Sebagaimana umumnya pertunjukan pakeliran, Wayang Kancil merupakan salah satu jenis pertunjukan wayang kulit yang secara visual mengisahkan tokoh-tokoh binatang dan menempatkan hewan kancil sebagai tokoh utamanya, tetapi juga menghadirkan hewan-hewan lain dengan berbagai karakter yang beragam.

Sampai saat ini, sumber-sumber literatur tentang Wayang Kancil terbilang masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan Wayang Kulit Purwa. Ada yang menyebutkan bahwa asal mula Wayang Kancil diciptakan oleh Sunan Giri I atau Raden Paku untuk berdakwah dan mengangkat derajat kaum laki-laki dengan mengangkat kisah yang masih bersumber pada cerita Panji, epos Mahabarata maupun Ramayana. Selain itu, sumber lain dalam sebuah buku berjudul Bauwarna Wayang yang dituliskan oleh R.M. Sajid disebutkan bahwa Wayang Kancil dibuat oleh seorang Tionghoa bernama Bah Bo Liem sekitar tahun 1925 (Pusurbaryanto, 1996).

Pertunjukan Wayang Kancil semakin berkembang dengan mengusung berbagai variasi kisah, seiring meningkatnya kreativitas dan bangkitnya hasrat seniman yang membawakannya. Wayang Kancil dihidupkan kembali di panggung-panggung pertunjukan rakyat dengan format sajian, bentuk, tema, isu, serta pengisahan yang lebih beragam.

Pada sekitar tahun 1960-an, Wayang Kancil masih menceritakan tentang kisah-kisah yang berpijak pada dongeng kancil di Jawa, namun di suatu era, Wayang Kancil meredup dikarenakan sang dalang sudah meninggal. Pada era 1980-an, Wayang Kancil kembali bersinar berkat kegigihan beberapa tokoh dalang yang mengembangkan dan mengadakan penggalian kembali terhadap Wayang Kancil, di antaranya Bambang Murtiyoso yang mengembangkan di daerah Solo dan Ki Ledjar Soebroto yang menghidupkan kembali Wayang Kancil di daerah Yogyakarta.

Jika dahulu Wayang Kancil dibawakan oleh orang-orang dewasa sebagai dalangnya dan menempatkan anak-anak di dalam segmentasi penontonnya, lantas bagaimana wujud inovasi dan aksi pergerakan untuk memasyarakatkan Wayang Kancil di saat ini?.

Inovasi Ruang Pertunjukan

Tiang-tiang Pendopo yang Dikreasikan Menjadi Pepohonan/ Muhammad Fajar Putranto

Ditinjau dari bentuk ruang pertunjukannya, tentu saja terdapat banyak perbedaan, jika dibandingkan pertunjukan terdahulu. Aspek ruang pertunjukan menjadi bagian yang juga digarap secara inovatif. Jika pada umumnya panggung pementasan Wayang Kancil menggunakan kelir putih dengan bentuk yang sederhana, maka pada pementasan Wayang Kancil di Sanggar Sarotama sangat jauh berbeda.

Ruang pertunjukan justru dibuat dengan mengadaptasi suasana hutan belantara beserta variasi ekosistemnya. Panggung pertunjukan yang sebelumnya berupa sebuah pendopo, kemudian dikonstruksi kembali dengan menirukan prototipe hutan. Tiang-tiang pendopo menjadi tampak artistik ditata menyerupai pohon-pohon besar.

Suasana Pementasan Wayang Kancil di Sanggar Seni Sarotama/ Muhammad Fajar Putranto

Penabuh gamelan dihiasi rumput dan ilalang, sehingga tidak tampak lagi rupa panggung konvensional. Selain hiasan tanaman, pada beberapa bagian ruang pertunjukan juga terdapat boneka-boneka hewan seperti kijang, kelinci, dan beberapa jenis burung, sehingga memunculkan daya tarik bagi anak-anak, baik yang berperan sebagai penabuh, dalang, maupun anak-anak yang menyaksikannya secara virtual.

Dekorasi Ruang Pementasan yang Menyerupai Suasana Hutan Belantara/ Muhammad Fajar Putranto

Inovasi Penceritaan Wayang Kancil

Dahulu, tokoh hewan kancil sering diceritakan sebagai dongeng pengantar tidur anak-anak. Kancil dikenal sebagai hewan yang cerdik, tangkas dan mampu memecahkan masalah, namun stereotip negatif melekat cukup kuat pada si kancil. Karakter kancil digambarkan sebagai sosok yang nakal dan licik, pandai mengelabui buaya, suka mencuri timun, dan penipu ulung.

