di alam kubur”. Setelah itu, jenazah diarak menggunakan mobil ambulans, diikuti oleh sepeda motor serta mobil-mobil pribadi menuju peristirahatan terakhir yang berada di pemakaman umum Sungai Panas Batam Kota.

Usai mengubur jenazah, pihak keluarga dan pelayat kembali membacakan surat yasin. Mendoakan agar mendiang uda'ku tenang di alam kubur, serta segala dosa dan perbuatannya diampuni oleh Allah SWT. Keesokan harinya, tepat pukul 11. 00 siang, abang dari bapakku atau yang biasa disebut dengan uwak— tiba di Kota Batam. Aku menjemput dari bandara Hang Nadim Kota Batam, kemudian membawanya ke rumah almarhum adik bapakku.

Setelah tiba di Batu Batam, kami disambut di ruang tamu dengan suasana dukacita di kediaman almarhum. Pada momen itu, keluarga secara bergantian membawakan lantunan andung. Alunan nada berisi ratapan di rumah keluarga yang tengah berduka.

Pada tradisi masyarakat Batak Angkola, andung ialah senandung dukacita yang bertutur ihwal kenangan indah dan perilaku baik mendiang semasa hidup. Saat mangandung, mereka mengekspresikan perasaan berduka. Adapun tata cara mangandung, posisi keluarga berada di ruang tamu membentuk lingkaran.Orang pertama yang membawakan syair andung ialah pasangan hidup (istri) almarhum. Dengan suara terbata-bata, ia bertutur tentang kebaikan serta kebiasaan yang pernah dilakukan oleh suaminya.

Tema andung bersifat tak terikat. Dapat disesuaikan dengan kenangan bersama almarhum. Setiap kata menjadi kalimat yang bergulir begitu saja, spontan tanpa catatan tertulis yang dipersiapkan terlebih dahulu. Begitu juga irama yang dihadirkan, tak ada pakem khusus bagi sang pengandung. Tak heran jika durasi andung terbilang cukup panjang, sehingga membuat semua orang yang hadir, larut dalam kesedihan.

Berikut salah satu kutipan syair andung yang diucapkan oleh seorang istri dari almarhum adik bapakku menggunakan bahasa Batak Angkola;

Oii baya..hu hu hu (suara tangisan). Suamiku o’on burju domaaa  semasa hidup naiii.....Nanggo pola jungaadaa mangaluh attcid yang dialami iaa.... hu...hu....hu....(suara tangisan). Ia sip sajo... au sapai ahha laknaa na’atcitmi. Nanggo jungada ia manjawab naiii. Sip sajo sip sajoo... hu hu hu hu... (suara tangisan). Narajinan ia sumbayang lima waktu tu massojidd semasa hidup naiiii..... Napodo azan matumasujidd iaa.....hu...hu...hu... (suara tangisan). Oiii bayaa naburjo maho suamikuuu....hu...hu...hu... (suara tangisan). Nangdo bahat pangido’anna semasa hidup..... Naburju’an maiia’on hu hu hu (suara tangisan). Pas bulan puasa’i, giot dohot ia puasa songon halak nalain. Tahi atcid nago dipikirkan iaaaa... hu hu hu (suara tangisan). Giot puasa sajo ia nanggo adong rasa sakit diucapkan ia. Na tabah ma’ia manjalani sakit na dialami iaaaa... hu...hu...hu...(suara tangisan). Ya allah ya tuhanku, sakit pun ia tetap taringot sumbayang lima waktu iaa...hu...hu...hu... Walau terbaring di podoman.... hu... hu...hu...huhu... (suara tangisan). Jot-jot do ia tangis saat mambege suara azan sanmasojid. Au sapai biasi tangis? Ia jawab lungun rohana’i tu massojid. Lapang ma iya di alam kubur ya ALLAH ya Tuhanku..

andung ini diucapkan dalam eskpresi sedih mendalam tangisan sang istri yang menangisi kepergian suami tercintanya.

Artinya:

“Oiii....Baya.....Suamiku semasa hidupnya tidak pernah mengeluh sakit yang dialaminya. Dia selalu diam saja, aku bertanya apa yang sakit ia selalu diam. Tidak pernah dijawabnya. Dia rajin sekali solat lima waktu ke masjid semasa hidupnya. Sebelum azan dia sudah berangkat ke masjid. Oiii baya... yang baiklah suamiku ini. Tidak banyak permintaannya semasa hidup. Pada bulan puasa kepingin sekali ia berpuasa. Padahal dia sedang sakit. Tanpa dirasakan rasa sakitnya itu. Tapi tetap saja ia bersikeras ingin puasa seperti orang-orang yang lainnya. Ia tidak pernah mengucapkan sakit padahal sedang sakit ia selalu diam. Tabah sekali dia menjalani sakit yang dialaminya. Ya Allah ya Tuhanku sakit pun dia tak pernah lupa menjalankan solat lima waktu walaupun dia terbaring. Dia sering sekali nangis ketika mendengar suara azan. Aku bertanya kenap kamu menangis? Jawabnya ia rindu untuk solat berjamaah ke masjid. Semoga lapanglah dia suamiku dialam kubur ya ALLAH Ya Tuhanku... sambil mengelap wajah yang penuh cucuran air mata mengenakan kain.”

Umumnya, selepas andung dilakukan oleh pasangan hidup, dilanjutkan oleh uwakku atau abang kandung dari almarhum. Namun, saat itu ia tak banyak mangandung, hanya mengucapkan memori masa kecil sahaja bersama almarhum di kampung halaman. Bahwa “almarhum ialah adik lelaki yang baik dan taat beribadah. Sejak kecil orangnya tidak banyak tingkah, hidupnya lurus-lurus saja", ujar beliau.

Kebanyakan dari teks mangandung berisi ingatan-ingatan tentang seseorang yang meninggal tersebut. “Hal ini karena pengalaman kehilangan mendorong seseorang untuk mengingat kembali pengalaman hidup bersama orang yang meninggal tersebut” (Warhaft, 1992: 26).

Sampai saat ini, tradisi mangandung masih belum terlacak dari mana asalnya. Namun menurut Sihombing, mangandung berasal dari seorang raja. Suatu ketika raja itu hendak meninggal dunia. Lalu, memberi pesan kepada keluarganya, "kalau saya mati jangan kalian menangisiku saja. Tapi dalam tangisan kalian ceritakan semua perbuatan-perbuatan baik semasa hidupku agar aku tetap dikenang” (1986: 123).

Mangandung merupakan bentuk kasih sayang keluarga kepada seseorang yang telah meninggal— baik ucapan, perbuatan, sikap teladan, hingga cara beribadah. Dahulu, mangandung merupakan upacara ritual kematian. Pada masyarakat Batak Toba dan masyarakat Batak Angkola, tradisi ini mengalami pergeseran. Salah satu faktor yang mempengaruhinya ialah ajaran agama yang dianut oleh keluarga yang mengalami kemalangan. Umpamanya, menurut ajaran Islam, mangandung dilakukan jika seluruh keluarga telah berkumpul di kediaman mendiang, selepas menguburkan jenazah.

Sesuai dengan konsep ajaran Islam, bahwa keluarga yang ditinggalkan tidak boleh berlebih-berlebihan dalam kesedihan, sebab semua yang ada di dunia hanyalah titipan dan akan kembali ke pangkuan Ilahi pada waktu yang telah ditentukan. Hal inilah yang membuat pelaksanaan mangandung bersifat lentur, sesuai adat istiadat dan agama yang dianut.

Penyunting: Nadya Gadzali