Etnis.id - Di Jawa, monyet telah menjadi bagian dari seni pertunjukan. Kita mengenal seni kethek ogleng, ledhek kethek sampai dengan cerita rakyat Lutung Kasarung.

Hanuman, si monyet putih dalam cerita Ramayana bahkan muncul dalam berbagai tafsir estetisnya, mulai dari carangan cerita wayang, tari-tarian, bahkan muncul dalam bentuk lagu campursari maupun cerita sinetron di layar kaca.

Tak ayal, ia pernah disoal karena dilarang menjadi bagian pertunjukan topeng monyet di Jakarta. Monyet telah merasuk dalam memori kolektif, bahkan personal, bangsa Indonesia.

Menurut Matthew Isaac Cohen, seorang professor budaya dari Royal Holloway University of London, dalam tulisannya Multiculturalism and Performance in Colonial Cirebon (2002), pertunjukan yang melibatkan monyet telah muncul di pasar, jalan-jalan pedesaan, dan perkotaan di wilayah barat Indonesia pada awal tahun 1890-an.

Bersama dengan anjing, keduanya menampilkan pertunjukan akrobatik, sebagai miniatur sirkus yang berkembang di Eropa. Seperti ledhek kethek, ia begitu popular pada masanya, dengan jumlah penonton yang berjubel ingin melihat kelucuan dan keterampilan si monyet. Hal ini menguntungkan pengusaha topeng monyet.

Cohen menganggap fenomena itu berkait dengan perkembangan seni pertunjukan komersial di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. Penontonnya anak-anak, baik pribumi maupun orang-orang Eropa. Bisa dilihat dari foto koleksi Tropenmuseum Amsterdam, Belanda.

Foto yang bertarikh 1900-1920 ini memperlihatkan seorang pawang Arab dengan dua monyetnya sedang menghibur anak-anak. Foto tersebut diambil oleh Charles Breijer anggota de Ondergedoken Camera (persatuan juru foto Amsterdam) yang bekerja sebagai juru kamera di Indonesia dari 1947 sampai 1953.

Dia kerap memotret kehidupan sehari-hari masyarakat jajahan, termasuk merekam realitas seni pertunjukan kelas bawah topeng monyet: seorang pawang yang kurus, kotor dan lusuh, bersama monyet-monyet yang dirantai dan tak terurus. Kini muncul "Sarimin", si monyet kecil pengamen di perempatan jalan atau dari komplek rumah ke rumah lainnya. Monyet juga tidak semata dimanusiakan “sebagai orang Jawa” bernama Sarimin. Ia juga bisa wingit, reflektif, bahkan patut diteladani.

Kita mengenal teori evolusi Darwin yang memaparkan logika pemikiran perubahan bentuk “kera menjadi manusia”. Dalam konteks Ramayana, karya sastra yang dianggap sebagai kitab suci umat Hindu itu, ada bagian yang menceritakan para manusia yang (justru) berubah menjadi kera.

Saat Sugriwa, Subali dan Anjani menjadi kera sewaktu berebut Cupumanik Astagina. Begitu juga Hanuman atau Anoman, manusia tetapi kera atau kera tetapi punya sifat dan jiwa kedewataan, atau manusia berjiwa surgawi.

Di antara kisah cinta segitiga Rama-Sinta-Rahwana, porsi perannya terbilang unik. Perang besar yang terjadi kemudian mempertemukan prajurit raksasa Alengka melawan balatentara kera, mahluk berjenis sama dengan Hanuman.

Representasi gerak primata dan tema manusia kera dari tokoh Hanuman dalam seni pertunjukan kita tersebut, nyatanya bersumber dari modal sosial budaya masyarakat. Dalam budaya kita, Hanuman adalah manusia tetapi kera atau kera tetapi mempunyai sifat dan jiwa kedewataan, atau manusia berjiwa surgawi.