Anggapan itu tentunya berpengaruh pada pemahaman anak-anak dalam memahami sebuah karakter. Perbedaan yang tampak dalam alur cerita Wayang Kancil antara dahulu dengan sekarang, yakni terletak pada stereotip yang dibangun pada sosok atau tokoh kancil itu sendiri.

Salah satu upaya untuk memasyarakatkan Wayang Kancil di saat ini, dilakukan oleh Sanggar Seni Sarotama. Jika dahulu kala dalang Wayang Kancil adalah orang tua, maka inovasi yang dilakukan Sanggar Seni Sarotama adalah dengan membuat konsep Wayang Kancil yang berdasar pada pelibatan anak-anak sepenuhnya, serta menekankan aspek pendidikan moral.

Pada perkembangannya, kisah Wayang Kancil semakin lentur dan lebih mengutamakan pesan-pesan bijak dari penuangan ide sang kreator. Mengangkat kisah-kisah fiksi dan isu-isu terkini yang disesuaikan dengan porsi pemahaman anak-anak.

Sanggar Sarotama dalam memasyarakatkan Wayang Kancil menyerap berbagai realitas yang terjadi di lingkungan sekitar, kemudian dijadikan bahan untuk merangkai cerita. Sebagai contoh, konflik horizontal hingga sikap saling serang menjadi pemandangan sehari-hari yang dipertontonkan di media massa dan dipublikasi di media sosial.

Perseteruan tersebut berpotensi untuk ditiru oleh anak-anak. Idealnya, daya pemikiran anak-anak dapat tumbuh dan berkembang dalam suasana aman, damai, dan harmonis, bukan ikut dalam konflik yang diciptakan orang dewasa. Oleh karena itu, dalam misi memasyarakatkan Wayang Kancil, Sanggar Sarotama membuat konsep dan episode cerita yang mengangkat nilai-nilai pendidikan, di antaranya demokrasi, kebebasan berpikir, toleransi, moralitas berdasar kepentingan bersama, serta pengenalan tentang sikap untuk mengakui hak-hak orang lain.

Melalui penyajian kisah cerita yang terbagi menjadi beberapa episode, terdapat pesan dan harapan agar anak-anak mampu menerapkan sikap-sikap bijaksana di dalam kehidupan sehari-hari. Pada episode pertama, pesan disisipkan lewat kisah keberadaan sumber mata air di wilayah hutan yang dikuasai oleh sosok singa, bernama Singo Barong.

Lantaran mempunyai senjata andalan berupa taring, kuku, dan cengkeraman yang kuat, Singo Barong merasa lebih kuat dan paling hebat di antara penghuni hutan lainnya. Akar persoalan pada episode ini adalah kekuasaan dan kehebatan Singo Barong yang menumbuhkan sikap egois, sehingga hewan-hewan penghuni hutan lainnya tidak memperoleh haknya untuk mengambil air di sumber mata air yang dikuasai Singo Barong.

Konflik pada episode pertama dimunculkan melalui sosok Banteng yang bernama Banteng Wulung. Anasir-anasir dikembangkan melalui figur banteng yang jahat, keras, namun juga kuat. Banteng termasuk hewan besar dengan senjata berupa tanduk yang runcing. Namun demikian, sosok banteng dalam cerita ini digambarkan sebagai hewan berhati lembut.

Suatu ketika, Singo Barong ingin mengetahui apakah ada sosok lain yang melebihi kekuatannya?. Singo Barong memerintah Macan Kumbang untuk berkeliling hutan dan akhirnya bertemu dengan Banteng Wulung. Pada sebuah kesempatan, Banteng Wulung hendak mengambil air di sumber mata air hutan. Begitu dihadang oleh kelompok Singa, Banteng Wulung justru menghindar.

Timbullah rasa penasaran Macan Kumbang untuk mengetahui kekuatan sang Banteng Wulung. Macan Kumbang menyerang dengan melompat, mencengkeram Banteng Wulung. Namun yang terjadi justru malah Macan Kumbang tertusuk tanduk Banteng Wulung hingga tewas. Akibat kematian macan Kumbang, timbullah fitnah besar yang ditebar oleh kelompok Singa, bahwa Banteng Wulung telah membunuh Macan Kumbang.

Pesan moral yang dapat diambil dari episode pertama adalah orang yang sombong akhirnya kobong atau marah. Namun, betapapun besarnya kekuatan Singo Barong, ketika salah satu anggota kelompok singa mati, hal itu adalah kesalahannya sendiri. Banteng Wulung yang tidak sengaja membunuh Macan Kumbang hanya ingin mempertahankan diri. Lantaran fitnah itu, Singo Barong kemudian murka dan berbuat onar, merusak pepohonan yang ada di hutan dan meresahkan penghuni hutan lainnya.

