Ketika menelusuri asal usul bebek ireng di Indonesia, sulit untuk menentukan antara Madura dan Surabaya. Masyarakat di kedua kota itu mengklaim bahwa bebek ireng berasal dari daerahnya.
Meski tak terjadi persaingan sengit yang mempersoalkan siapa yang lebih dulu, Madura dan Surabaya seakan tak pernah luput dari perhatian para pengamat gastronomi.
Bebek ireng dikenal sebagai masakan tradisional khas Jawa Timur. Hidangan lezat ini begitu populer dan masih digandrungi penduduk lokal maupun wisatawan.
Di Madura, bebek ireng dibuat dengan resep yang diwariskan secara turun temurun. Sesuai namanya, bebek ireng disajikan dengan bumbu khas berwarna hitam.
Durasi memasak yang lama membuat daging bebek mudah dilepaskan dari tulangnya. Istimewanya, bumbu yang menjadi pelengkap sajian pendamping bebek ireng Madura mengekspos perpaduan rasa yang lebih kompleks: manis, gurih, pedas, dan asam.
Perlakuan Surabaya terhadap bebek ireng sedikit berbeda. Bahan utamanya direndam dalam bumbu marinasi dan dipanggang hingga menghasilkan warna coklat keemasan.
Selain kecap asin, bumbu marinasi bebek ireng di Surabaya umumnya menggunakan hasil rendaman asam Jawa, gula pasir, dan pasta cabai.
Tak perlu mempersoalkan bebek ireng dari daerah mana yang lebih lezat. Sebab, soal rasa, tentu kembali pada selera penikmatnya. Jika ingin menikmati bebek panggang dengan cita rasa yang lebih gurih, versi Madura akan terasa lebih sesuai. Namun, jika ingin rasa yang lebih renyah, bebek ireng Surabaya adalah pilihan yang tepat.
Madura atau Surabaya, keduanya menawarkan sensasi menyantap bebek ireng dengan ciri khasnya masing-masing. Dua daerah di Jawa Timur itu melestarikan tradisi kuno dalam membuat hidangan bebek ireng, sajian lezat yang mencuri perhatian pecinta kuliner yang gemar bereksplorasi dengan rasa.
Bebek ireng, hidangan populer di antara banyak tradisi boga yang ada di Surabaya dan Madura, ditinjau dari cultural convergence theory yang digagas oleh Barnett dan Kincaid (1983), merupakan tradisi kuliner yang terbentuk akibat adanya kontak budaya yang saling mempengaruhi, mengingat secara geografis letak Madura dan Surabaya terbilang cukup dekat.
Kesamaan dalam penggunaan bumbu, bahan, dan proses memasak boleh jadi disebabkan oleh iklim, pengetahuan, dan tanaman yang tumbuh subur di wilayah Jawa Timur.
Sementara itu, kesamaan keterampilan memasak mungkin terjadi lantaran adanya pertukaran informasi antara masyarakat Madura dan Surabaya.
Meski begitu, tak semua komunikasi lintas budaya menghasilkan umpan balik yang diharapkan. Dalam persoalan Madura dan Surabaya, penafsiran dan penerimaan budaya tentang entitas yang diperdebatkan sebenarnya lebih dari sekedar daerah mana yang lebih dulu menyajikan bebek ireng.
Mengutip pendapat Kincaid, pada persoalan seperti ini, kesepakatan jarang sekali dicapai dengan mudah. Artinya, kendala bisa saja terjadi ketika dua kelompok masyarakat atau lebih terus-menerus bertukar informasi, meskipun produk budaya yang dihasilkan berasal dari pola pikir yang sama dan memunculkan hasil yang identik.
Berbicara tentang bebek ireng, tak lengkap jika sajian ini tak diamati dari cara pengolahannya. Pasalnya, Madura dan Surabaya sama-sama menerapkan teknik memasak perlahan untuk menyajikan sepiring bebek ireng.
