Etnis.id - Mitos soal Pangeran Samudro masih dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Apalagi soal "ritual seksual ngalap berkah” yang dilakukan di sekitaran makam Pangeran Samudra. Satire.

Bagaimana tidak? Persetubuhan antara laki-laki dan perempuan ini dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang bukan pasangan sahnya. Dalam bahasa mudah, bisa kita kenal dengan istilah “selingkuh”.

Bagaimana bisa seorang percaya, jika perselingkuhan bisa membawa berkah? Di mana-mana, bahasa universal, setia itu dijunjung dan dianggap sikap terpuji. Saya merasa, ini tidak masuk akal.

Bayangkan, ingin kaya tapi berlaku kurang baik dan melanggar norma di sekitar makam Pangeran Samudro, yang merupakan anak dari Raja Majapahit serta salah satu murid dari Sultan Demak.

Pangeran Samudro itu, merupakan tokoh yang disegani serta dihormati oleh masyarakat. Tidak mengherankan, kalau banyak sekali peziarah yang datang, terutama saat malam Jumat Pon, yang merupakan hari tepat meninggalnya Pangeran Samudro.

Zaman terus berkembang. Cerita bisa mengalami perubahan. Kini ritual di Makam
Pangeran Samudro disalahartikan. Sangat jauh dari tradisi yang dahulu diajarkan oleh leluhur. Pasalnya, pergeseran tersebut terjadi, karena adanya persepsi negatif terkait dengan wisata religi yang ada di Gunung Kemukus.

Bentuk perspektif negatif tersebut adalah kegiatan peziarah untuk melakukan ngalap berkah supaya mendapatkan hidup yang lebih baik. Ironisnya lagi, ritual ngalap berkah tersebut harus disertai dengan hubungan seksual sebanyak tujuh kali.

Karena penasaran dan kebetulan saya juga tinggal di kota Sragen, maka saya coba untuk bertanya ke masyarakat setempat. Ternyata, asal muasal terjadinya ritual ngalap berkah ini bermula dari mitos “perselingkuhan yang dilakukan Pangeran Samudro dengan ibu tirinya, Raden Ayu Ontrowulan”.

Mitos yang terdengar serta tersebar luas di masyarakat, memang kurang enak didengar. Menurut mitos yang beredar, Pangeran Samudro yang pada waktu itu merupakan seorang pangeran, jatuh hati dengan ibu tirinya sendiri.

Hubungan cinta antara anak dengan ibu tirinya tersebut, terus berlangsung sampai akhirnya ayahnya mengetahui. Tidak berhenti sampai di situ, Pangeran Samudro akhirnya pergi ke sebuah desa yang tidak lain adalah Gunung Kemukus.

Tidak lama kemudian, ibu tirinya menyusulnya dan berharap bisa melepas kerinduan. Akhirnya, keduanya memutuskan untuk melakukan hubungan intim. Sialnya, mereka kepergok warga dan akhirnya dirajam. Konon, sebelum meninggal, Pangeran Samudro berpesan, “Barang siapa yang bisa melanjutkan hubungan tersebut, maka terkabullah semua permintaannya.”

Dari mitos yang berkembang itu, akhirnya banyak sekali masyarakat yang percaya dan datang untuk berhubungan intim dengan orang yang bukan pasangannya demi terkabul permintannya.

Mitos tersebut juga memberikan syarat, bahwa mereka (yang akan melakukan hajat) harus melakukan hubungan selama tujuh kali berturut-turut dengan orang yang sama (bukan pasangannya).

Ritual Ngalap Berkah dimulai dengan dengan datang ke Gunung Kemukus tepat di Malam Jumat Pon. Sesampainya di Gunung Kemukus, peziarah melakukan mandi atau membersihkan diri di Sendang Ontrowulan yang jaraknya sekitar 300 meter dari Makam Pangeran Samudro.

Seusai mandi, maka peziarah bisa melanjutkan ritual dengan datang ke Makam Pangeran Samudro. Di makam, sudah ada juru kunci yang siap melayani. Peziarah kemudian menyampaikan maksud dan juga tujuannya. Setelah bertemu dengan juru kunci, maka peziarah langsung masuk ke makam utama Pangeran Samudro dan Ontrowulan untuk menyampaikan hajatnya.

Jika sudah, maka dilanjutkan dengan tirakatan yang berbentuk begadang selama semalam suntuk di sekitaran Makam Pangeran Samudra. Tirakatan diisi dengan berkenalan dan ngobrol.

Setelah dirasa mendapatkan pasangan yang cocok, maka mereka akan melakukan permohonan untuk bersetubuh. Setelah selesai berhubungan seks, maka mereka akan kembali mengobrol dengan teman-temannya di sekitaran makam Pangeran Samudro.

Ritual yang dilakukan selama tujuh kali dengan bukan pasangannya ini, tidak berhenti pada hubungan seksual saja. Konon, manakala hajat yang diminta terkabul, maka mereka harus melakukan syukuran.

Sebelum melangsungkan selamatan, mereka akan memberitahu juru kunci. Setelah itu, juru kuncilah yang akan mengatur jadwal kapan diadakannya selamatan. Bahkan saking terima kasihnya kepada Pangeran Samudro, tidak jarang pengunjung mengadakan wayang kulit.

Mereka percaya dengan mengadakan wayang kulit, maka sempurnalah ritualnya. Saya agak menyayangkan kegiatan ini. Bagaimana tidak, wayang kulit hanya menjadi pelengkap meminta hajat tanpa melihat betapa pentingnya nilai sosial dan budaya dari wayang itu sendiri. Paradoks, ironis dan komikal.

Mari kita kupas perlahan-lahan berbagai uraian di atas. Sebuah hal untuk mewujudkan keingianan harus disertai dengan ritual yang melanggar norma. Bentuk hubungan seksual yang berlangsung, merupakan bentuk kegiatan yang sangat tidak manusiawi.

Apakah iya, seorang manusia yang beradab, rela melakukan hal tersebut hanya untuk mendapatkan kekayaan? Bagaimana jika mereka sebenarnya sudah memiliki pasangan sah masing-masing?

Keberadaan mitos yang berkembang tersebut, manakala tidak perlahan-lahan diluruskan, akan membuat masyarakat semakin lama semakin percaya. Akibatnya, tujuan berziarah bukan untuk menghormati leluhur, melainkan untuk mendapatkan kekayaan. Bahkan tidak jarang hanya untuk mendapatkan kepuasan dari kegiatan seksual yang dibungkus rapi dengan kegiatan spiritual.

Melakukan ziarah memang mulia. Makanya, mari kita bungkus ziarah
dengan laku yang mulia juga. Tapi omong-omong, apakah sejarah Pangeran Samudro dan Ontrowulan bersetubuh, memang benar adanya?

Editor: Almaliki