Pada episode kedua, adagium berbahasa Jawa "Salah-Seleh" dimunculkan. Banteng Wulung merasa terpojok dengan fitnah yang disebarkan Singo Barong. Hewan-hewan lain kemudian membesarkan hati Benteng Wulung. Di antaranya, kera dan burung yang mengetahui bahwa Banteng Wulung tidak sengaja membunuh Macan Kumbang, namun kubu Singo Barong tidak mau menerima kenyataan itu.

Sosok Kancil hadir sebagai penengah, sehingga pertikaian pun mereda. Pada episode kedua, moralitas ditanamkan kepada anak-anak melalui sosok Banteng Wulung. Ibarat dalam cerita Wayang Purwa yang ditokohkan oleh sosok raksasa Kumbakarna.

Secara visual, raksasa terlihat jahat, namun sosok menyeramkan ini nyatanya berbudi luhur. Begitu pula sikap yang tercermin dalam sosok Prabu Karna yang berpihak pada Kurawa. Konsep yang baik jatuh ke dalam jurang keburukan merupakan inti dari sebuah konflik, yakni berperan untuk mengakhiri perbuatan buruk demi kepentingan yang lebih luas.

Pada episode ketiga, konsep bersaing tanpa diskriminasi dihadirkan setelah keadaan hutan menjadi rusak, kemudian dibangun kembali oleh seluruh penghuni hutan tanpa sikap diskriminatif. Namun, di dalam kehidupan, ada saja sosok yang merasa rendah diri dan berujung pada menjauhnya ia dari kehidupan sosialnya.

Sosok yang merasa rasa rendah diri dalam pementasan Wayang Kancil ialah Celeng atau babi hutan. Celeng merusak tanaman-tanaman yang belum sempat dipanen karena ia merasa tidak layak untuk ikut bersosialisasi dan bekerja sama dalam membangun hutan. Celeng dalam episode ini menjadi sosok yang membuat kegaduhan di dalam hutan. Oleh sebab itu, semua hewan yang menghuni hutan bersepakat untuk mengangkat harga diri Celeng, sehingga anggapan itu memudar.

Penghuni Hutan Merangkul Kembali Si Celeng yang Telah Merusak Hutan/ Sanggar Seni Sarotama

Pada episode keempat, kebebasan berpikir dan berpendapat diangkat dari realitas kehidupan, bahwa kebebasan diartikan tanpa kontrol sikap yang bijak, sehingga berdampak buruk pada kehidupan. Kebebasan yang tanpa batas ini tertuang dalam ujian hidup yang dialami oleh sekelompok burung di hutan kecil yang bernama Alas Madya. Hutan itu banyak ditumbuhi pepohonan dan menjadi sumber penghidupan bagi sekawanan burung.

Suatu ketika, badai datang menerjang dan memorak-porandakan seisi hutan. Akibatnya, kelaparan melanda, lantaran sumber makanan bagi burung-burung telah rusak. Kemudian, atas inisiatif dan kepemimpinan seekor burung gagak, maka seluruh penghuni melakukan hijrah ke Alas Purwo, hutan yang luas dan besar untuk kelangsungan hidup mereka. Kedatangan burung-burung itu pada akhirnya menimbulkan konflik baru bagi semua penghuni Alas Purwo, kendati sebagian besar penghuni Alas Purwo menerima kedatangan kawanan burung dari Alas Madya.

Hijrahnya Burung Gagak dari Alas Madya ke Alas Purwo/ Pono Anggo Djayantoro

Prasangka buruk merasuki hewan-hewan yang menolak kehadiran burung-burung pendatang. Di sisi lain, hutan yang sudah luluh lantak diterjang badai, tidak lagi dapat ditinggali. Pada saat itulah pesan tentang kebebasan berpikir dan berpendapat disisipkan. Konflik dihantarkan melalui adegan burung-burung pendatang yang memakan makanan di Alas Purwo tanpa seizin pemiliknya.

Akhirnya, fitnah muncul di antara kawanan monyet yang diwakili oleh si Jangkung. Ketika itu, ia melihat sekelompok burung yang mencuri buah-buahan yang belum siap dipanen. Si Jangkung yang bertugas sebagai penjaga buah-buahan mengira burung-burung Alas Purwo yang mencurinya. Si Jangkung kemudian mencari tahu kebenaran peristiwa itu. Esensi dari episode keempat ini adalah masalah yang timbul dari rasa lapar. Persoalan yang jika disikapi dengan bijak, dapat mencegah terjadinya perselisihan.