Mulai dari proses marinasi atau perendaman daging bebek, membumbui, mengolah, memanggang hingga dagingnya matang sempurna memang diperlukan durasi memasak yang cukup lama.
Bawang putih, jahe, serai, lengkuas, kunyit, dan cabai merupakan bahan umum dalam campuran bumbu marinasi daging bebek. Setelah direndam, bebek dibakar di atas api arang hingga matang, tetapi bagian luarnya seringkali dibiarkan tetap renyah.
Langkah terakhir adalah mencampur semua bumbu kemudian diaduk secara perlahan (slow cooked) selama beberapa jam hingga bebek terpanggang rata dan bumbunya meresap sempurna.
Bebek ireng dapat dinikmati dengan berbagai cara. Di Jakarta, bebek ireng dapat ditemui di warung makan, pedagang kaki lima, hingga restoran mewah. Di Bandung, menu bebek ireng dapat dinikmati di Roemah Sawah, restoran dengan lanskap tepi sawah milik Syifa dan Herman. Lokasinya berada di Jalan Arumanis, tak terlalu jauh dari pusat kota.
Slow cooking atau tradisi memasak perlahan telah menjadi bagian dari bentang sejarah kuliner Indonesia dan masih diterapkan pada berbagai hidangan Nusantara.
Awalnya, teknik memasak perlahan di Indonesia menggunakan wadah terbuat dari gerabah. Tradisi kuno Nusantara telah menghasilkan beberapa peralatan dapur dari tanah liat, seperti tempayan, periuk, belanga, dan kendi. Tradisi ini berkembang di zaman Mesolitikum, ketika masyarakat belum mengenal aksara.
Di beberapa daerah, gerabah atau periuk tanah liat masih digunakan untuk memasak atau menyajikan makanan. Namun saat ini, tidak lagi didasarkan pada fungsi, melainkan estetika, terutama di restoran-restoran yang menyajikan masakan tradisional.
Dilansir dari kompas.com, hasil penelusuran arkeolog menunjukkan temuan gerabah di Indonesia terdapat di daerah Kendenglembu (Banyuwangi), Klapadua (Bogor), Serpong (Tangerang), Kalumpang dan Minanga Sipakka (Sulawesi), sekitar bekas Danau Bandung, dan Poso (Minahasa).
Teknik memasak perlahan memungkinkan juru masak menghasilkan hidangan tanpa perlu terus menerus memantaunya. Pendekatan ini biasanya menggunakan suhu rendah.
Slow cooking juga memainkan peran penting dalam tradisi kuliner kaki lima di Indonesia. Selain sop buntut, sop kaki kambing, dan rawon, sate ayam juga menjadi menu populer khas Indonesia yang dimasak secara perlahan. Potongan daging ayam menjadi empuk dan mengekspos aroma khas daging bakar yang menggugah selera.
Ada pula makanan penutup khas Indonesia yang dimasak perlahan, seperti puding sagu. Hidangan manis terbuat dari mutiara sagu, santan, dan sirup gula aren.
Begitu pula dengan dadar gulung, sejenis krep yang biasanya disajikan dengan kelapa parut atau sirup gula aren sebagai topping.
Bubur kacang hijau, makanan tradisional penghangat badan khas Madura yang satu ini juga diolah dengan teknik memasak perlahan untuk meningkatkan rasa dan teksturnya.
Sejauh ini, hidangan Indonesia dipengaruhi oleh tradisi memasak dari berbagai negara dan rumpun budaya seperti Cina, Eropa, dan Melayu. Dengan adanya akulturasi, kekayaan kuliner Nusantara menjadi lebih beragam.
Begitu pula dengan bebek ireng, masakan klasik Jawa Timur-an yang selalu menarik untuk ditelisik. Menyigi kelezatan bebek ireng berarti menggali juga sejarah di balik terciptanya masakan ini.