Sardono W Kusumo (2004) dengan panjang lebar menyebut bahwa dalam dunia pewayangan, Jawa dan Bali yang dipengaruhi Hinduisme, Hanuman menjadi tokoh penting dalam semua tingkat: hubungan para dewa; hubungan di antara para ksatria dan sering juga berubah menjadi seekor monyet ketika menyelinap ke taman Soka di Alengka.

Figur semacam Hanuman juga dikenal dalam Budhisme sebagai Sun Go Kong, pengiring bikhu mencari kitab suci Budha. Tingkat kejiwaannya tinggi sehingga mampu melihat kebenaran lebih jernih daripada dewa.

Figur dengan insting manusiawi dan keheningan surgawi campur aduk, saling melingkupi. Baik Hanuman maupun Sun Go Kong sering menampakkan kekuataan kedewataannya, bahkan bisa mengalahkan para dewa.

Figur sebagai manusia yang terus berproses mencari kebenaran, jatuh bangun dari berbagai tingkat kesadaran dan kejiwaan ini tentu saja gambaran yang lebih manusiawi daripada sosok dewa, Rama atau sang bikhu.

Itu mengapa Hanuman, tokoh kera setengah dewa setengah manusia terasa enigmatik, seperti teka-teki yang membingungkan karena adanya multiple image antara dunia binatang, manusia, dan dewa dalam satu figur kera sakti.

Di satu sisi, hal tersebut menjadi sebuah wacana yang menarik dalam bingkai seni pertunjukan tradisi di Asia terkait indikasi munculnya “empati” secara kinetik terhadap representasi gerak-gerak monyet dalam seni pertunjukan kita.

Hal ini seturut dengan apa yang dikatakan Walter Benjamin (dalam Fauzanafi, 2005) bahwa manusia mempunyai kapasitas tertinggi untuk memproduksi keserupaan (mimicking). Mimesis berasal dari tindakan fisik dan tindakan itu selalu menunjuk pada sesuatu. Dengan kata lain, mimesis memertunjukkan bentuk atau citra-citra tertentu yang diindikasikannya.

Manusia bukan hanya meniru suara (onomatopoeia) dan bunyi-bunyian di sekitarnya, tapi meniru melalui gerak. Dalam presentasinya melalui bentuk karya tari (Jawa gaya Surakarta dan atau Yogyakarta) dikenal tari Anoman Indrajit, Anoman Cakil atau Anoman Kumbakarna, yang jelas menunjuk adanya pendekatan visual.

Wujud vokabuler yang mengacu pada lingkungan alam seperti itu (hewan, setting hutan yang dihuni oleh buto/raksasa), digarap dalam bentuk tan wadhag (non-representatif, abstrak).

Dengannya, imajinasi kita seolah-olah dibawa pada bentuk/pola, kualitas gerak dan karakter gerak tertentu. Stilasi (penggayaan) yang demikian tinggi menunjuk keluasan wawasan seniman tradisi, dan juga menunjuk bahwa seniman tari tradisi itu simpatea dengan alam, kosmos.

Maka telah terbukti bahwa monyet telah menjadi bagian dari kebudayaan kita. Monyet menjadi penanda dalam membaca historisitas sosio-antropologi Indonesia melalui seni pertunjukan. Bahkan melalui seni pertunjukan topeng monyet yang pernah jadi polemik, manusia Indonesia patut berefleksi.

Karena, seturut pemikiran Sardono, ketika kini manusia mulai menaklukkan lingkungan alamnya, lalu lingkungan sosial dan lingkungan fisik buatannya sendiri semakin menggantikan alam, tantangannya pun berubah: Bukan lagi bahaya dan bertahan hidup di alam, melainkan keruwetan dalam belantara problematika sosial yang diciptakannya sendiri.

Manusia kini mencipta kehendak melindungi diri terhadap persoalannya sendiri. Manusia melupakan kenyataan bahwa monyet (yang konon merupakan nenek moyang manusia) hanya mempunyai ruang diri pada secuil bidang perempatan lampu merah. Tak ada panggung representasi estetis, apalagi refleksi nilai kemanusiaan atasnya.

Editor: Almaliki