Pada episode kelima, konsep kebebasan berpolitik diimpelementasikan melalui kisah kehidupan di laut. Kehidupan laut mempunyai kekayaan yang begitu luas. Laut menjadi sumber makanan bagi hewan-hewan yang ada di laut, sekaligus menjadi sumber penghidupan bagi burung Elang.

Sosok burung Elang dikenal dengan kemampuannya mencari makanan dengan cara berburu di darat dan di laut. Ia juga dikenal sebagai burung terkuat di udara. Sejak dahulu, moyang dari kelompok Elang mahir berburu ikan di laut dengan sergapannya yang cepat dan mematikan.

Elang adalah hewan yang kejam dan bengis. Namun, sosok Elang digambarkan sebagai karakter yang memiliki pemikiran unik: burung Elang enggan disamakan dengan moyangnya. Pada kisah ini, meskipun Paus begitu besar, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa demi menjaga kedaulatan laut. Oleh karena itu, untuk menjaga wibawanya, Paus memberi titah kepada Anjing Laut yang bernama Sona untuk menjaga kedaulatan laut.

Keadaan laut yang tentram berubah ketika badai laut besar terjadi, sehingga mengakibatkan ikan-ikan terdampar ke daratan. Melihat hal itu, burung Elang merasa bahwa peristiwa itu adalah kehendak alam. Ia berpikir bahwa ia dapat memangsa ikan-ikan yang terdampar. Namun, hasrat itu terhalang oleh aturan laut yang harus dipatuhi.

Badai besar itu justru membuat Anjing Laut, Sona dan kawanannya lupa akan tugas yang diembannya. Mereka berpesta pora menikmati ikan-ikan yang mati terdampar di daratan. Sedangkan Elang tidak dapat melakukan apa-apa, karena apa yang ada di laut adalah wewenang dan kekuasaan penghuni lautan. Bahkan Buaya sekalipun, kendati mempunyai tubuh yang besar, tidak mampu mengatur kewenangan laut.

Anjing Laut atau Sona yang Ditugaskan untuk Menjaga Kehidupan Laut/ Sanggar Seni Sarotama

Untuk mengembalikan ketentraman laut, diperlukan sosok bijaksana dalam memimpin dan memangku kepentingan bersama. Hadirlah sosok Kancil untuk menentukan sikap dan memberikan pengayoman kepada penghuni laut, darat, maupun udara untuk mewujudkan ketentraman.

Wayang Kancil dan Pembangunan Karakter Anak

Keberadaan Sanggar Seni Sarotama yang memfasilitasi pertunjukan Wayang Kancil, berperan cukup besar dalam masa tumbuh kembang anak. Mencermati hal itu, Dr. Murfiah, seorang pakar psikolog anak, memberikan paparan tentang segmentasi usia anak-anak.

Pada usia Sekolah Dasar, pementasan Wayang Kancil sudah cukup relevan, karena sesuai dengan perkembangan pemikiran yang sudah mencapai taraf kognitif-konkrit, sehingga anak mampu menerima dan menganalisis informasi yang ditangkapnya. Sementara itu, anak usia PAUD masih dalam taraf imajinatif, sehingga untuk sajian pementasan Wayang Kancil masih memerlukan pendampingan dan penyesuaian materi.

Dari perspektif psikolog anak, pertunjukan Wayang Kancil memiliki dampak positif bagi pertumbuhan anak, karena gaya belajar yang menyenangkan termuat di dalam sebuah pertunjukan Wayang Kancil. Semua aspek kepekaan dalam diri anak dapat bekerja dengan maksimal.

Dari aspek visual, anak dapat mengenal bentuk, warna, ornamen dan motif dari bentuk fisik wayang tersebut. Kemudian pada aspek auditori, anak mampu merasakan berbagai suara dari bunyi-bunyi musikal seperti melodi, dinamika, irama, tempo, dan juga mengenal berbagai macam karakter suara yang diperankan kepada setiap tokoh wayang.

Pada aspek psikomotorik, anak mampu menggerakkan wayang, memainkan gamelan, dan lain sebagainya. Semua itu membutuhkan kerja sama, kekompakan, dan juga rasa tanggung jawab. Sistem kerja otak seorang anak yang tekun berlatih kesenian, cenderung lebih kreatif. Melalui pengalaman belajar kesenian, manfaat bagi perkembangan anak akan dirasakan di masa depan, di antaranya, tidak mudah mengalami stres, mampu mengatasi masalah (problem solving), serta memiliki empati yang lebih tinggi.

Keterangan Sumber: foto utama diabadikan oleh Pono Anggo Djayantoro ("Kancil Menjadi Penengah Konflik antara Banteng Wulung dan Singo Barong").

Penyunting: Nadya Gadzali