Sebagai salah satu tujuan wisata, orang lebih sering menyoroti Lombok dari segi sumber daya alamnya yang memikat. Sedangkan khazanah kebudayaanya, masih banyak yang luput dari perhatian. Padahal, tradisi Suku Sasak, suku asli Lombok, memiliki peran yang cukup vital untuk menjaga mutualisme antara pelaku ekonomi di sektor pariwisata, kebudayaan, dengan masyarakat di sekitarnya.

Pada kesempatan kali ini, saya akan menyinggung ragam tradisi lisan Suku Sasak yang berkembang di wilayah saya, berikut dinamika serta perkembangannya dewasa ini.

Cilokak

Saya mulai dari kesenian yang paling populer, yakni cilokak. Cilokak atau nyanyian berbahasa Sasak ini, biasanya dibawakan bersama alunan alat musik tradisional seperti gambus sasak, gendang kecil dan seruling.

Hampir seluruh masyarakat Lombok mengenal kesenian cilokak. Syair-syairnya lebih banyak bertemakan kisah asmara dan kehidupan masyarakat Suku Sasak. Cilokak biasanya dijadikan musik penghibur dalam acara pernikahan maupun gawai urip lainya.

Betandak

Betandak merupakan salah satu bentuk nyanyian yang ditembangkan tanpa iringan musik. Dilantunkan oleh masyarakat Suku Sasak untuk menghibur diri sembari menunggu datangnya pagi di Kawasan Pantai Kuta-Mandalika, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Sebab pagi hari merupakan waktu yang tepat untuk menangkap ikan, tepatnya setelah air laut surut cukup jauh dari garis pantai.

Bekayak

Berikutnya ialah tradisi bekayak. Bekayak merupakan kesenian menuturkan hikayat dari kitab-kitab klasik yang mengandung unsur-unsur ajaran Islam, atau sejarah perjuangan Syiar Islam di masa lampau, seperti misalnya: Hikayat Nur, Kitab Kifayatul Muhta, Serat Jatiswara dan lain sebagainya. Umumnya, bekayak dibacakan di lingkungan masjid pada malam perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, pada malam perayaan Isra’ Mi’raj, Aqiqahan (pemotongan rambut bayi berusia 40 hari) dan Khitanan.

Belakak dan Belawas

Selain cilokak, betandak dan bekayak— tradisi lisan Suku Sasak lainnya yang kerap dibawakan ialah belakak dan belawas. Kedua seni tutur ini umumnya dilakoni oleh kalangan muda-mudi yang sedang dimabuk asmara.

Jika betandak didendangkan di sekitar bibir pantai pada malam hari hingga menjelang pagi, maka belakak ialah sejenis kidung yang menggambarkan laku kehidupan masyarakat agraris. Lewat syairnya, pesawahan menjadi latar tempat terjalinnya asmara antara seorang pemuda dan perempuan yang dicintainya. Pemuda itu dikisahkan tengah membantu sang kekasih dalam kegiatan memanen padi, namun sang gadis meninggalkannya dan memilih untuk menikah dengan laki-laki lain.

Maka di malam harinya, pemuda itu kembali ke sawah untuk mengobati luka hatinya dengan membawakan sebuah syair. Seni bertutur yang dilakukan oleh pemuda itu disebut dengan belawas. Konon, saking merdunya, suaranya mampu membuat seorang gadis terpikat, sampai-sampai rela menyerahkan jiwanya kepada pemuda yang tengah belawas itu.

Senjakala Tradisi Lisan Suku Sasak

Cilokak dan bekayak adalah kesenian yang relatif mudah dijumpai. Sedangkan betandak, menurut penuturan tokoh adat setempat— semakin hari semakin jarang dibawakan.

Betandak sempat ditampilkan pada Event Core "Bau Nyale" (tradisi menangkap cacing laut yang diyakini sebagai titisan Putri Mandalika), festival budaya yang diselenggarakan setahun sekali pada bulan Februari. Gelaran ini diprakarsai oleh Pemerintah Daerah untuk menarik minat wisatawan yang berkunjung ke Kawasan Pantai Seger.

Sedangkan tradisi lisan yang paling rentan mengalami kepunahan ialah belakak dan belawas. Menurut keterangan salah seorang tokoh adat, dua jenis kesenian ini sudah semakin jarang dibawakan oleh masyarakat Suku Sasak, lantaran budaya bertani konvensional sudah tak begitu diminati oleh mereka. Pekerjaan bertani, sudah sedemikian tersubordinasi oleh modernitas. Generasi muda saat ini sudah tidak menggandrungi pertanian sebagaimana yang dilakukan oleh orang tua mereka.

Alih-alih bekerja di sektor pertanian, mereka cenderung memilih bekerja sebagai karyawan. Nampak disini, bahwa konsekuensi logis dari era teknologi canggih, membuat unsur-unsur tradisi yang melekat pada bidang pertanian— semakin ditinggalkan.

Contoh yang paling sederhana ialah dengan mengamati perkembangan kesenian daerah seperti cilokak. Betapapun masyhurnya di kalangan penikmat seni, namun eksistensi cilokak tak pernah benar-benar memberikan sumbangsih bagi kemajuan di sektor pertanian di Lombok—baik dari segi sumber daya manusia, maupun sebagai identitas kedaerahan Suku Sasak.

Maka, jika cilokak yang sedemikian populernya saja tidak mendapatkan perhatian yang serius, kemudian bagaimana dengan tradisi lisan yang bersifat sub-kultur yang hanya didukung oleh segelintir orang saja dari sekian banyak masyarakat Suku Sasak?.

Andai saja, dalam kurun waktu satu atau dua dasawarsa ke depan, ekspresi budaya lokal Sasak dalam bentuk musik dan tradisi lisan ini lenyap satu demi satu— atau seumpama saja, masih ada segelintir anak muda yang secara kebetulan menaruh minat pada entitas tradisi, saya pikir hal itu merupakan sebentuk tindakan yang bersifat eskapis semata. Semacam lampiasan kerinduannya terhadap hal-hal bernuansa kearifan lokal di masa lalu.

Desentralisasi Tradisi Lisan Suku Sasak

Dikarenakan sifat informalnya, terlebih hanya dilakoni oleh komunitas kecil saja— tradisi lisan Suku Sasak nampaknya cukup sulit untuk kembali ke posisinya sediakala. Sebab, ada banyak pihak yang terlalu menekankan penyeragaman bentuk, serta penyederhanaan produk budaya untuk tujuan komersil semata.

Tentu, hal ini sangat merisaukan. Namun, saya sendiri belum memiliki gagasan untuk merevitalisasi budaya Sasak, khususnya tradisi lisan yang kini tengah berada di ambang kepunahan. Akan tetapi, kiranya apa yang ditawarkan oleh Gus Dur di masa lalu, masih relevan untuk dijadikan sebagai alternatif jawaban.

Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, pernah mengusulkan upaya pelestarian budaya lokal lewat upaya desentralisasi. Menurut pandangan Presiden Indonesia ke-empat itu, secara historis Indonesia pernah bertahan dengan tata kelola budaya yang demikian, sehingga ia menyarankan kepada pemangku kebijakan di sektor kebudayaan agar membuat kebijakan desentralisasi melalui prakarsa parsial. Gunanya, untuk mendorong peluang yang sama bagi masyarakat agar menampilkan apapun ekspresi kebudayaannya. Dengan demikian, kohesi sosial di bidang kebudayaan akan semakin cepat tercapai (Abdurrahman Wahid, 10:2001).

Berangkat dari pemikiran Gus Dur, bukankah kita tidak punya pilihan lain, selain mencoba memberlakukan desentralisasi di ranah kebudayaan untuk mengimbangi arus modernitas yang menuntut penyeragaman besar-besaran itu?.

Penyunting: Nadya Gadzali